Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Memoar Sang Pelintas Batas

Sebelum wafat, Ben Anderson merampungkan memoar yang pertama kali terbit dalam bahasa Jepang. Potret manusia penerabas batas.

3 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMSIL "seperti katak dalam tempurung" rupanya kental tertanam dalam benak Ben Anderson, penulis Imagined Communities yang sangat berpengaruh itu. Ben, yang wafat pada Desember tahun lalu di Indonesia, selalu mengecam perilaku seperti tamsil yang juga ada dalam kebudayaan Thailand itu. Katak seperti itu, kata dia, "Cetek wawasannya, jago kandang, cepat puas-diri, tanpa alasan yang benar."

Judul memoar ini, yang dia rampungkan beberapa bulan sebelum wafat, dengan baik mencerminkan semangat di atas. Ben adalah pelintas batas par excellence, fisik dan pikiran. "Saya tak pernah berada cukup lama di satu tempat untuk bisa disebut tinggal di sana," ujarnya bersyukur.

Ben sendiri beruntung, seperti berkali-kali dinyatakannya, karena dia sudah kosmopolitan sejak lahir. Nama lengkapnya, Benedict Richard O’Gorman Anderson, membawa jejak bapaknya yang Irlandia dan ibunya yang Inggris. Dia lahir di Kunming, Cina, pindah ke California, Amerika Serikat, pada usia tujuh tahun, dan pindah lagi ke Irlandia, ketika dia sepuluh tahun. Buat Ben, hingga akhir hayatnya, sepertinya "homelessness is a home".

Keluarganya juga amat terdidik, berwawasan luas, dan cukup kaya untuk membelikannya tiket berlibur ke tempat-tempat seperti Paris, yang memperluas cakrawala remajanya. Lalu dia mendapat beasiswa sekolah di Eton dan kuliah di Cambridge, dua "pabrik" pencetak elite Britania Raya. Belakangan, dia memuji model dan cakupan pendidikan klasik di sini, yang telah mendorong kecintaannya pada aneka budaya dan bahasa, termasuk dengan menghabiskan beberapa tahun mempelajari Tagalog agar bisa membaca karya José Rizal dalam bahasa aslinya.

Tapi, di luar sekian keberuntungan itu, pilihan-pilihannya sendiri berperan, dengan pengaruh jangka panjang. Ben mengklaim Cambridge telah membentuknya dalam dua cara. Pertama, dia sering pergi ke bioskop sewaktu kuliah, menonton film dari penjuru mana saja, yang memperluas wawasannya. Kedua, di Cambridge pula dia menyaksikan sejumlah mahasiswa kulit gelap digebuki dalam aksi protes terkait dengan Terusan Suez (1956) dan dia tak mampu menolong mereka. Semua ini menyiapkannya untuk punya "pandangan hidup yang kosmopolitan dan komparatif", tapi juga "perasaan yang bermanfaat sebagai seorang pinggiran".

Dia meninggalkan Cambridge dengan "gelar kelas-satu yang tak bermanfaat", lalu hijrah ke Cornell di New York, untuk studi doktoral. Mungkin karena keberuntungan atau kebetulan lainnya, Cornell terus menjadi rumahnya, mengajar dan membimbing banyak mahasiswa, hingga pensiun pada 2002. Di sini pula dia melahirkan banyak karya, yang selalu dicirikan oleh meleburnya batas-batas: antara akademikus dan aktivis; antara karya kesarjanaan dan populer; antara disiplin, multidisiplin, dan interdisiplin.

Memoar ini, yang terbit pertama kali dalam bahasa Jepang dan ditulis atas permintaan kolega Jepang, sayangnya tak menampung banyak yang kita harapkan akan kita baca tentang Ben dari mulutnya sendiri—dan saya ragu jika dia mau menuliskannya, karena beragam alasan. Ditulis untuk memberi pelajaran kepada anak-anak muda Jepang tentang bagaimana akademikus Barat berkarier, memoar ini jadi agak formal, tak seperti Ben yang sejauh ini kita kenal.

Tapi dari memoar semi-formal ini pun banyak hal menarik yang bisa didiskusikan dan menginspirasi. Favorit saya adalah ketika dia mengisahkan konteks penulisan karya-karyanya. Dalam penulisan Imagined Communities (1983), misalnya, dia memberi kredit besar kepada saudaranya, Perry Anderson, sejarawan Marxis yang "lebih pandai" darinya, yang mendorongnya untuk lebih multidisipliner, komparatif, dan tidak Eurosentris. Dari sanalah Ben memperoleh penjelasan lebih kokoh tentang mengapa nasionalisme punya "kemampuan mendorong orang untuk rela mati membelanya (nasionalisme)".

Sambil berkaca pada buku itu, Ben juga berbicara tentang dunia akademis mutakhir dengan meyakinkan. Dia mengecam pemisahan disiplin ilmu secara kaku dan menjamurnya beragam jurnal menurut disiplin tertentu, "yang artikel-artikelnya hanya bisa dibaca oleh segelintir kolega dalam disiplin yang sama dan tidak oleh publik luas". Katanya, Imagined Communities, yang terbit ketika Ben sudah berusia 48 tahun, tak mungkin bisa ditulis sekarang, karena adanya tekanan kepada para dosen muda untuk segera mengambil spesialisasi dan menerbitkan karya, di awal karier mereka. Buku itu bisa ditulis karena Ben, ketika mempersiapkannya, bebas membaca apa yang dia sukai, kapan dan di mana saja, dan kampusnya terus mendukung.

Becermin pada kariernya, Ben juga sangat skeptis kepada gagasan bahwa perguruan tinggi, didanai negara dan perusahaan, harus berfungsi sebagai sejenis persiapan bagi mahasiswa untuk masuk dunia kerja. Baginya, ini seperti bentuk ekstrem dari kecenderungan paradoksal dalam perguruan tinggi, khususnya di Amerika, yang mendorong penemuan "Teori Besar" tapi tak cukup memberi insentif ke arah itu. Sarannya, perlebar seluasnya jaring-jaring keingintahuan, karena berfokus pada satu "proyek riset" saja akan sia-sia. Bukankah ketika dilarang masuk ke Indonesia selama bertahun-tahun, dia justru "menemukan" bumi riset lain, yang sama suburnya, di Thailand dan Filipina?

Saya tak tahu bagaimana mahasiswa pascasarjana, atau para birokrat kampus, akan bereaksi terhadap saran-saran Ben di atas. Atau bisa jadi saran-saran itu muncul karena Ben berasal dari generasi yang berbeda, yang karenanya susah dibayangkan bisa diterapkan sekarang.

Di masa Ben belajar dan mengajar di Cornell, atau kampus-kampus lainnya, politik anti-komunisme di Asia menyediakan banyak dana untuk rekrutmen mahasiswa dan riset, bahkan menerbitkan jurnal nyentrik bernama Indonesia. Studi kawasan Asia Tenggara, yang mengharuskan pendekatan multidisipliner, juga menguat. Dan Ben dibimbing George Kahin, akademikus-cum-aktivis yang terkenal bukan hanya karena bukunya tentang revolusi Indonesia, tapi juga karena aktivismenya menentang perang Vietnam. Dalam memoar ini, menarik sekali membaca bagaimana Ben mengisahkan hubungannya dengan Kahin, yang lebih kolegial ketimbang hubungan kiai-santri. Penting dicatat: belakangan Kahin dengan bangga menulis pengantar untuk buku yang berawal dari disertasi Ben, Java in a Time of Revolution (1972), yang antara lain berisi koreksi atas pendapatnya sendiri.

Terlepas dari itu, kita tetap bisa menangkap pesan pokok memoar ini: ada banyak hikmah di balik keberanian untuk berkelana bertanya-tanya, melampaui batas-batas, tidak merasa nyaman seperti katak dalam tempurung. Jangan-jangan, ketika satu pintu tertutup, itulah juga saat ketika pintu-pintu lainnya terbuka.

Gaya Ben menulis juga tak berubah: tidak formal atau dingin, mungkin seperti bayangan anak-anak muda Jepang tentang tulisan profesor, mengalir lancar, kadang kocak. Misalnya, merasa tak enak dipanggil "tuan" (master) karena kulitnya putih, dia minta kawan-kawannya memanggilnya bulé, warna binatang-binatang albino. Kata itu bertahan sampai sekarang—dan makin populer.

Di tempat lain, Ben bilang kesarjanaan juga kadang tergantung luck, nasib mujur! Salah satu wawancara terbaiknya terjadi tak sengaja, dengan dua saudara yang mencerminkan absurdnya politik Jakarta: yang satu kepala intelijen tentara, satunya lagi anggota politbiro Partai Komunis Indonesia.

IHSAN ALI-FAUZI, DIREKTUR PUSAT STUDI AGAMA DAN DEMOKRASI, YAYASAN PARAMADINA, JAKARTA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus