Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANJANGNYA tak lebih dari sejengkal. Tinggi dan lebarnya sekitar 10 sentimeter. Ukurannya yang kecil membuat alat ini mudah dibawa ke mana saja. Diberi nama D-Box CC, akronim dari Detector Box for CO and CO2, alat yang terdiri atas 16 komponen elektronik ini mampu mendeteksi konsentrasi asap secara akurat.
"Kami sudah menguji coba kelayakan alat ini di laboratorium di Samarinda. Hasilnya mampu mendeteksi pencemaran udara dengan akurasi yang cukup tinggi," ucap Feriawan Tan, siswa SMA Negeri 1 Tarakan, Kalimantan Utara, di Jakarta pada Selasa pekan lalu. Lelaki 17 tahun ini membuat alat tersebut bersama rekan satu sekolahnya, Aan Aria Nanda, 17 tahun.
Ide pembuatan D-Box berawal ketika asap pekat menyelimuti Kota Tarakan akibat kebakaran hutan lahan gambut pada akhir 2015. Saat itu banyak warga yang enggan mengungsi. Padahal Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan kualitas udara sudah di atas ambang batas aman. Tak ingin berdiam diri, kata Feriawan, "Kami membuat D-Box CC agar masyarakat lebih yakin akan bahaya asap."
Alat sederhana yang inovatif ini telah mengantar Feriawan dan Aan ke Harbin, Cina, pada Juli lalu. Di sana, alat yang biaya pembuatannya tak lebih dari Rp 600 ribu itu diikutkan dalam kompetisi International Exhibition for Young Inventors. Riset yang mereka kerjakan selama enam bulan ini akhirnya berbuah medali emas. "Senang sekali bisa menang lomba besar di ajang internasional," ucap Feriawan.
Sebelum dikirim ke Cina, D-Box CC lebih dulu diikutkan dalam kompetisi National Young Inventors Award 2016, yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lantaran meraih nilai tertinggi, meski belum dinobatkan sebagai pemenang, Feriawan dan Aan bersama siswa dari SMAN 2 Cimahi dan Sampoerna Academy Jakarta dipercaya mewakili Indonesia di Cina. Mereka kemudian secara resmi memenangi National Young Inventors Award 2016 di Jakarta pada Selasa malam pekan lalu.
National Young Inventors Award merupakan kompetisi tahunan bagi para peneliti dan inovator muda Indonesia yang diadakan oleh LIPI, selain Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR). Kedua kompetisi tersebut hasil kerja sama dengan British Council melalui program Newton Fund dan didukung Intel Indonesia serta Aneka Fermentasi Industri. Kompetisi kali ini menghadirkan dua ahli dari Inggris sebagai juri LKIR bidang ilmu pengetahuan hayati dan teknik.
Tahun ini National Young Inventors Award memasuki penyelenggaraan kesembilan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, persaingannya ketat. Jumlah peminatnya pun terus bertambah. Pada 2015, ada 565 karya yang berkompetisi. Tahun ini karya yang masuk ke meja panitia melonjak menjadi 868. Namun hanya 28 karya yang terpilih ke babak final.
D-Box CC adalah alat berbasis mikrokontroler Arduino Uno R3 yang berfungsi mendeteksi gas CO dan CO2. Ada dua sensor yang dipakai, yakni MQ7 untuk mendeteksi karbon monoksida dan MQ135 untuk mengetahui kadar karbon dioksida. Kedua sensor mempunyai sensitivitas tinggi. "Kami memang hanya berfokus pada unsur karbon karena senyawa ini berbahaya bagi tubuh bila terhirup," ucap Feriawan.
Beberapa komponen yang digunakan D-Box CC antara lain layar LCD untuk menampilkan konsentrasi gas CO dan CO2, kipas pengkompresi udara agar masuk menuju sensor gas MQ7 dan MQ135, serta indikator lampu LED tiga warna, merah, kuning, dan hijau, yang menunjukkan tingkat keamanan serta tingkat pencemaran udara yang disebabkan oleh gas CO dan CO2.
Selain lampu LED, terdapat buzzer sebagai alarm. Saat kualitas udara di sekeliling dalam kondisi berbahaya, alarm akan langsung berbunyi. Kelebihan D-Box CC, dibanding alat sejenis yang ada, adalah kepraktisannya. Selain mungil dan ringan, beratnya tak lebih dari 1 kilogram, sumber listriknya pun dapat berasal dari USB, adaptor, atau baterai. Arus listrik yang dibutuhkan hanya 7-12 volt.
Selain menggelar National Young Inventors Award, pada waktu bersamaan LIPI mengadakan Lomba Karya Ilmiah Remaja Ke-48. Pada tahun ini, ada 3.204 proposal yang didaftarkan, tapi hanya 53 yang lolos ke babak final. "Perkembangannya sangat fantastis," kata Bambang Subiyanto, Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI. "Karya dan inovasi yang ditunjukkan para pelajar ini luar biasa."
Aiman Hilmi Asaduddin, pelajar SMA Negeri 1 Yogyakarta, sempat terpesona pada hasil riset yang ditampilkan para peserta Lomba Karya Ilmiah Remaja kali ini. "Semua bagus. Maka saya sempat syok ketika dinyatakan sebagai pemenang," kata Aiman, juara di bidang ilmu pengetahuan hayati, yang melakukan riset bersama rekannya, Muhammad Farhan. Judul karya mereka "Potensi Ekstrak Tangkai Talas (Colocasia esculenta L. Schott) sebagai Bahan Herbal untuk Mencegah Penyakit Ulkus Peptikum".
Aiman dan Muhammad meneliti potensi ekstrak tangkai talas dalam mengobati penyakit ulkus peptikum atau luka di lambung dan saluran cerna akibat asam lambung berlebih. Ide ini muncul saat mengetahui banyak pasien di rumah sakit yang terkena penyakit tersebut. "Ada studi tentang tangkai talas sebagai obatnya tapi belum ada yang menguji," kata Aiman.
Penelitian dan pengujian ekstrak batang talas itu mereka kerjakan di laboratorium milik LIPI. Adapun percobaan terhadap hewan dilakukan di Universitas Gadjah Mada. "Risetnya sekitar lima bulan sejak Mei lalu," kata Aiman. "Penelitian ini akan terus kami dikembangkan, termasuk uji toksisitas."
Sebagai pemenang lomba inovasi dan karya ilmiah LIPI, Feriawan dan Aan serta Aiman dan Muhammad akan diboyong ke Amerika Serikat untuk bertarung di kompetisi Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF) di Los Angeles, California, 14-19 Mei 2017. Ini merupakan kompetisi sains internasional untuk pelajar terbesar di dunia, yang tahun lalu diikuti 75 negara dengan memperebutkan total hadiah US$ 4 juta atau sekitar Rp 52 miliar dan beasiswa.
Tak hanya ke Intel ISEF, tahun depan para inovator muda Indonesia itu akan berpartisipasi dalam lomba International Exhibition for Young Inventors di Jepang dan ASEAN Student Project Competition di Thailand.
Berkompetisi di ajang internasional membuat para peneliti muda ini terpacu berkarya lebih baik. Apalagi, menurut Feriawan, banyak hasil karya inovasi yang sangat bagus ditampilkan oleh peserta dari negara lain. "Di Harbin, contohnya, malah ada karya yang dibuat anak sekolah dasar. Ini jadi inspirasi. Mereka saja mau dan mencoba membuat temuan baru," ujarnya.
Sebelum berlaga di Amerika, Feriawan dan Aan berencana mengembangkan detektor D-Box CC dengan fitur tambahan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Mereka juga berniat mematenkan temuannya. "Kemarin sudah difasilitasi LIPI dalam pengurusan hak cipta alat kami ini," katanya.
Hanya, pembuatan hak paten membutuhkan biaya cukup besar untuk ditanggung oleh mereka. "Biaya pengurusan satu paten bisa sampai Rp 30 juta," kata Bambang. Saat ini sedang dibahas apakah mereka perlu membayar atau tidak. "Yang jelas, kami bantu pembuatan dokumennya."
LIPI, kata Bambang, siap mendampingi riset para pelajar dan membantu mendapatkan paten atas inovasi yang dihasilkan. "Kalau inovasinya baru dan memiliki nilai pasar, akan dibantu untuk dimatangkan lagi aplikasinya di dunia industri," ucap Bambang berjanji.
Bambang melihat terdapat tren positif dari para pelajar untuk melakukan riset dan mengikuti kompetisi ilmiah. Hal ini tak lepas dari banyaknya lomba yang digelar lembaga riset, termasuk perguruan tinggi. Hingga pertengahan tahun ini saja, setidaknya ada sembilan kompetisi internasional yang dimenangi pelajar dan mahasiswa Indonesia. "Ini menunjukkan riset di Indonesia mengalami peningkatan," katanya. "Dan nama Indonesia kian diperhitungkan di dunia sains."
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo