Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Lakon Bandit Revolusioner

Buku yang menelaah koalisi tak biasa kelompok dunia hitam Jakarta dengan kelompok nasionalis muda radikal. Hubungan yang diwarnai oleh ”love and hate”.

15 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949
Penulis: Robert Cribb
Tebal: 304 hlm + xvi
Penerbit: Masup Jakarta
Terbitan: Pertama dalam bahasa Indonesia, 2010

Masih lekat dalam ingatan Ibrahim Isa, 80 tahun, saat ia harus melatih puluhan mantan bandit jebolan Nusakambangan untuk direkrut menjadi anggota Penyelidik Militer Chusus di Yogyakarta. Pasukan khusus ini dikomandani Zulkif­li Lubis, yang dikenal sebagai pendiri badan intelijen Indonesia. Pelibatan bandit bandit itu sangat menguntungkan. ”Karena mereka pemberani dan punya nyali tempur yang baik,” kata Isa, mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Setiakawan Asia Afrika yang kini menetap di Amsterdam, Belanda.

Bandit, demikian dikatakan Robert Cribb dalam­ buku ini, merupakan fenomena lama dari kehidupan sosial di Jawa. Namun di sini ia menelaah fenomena itu dari berbagai sudut pandang yang tidak dilandasi pemahaman hitam dan putih. Telaah terhadap bandit di Jawa juga pernah dilakukan oleh Suhartono, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, dalam buku­nya Bandit bandit Pedesaan: Studi Historis 1850 1942 di Jawa (1995).

Buku setebal 304 halaman ini menyodorkan serangkaian fakta tentang ambiguitas hubungan antara negara dan kaum kriminal pada masa revolusi.Para bandit yang semula lekat dengan dunia kejahatan tiba tiba menjadi terhormat karena berperan dalam revolusi.­ Semangat revolusioner pun meresap ke dalam diri para bandit, sehingga mereka, yang semula dianggap apolitis, mendadak ­hadir sebagai satu golong­an pemuda memiliki kesadaran politik relatif baik.

Cribb mencatat pada mulanya gerakan bandit yang beraksi sporadis acap kali bersandar pada tujuan yang serba tak jelas. Camat Nata, misalnya, membunuh seorang mandor perkebunan swasta di Kranji dan menjadikan istri sang mandor sebagai simpanannya. ”Mereka lebih merupakan kaum oportunis daripada pejuang revolusi sosial,” demikian kata Cribb di ha­laman 66.

Rencana aksi politik justru datang dari para juragan yang sebenarnya tak begitu menyukai keadaan yang serba kacau. Para juragan itu menjadi obyek eksploitasi baik pada masa Belanda maupun masa Jepang. Mereka tak segan membalas dendam. Haji Darip dari Klender, misalnya, pendiri Barisan Rakyat Indonesia yang menguasai jalur lalu lintas di Jakarta bagian barat. Dia memadukan kriminalitas dan patrio­tisme hanya dengan menja­rah orang orang berkulit terang seperti Cina, Eurasia, dan Eropa atau mereka yang berkulit gelap seperti Ambon dan Timor. Obyek jarahan ini merupakan representasi dari apa yang mereka definisikan sebagai musuh rakyat Indonesia.

Cribb memberikan perhatian yang cukup besar pada Angkatan Pemuda Indonesia (API), yang didirikan para pemuda Asrama Menteng 31. API berhasil menarik banyak pengikut, khususnya kelompok kelompok pemuda kurang berpendidikan. Organisasi ini juga menerbitkan manifesto, menyeru rakyat Indonesia untuk menguasai senjata, kantor kantor, dan bisnis Jepang. Seruan yang merupakan manifestasi isi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus (bahwa ”pemindahan kekuasaan dilakukan dalam tempo yang sesingkat singkatnya”) itu disiarkan radio yang terus berpindah pindah—untuk menghindari penggerebekan tentara Jepang. Anggota API memelopori pengambilalihan gedung perkantoran, jaringan kereta api dan trem, dan sejumlah institusi publik maupun swasta.

Dunia hitam Jakarta, demikian Cribb memberikan nama pada kelompok kelompok bandit, setidaknya bagian yang berkesadaran politik, adalah elemen alamiah pengikut API (halaman 81). Salah satu orang yang kemudian bergabung dalam API adalah Imam Syafe’i atau lebih dikenal sebagai Bang Pi’ie, pentolan paling berkuasa di wilayah Pasar Senen.

Seiring dengan kekalahan Jepang dan masuknya Inggris yang diberi mandat melepaskan tawanan perang Jepang dan menjaga ke­amanan di Indonesia, beberapa gelintir tentara KNIL sebelum perang kembali menghimpun kekuatan. Mereka merekrut orang Ambon dan Cina untuk ­melindungi warga Belanda yang baru saja dibebaskan dari kamp interniran dan sering menjadi sasaran kelompok dunia hitam. Pasukan itulah yang kembali menguasai keadaan dan menjadikan para juragan patron para bandit tak leluasa bergerak karena kontrol atas wilayah mereka dikuasai pasukan bentukan Belanda.

Fokus Cribb pun beralih kepada Lasykar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) sebagai bagian dari reorientasi API. Seiring dengan terdesaknya LRJR ke pinggir­an Jakarta (Ommelanden), gabungan laskar itu menjalin kontak dengan Haji Darip dan beberapa pemimpin bandit lainnya (halaman 101). Kesatuan laskar itu juga bekerja sama dengan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi yang dibentuk intelijen kantor Peng­hubung Angkatan Laut Jepang. Dalam beberapa hal LRJR memang mirip Badan Pemberontakan Republik Indonesia di Surabaya yang menggelorakan semangat bertempur melawan Inggris.

Melalui LRJR, aksi para bandit atau jago yang tak menentu motivasinya terlegitimasi dengan kuat. Kepenting­an mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan alasan keuntungan pribadi bercampur baur dalam selu­bung patriotisme. Warga kulit putih dan asing lainnya selalu menjadi sasaran ”perjuangan”, betapapun mereka itu warga sipil nonkombatan yang sering dirugikan oleh keadaan revolusi. Sjahrir dalam brosurnya, ”Perjuangan Kita”, mengkritik kegiatan anarkistis itu karena merugikan perjuangan Indonesia. Namun Tan Malaka dalam brosurnya ”Moeslihat” justru menyebut aksi itulah mo­dal utama untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Cribb kemudian menyimpulkan bahwa koalisi strategis antara kelompok dunia hitam di Jakarta dan kelompok nasionalis muda radikal merupakan hasil yang tidak biasa. Sebagian disebabkan kesamaan sikap menentang Belanda dan sebagian lagi karena adanya unsur timbal balik. Para nasionalis, sebagaimana pula dikemukakan Ibrahim Isa, dilihat sebagai kelompok masyarakat Indonesia yang memiliki keahlian bertarung dan nyali besar. Sementara itu, para bandit memandang koalisi mereka dengan kaum nasionalis merupakan kesempatan untuk menaikkan derajat hidup, dari semula di lembah hitam ke tempat yang lebih dihargai masyarakat.

Kerja sama itu juga bentuk dari longgarnya penegakan hukum dari sebuah republik yang baru lahir. Maka, ketika pemerintah republik yang baru ini mulai mengkonsolidasi kekuatan dan hukum ditegakkan, perlahan mereka yang berperan besar dalam revolusi itu tersisihkan dari kancah pergerakan politik.

Di masa selanjutnya hubungan bandit dan kekuasaan diwarnai oleh ”love and hate”. Pada periode tertentu, semisal masa Orde Baru, bandit atau preman digunakan segelintir aktor penguasa untuk melakukan tindakan onar demi memperkuat kekuasaannya. Dalam insiden Lapangan Banteng pada 1982, umpamanya, ketika preman digunakan Ali Moertopo untuk menurunkan simpati rakyat yang mulai menguat terhadap PPP dalam kampanye pemilu tahun itu. Namun tak lama kemudian pemerintah melancarkan perang terhadap preman, yang dikenal sebagai penembakan misterius.

Bonnie Triyana, sejarawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus