Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementrian Agama (Kemenag pada 5 Oktober lalu menetapkan Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada naungan Kementrian Agama.
Dosen Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Sri Lestari menyebut peraturan ini merupakan hal positif yang dapat dijadikan pedoman bagi satuan pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama. “Mengingat belakangan ini banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan instansi agama, salah satunya kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, hal ini menjadi langkah baik Kementrian Agama dalam mengontrol," ujarnya dilansir dari laman resmi UM Surabaya pada Jumat, 21 Oktober 2022.
Tari menjelaskan, ada 16 bentuk kekerasan seksual yang dijabarkan dalam peraturan tersebut. Termasuk di antaranya adalah kekerasan verbal maupun non-verbal, fisik, non fisik baik yang dilakukan secara langsung maupun online.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual secara detail seperti ujaran diskriminatif atas tampilan fisik, ucapan lelucon siulan yang bernuansa seksual, kegiatan seksual atas dasar pemaksaan ancaman bujukan, tatapan bernuansa seksual, mempertontonkan alat kelamin dengan sengaja, termasuk juga perkosaan dan segala jenis tindakan Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) seperti pesan yang bernada seksual, mempertontonkan video, merekam, dan mengambil video yang berbau seksual.
Dalam aturan tersebut siulan dan menatap yang bernuansa seksual juga merupakan bentuk kekerasan seksual. Tari mengatakan hal itu dapat diidentifikasi sebagai tindakan catcalling yang seringkali terjadi di masyarakat. " Itu banyak kita temui di jalan raya atau ruang publik lainnya seperti di tempat pemberhentian bus atau trotoar," ujarnya.
Dia mengatakan umumnya perempuan yang mengalami hal itu, namun tidak menutup kemungkinan korban juga lelaki karena kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja.
Menurut Tari, jika dilihat dalam perspektif gender, catcalling bisa dianggap sebagai bentuk objektifikasi kepada korban. Objektifikasi yang dimaksud adalah siulan karena ditujukan pada fisik korban yang menarik saja sehingga dapat menyinggung korban dan berdampak pada korban merasa tidak nyaman, ketakutan, bahkan bisa saja menimbulkan kecemasan dan kewaspadaan yang berlebihan saat berada di ruang publik.
“Masyarakat perlu tahu bahwa tindakan siulan atau menatap yang bernuansa seksual merupakan tindakan yang melanggar nilai hak asasi manusia dan merendahkan martabat,” ujarnya.
Ia menyebut kultur budaya patriarki masih melekat di masyarakat kita. Akibatnya, banyak yang masih menganggap tindakan tersebut sebagai candaan dan kerap kali justru korban yang disalahkan karena dianggap berlebihan merespon tindakan tersebut.
Edukasi, kata dia, perlu dilakukan tentang bagaimana merespon kekerasan seksual yang termasuk jenis catcalling ini. Tari mengatakan adanya pemberitaan tentang siulan dan candaan yang menjadi headline di media merupakan proses edukasi bahwa tindakan siulan atau komentar atas tubuh yang seringkali dilakukan di jalann adalah melanggar hukum.
“Di sisi lain, ketika mengalami pelecehan tersebut, masyarakat jadi tahu dan harus berani untuk menegur pelaku. Dengan berani melawan dan menegur pelaku menjadi bentuk antisipasi dan tindakan membela diri. Katakan saja bahwa tindakan tersebut melanggar hukum dan bisa dilaporkan,” kata Tari.
Baca juga: UGM Deklarasi Sebagai Kampus Bebas Kekerasan Seksual
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini