Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Kelompok Semarang

Inanta dan Kok Poo adalah dua murid tertua Dullah dari Semarang sejak 1968. Lukisan mereka ada yang pernah diberi sentuhan akhir oleh Dullah dan ditandatangani atas nama Dullah.

3 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di rumah kontrakannya di daerah Kasipah, Semarang, Inanta Hadi Pranoto hidup bersama keluarganya. Melukis masih menjadi mata pencariannya. Ruang belakang, yang berukuran kurang- lebih 10 meter persegi, penuh dengan perabot meja kursi dan bingkai lukisan. Bingkai lukisan itu tak hanya disandarkan di tembok, tapi juga di antara kursi-kursi. Rumah itu disewanya sejak dua tahun lalu. Akhir tahun rencananya dia akan pindah ke rumah barunya yang sedang dibangun. Rumah baru itu hasil penjualan rumah lamanya di Jalan Veteran, Semarang.

Dia masih mengingat baik ketika dia diajak seorang kawannya, pelukis di Semarang, Kok Poo, bertemu dengan Dullah di Solo pada 1968. Dia bersama Kok Poo pun berguru pada Dullah. Pada 1973, Dullah hijrah ke Bali. Sepuluh muridnya pun ikut serta, termasuk Inanta dan Kok Poo, yang dari kelompok Semarang. "Saya ikut sampai 1978. Banyak belajar mengenai seni lukis dari sang maestro di Sanggar Pejeng, Gianyar, Bali," ujar Inanta.

Inanta mengakui dekat dengan Dullah. Inanta pun tak memungkiri jika dikatakan karyanya sangat mendekati corak sang maestro. "Saat pameran, banyak yang mengkritik ’Ndullah’ banget. Mana Inantanya?" kata Inanta, menirukan pengkritik dalam sebuah pameran. Karena karyanya sering diidentikkan dengan sang guru, dia memutuskan "keluar jalur". Inanta memulai gaya baru pada 1987. Saking besarnya niat tak mau dianggap "Ndullah", dia pun membuktikan dalam pameran pada 2004 dengan tema "Menolak Dibingkai". Pameran itu digelar salah seorang kolektor karyanya di Jakarta.

Tapi tak mudah mengubah teknik yang telah dipelajari dari sang guru. "Ini sangat berat meninggalkan basic yang didapat dari Dullah. Teknik dan rasa yang pernah saya pelajari sulit saya tinggalkan," katanya. Meski mencoba keluar dari gaya dan teknik dari sang guru, Inanta masih mempertahankan basic aliran realis dengan penampilan corak yang berbeda. Menurut dia, khas karya Dullah yang  tipis dengan cat dleweran sengaja dihilangkan dengan cat yang normal, sehingga menghasilkan karya lukis yang tetap realis tapi cenderung impresif.

Sebagai murid, Inanta mengaku sering membantu membuat lukisan yang dibuat di sanggar Dullah. Termasuk tema perjuangan yang digagas Dullah  dan masih tersimpan di museum Dullah di Surakarta. Salah satunya lukisan bertema "rapat" yang menggambarkan rapat para pejuang gerilya. Lukisan itu, menurut dia, merupakan karyanya yang tak ditandatangani Dullah. Inanta menyatakan tak pernah mengklaim lukisannya sebagai karya Dullah. Meski kemungkinan besar banyak penikmat karya lukis yang tak tahu. "Pertimbangan etika," ujarnya. "Tak pernah saya atas namakan karya Dullah. Dia sudah senang muridnya bisa mengikuti, apalagi karyanya mirip." Inanta enggan menjawab soal karyanya yang diselesaikan atau ditandatangani Dullah.

Berbeda dengan Inanta, murid Dullah yang lain dari Semarang, Kok Poo, 73 tahun, lebih terus terang mengenai komisi dan lukisan bareng yang kemudian ditandatangani Dullah. Dia menganggap Dullah sebagai guru dan sudah seperti bapaknya. Dia dan muridnya yang lain sering disuruh membawakan lukisannya kepada sang pembeli. Mereka pun diberi "komisi" beberapa persen. Saat itu, kata Kok Poo, mereka tak memikirkan mendapat komisi. Mereka sudah senang bisa berguru kepada Dullah.

Kok Poo masih mengingat pertemuannya dengan Dullah. Dialah yang mengajak Inanta dan Tan Hok Lay berguru kepada Dullah. "Setelah omong-omong, kok kena di hati," ujarnya. Dalam melukis, menurut Kok Poo, Dullah sangat membebaskan para muridnya. Mereka tak harus membuat sketsa dulu atau harus membuat lukisan begini-begitu. Biasanya dia mengemukakan kritik dan masukan dari hasil lukisan yang dibuat muridnya.

Kok Poo ingat, dia dan para murid sering diminta membantu sang guru membawakan kanvas, cat, atau barang-barang lain saat hendak melukis di sanggar atau di luar sanggar. "Beliau itu seperti kesepian. Kalau ada murid yang dekat, kalau bisa, ya, tidak boleh pulang," tutur Kok Poo. Tak hanya di Solo, dia pun ikut hijrah ke Bali pada 1972-1982. Di Puri Pejeng, kamar mereka bersebelahan. Dia melihat Dullah adalah pekerja keras. Hampir setiap malam melukis. Dia melukis apa pun kecuali gambar binatang. Menurut dia, lukisan binatang dipandang terlalu komersial. "Saya sudah seperti kacungnya, nyebrang jalan juga mesti saya gandeng karena sudah tua," kata Kok Poo.

Kok Poo mengakui bahwa Dullah pun "merestui" muridnya melukis kemudian diberi sentuhan akhir atau ditandatanganinya. Biasanya itu lukisan dari foto. "Diselesaikan Pak Dullah paling cuma 15 menit," ujarnya. Ada juga ketika muridnya menemukan model dari orang-orang kampung di sekitar puri dan melukisnya dengan bagus. Seperti lukisan kakek membawa jago juga diberi sentuhan oleh Dullah. "Model ini best seller, tapi ya tidak terus-terusan. Paling sekali-dua kali itu joinnya," tuturnya.

Dia pun mempunyai pengalaman menarik tentang "join" melukis itu. Saat itu dia sedang melukis sosok kakek. Sudah ada sebagian yang dicat. Dullah menyuruhnya ke pasar membelikan rokok. Di pasar, Kok Poo bertemu dengan seorang kawan sehingga pulang agak lama. Saat pulang, dia menemukan Dullah sudah di depan kanvas dan melanjutkan lukisannya itu. Lukisan berjudul Kakek itu pun diteken oleh Dullah. Lukisan itu masih disimpannya bersama 10 lukisan asli Dullah.

Pengamat seni Agus Dermawan T. mengatakan Dullah memang sering "bersekutu" dengan muridnya. Hal itu dilakukan saat di Sanggar Pejeng, Bali. Dullah, kata Agus, sering menghentikan muridnya ketika sedang melukis. "Desainmu bagus, untuk saya saja," ujarnya menirukan Dullah. Lukisan itu lalu diteruskan oleh Dullah. Sang maestro meyakini hal itu tidak salah. Sebab, sepanjang sejarah seni lukis, Michaelangelo, Peter Paul Rubens, dan Anthony van Dyck sudah mengesahkannya.

DIAN YULIASTUTI, EDI FAISOL (SEMARANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus