Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak orang enggan memegang ikan lele. Tubuhnya yang licin karena mengandung lendir membuat sebagian orang jijik. Tapi, di tangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lendir itu bisa menjadi obat luka bagi pengidap diabetes.
Umumnya luka pada penderita penyakit gula sulit disembuhkan. Koreng bertahan lebih lama dibanding pada mereka yang bukan pengidap penyakit ini. Menurut R.M. Ravi Hadyan—salah seorang anggota tim peneliti—lendir lele bisa menyelesaikan masalah tersebut. "Lendir atau mukus ikan lele mengandung senyawa-senyawa protein aktif berupa antimicrobial peptides," katanya beberapa waktu lalu.
Senyawa ini, menurut dia, memiliki aktivitas bakterisidal yang kuat untuk membunuh bakteri patogen, sehingga bisa menyembuhkan luka lebih cepat. Selain Ravi, tim peneliti terdiri atas Joshua Alif Wendy, Dion Adiriesta Dewanda, Megaria Ariani, dan Utami Tri Khasanah.
Lele adalah ikan air tawar yang terkenal kuat dan tahan terhadap lingkungan air yang kotor sekalipun. Ikan jenis ini mempunyai mekanisme kekebalan yang kompleks. Bahkan lele kebal dan masih hidup di dalam air yang penuh bakteri patogen atau mikroorganisme parasit. Ikan ini jarang mengalami infeksi karena imunitas non-spesifiknya berupa lendir. "Ide itu muncul karena ikan lele punya alat imunitas berupa lendir pada kulit ikan ini," ujar Ravi.
Tim peneliti menguji kegunaan lendir lele ini pada tikus. Tikus diinduksi diabetes tipe 2 dengan antibiotik, kemudian dianestesi dan dilukai pada bagian punggung dan diberi bakteri methicillin resistant staphylococcus aerus. Jenis bakteri bandel ini merupakan patogen yang tak mempan oleh berbagai macam antibiotik.
Selama 15 hari, kata Ravi, luka pada tikus diolesi salep setiap pagi dan sore. Hasilnya menunjukkan salep lendir ikan lele bisa memberikan efek penyembuhan. Tikus yang diberi salep lendir lele sembuh lebih cepat dibanding tikus yang diberi salep antibakteri yang sudah beredar di pasar.
Tim peneliti yakin lendir lele berpotensi sebagai penyembuh luka pada manusia. Terlebih kemungkinan lendir tersebut menyebabkan bakteri menjadi resistan sangat kecil karena bakteri penginfeksi luka pada manusia rata-rata hidup pada suhu 37 derajat Celsius. Sedangkan lele hidup di lingkungan bersuhu rata-rata 10 derajat Celsius. "Jadi bakterinya belum pernah terpapar mukus ikan lele karena praktis belum pernah hidup di air," ucap Dion pada Rabu pekan lalu.
Dion mengatakan mereka berencana melakukan penelitian lanjutan pada penderita diabetes tipe 2. Sebelumnya, mereka berniat mematenkan temuan itu. "Saat ini kami masih berdiskusi dengan dosen pembimbing," ujarnya. Â
Guru besar penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sarwono Waspadji, mengatakan penelitian ini perlu dipublikasikan di jurnal agar masyarakat bisa menilai validitasnya. Sebab, banyak sekali faktor yang berpengaruh pada penyembuhan luka diabetes. "Tentu metode penelitian harus diperhatikan untuk sampai pada kesimpulan bahwa lendir lele bermanfaat," katanya Rabu pekan lalu.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam konsultan metabolik dan endokrin, Em Yunir, bisa jadi lendir lele mampu mengobati luka karena mengandung antibakteri. Tapi, perlu diingat, umumnya luka pada penderita diabetes sudah lama dan tak kunjung sembuh, tak seperti luka pada tikus percobaan.
Ia mengatakan sebagian besar penderita diabetes mengalami masalah kompleks, seperti pembuluh darah yang menyempit, respons imun untuk penyembuhan lukanya lambat, dan pertumbuhan jaringan baru penutup luka yang lama. "Mereka datang dengan luka yang sudah seminggu, bahkan sebulan. Tata laksananya berbeda dengan luka baru," kata dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.
Pemberian obat oles, kata dia, juga hanya sebagian kecil dari penanganan luka. Penderita diabetes juga harus diberi antibakteri yang sistemik, seperti obat minum. Juga banyak prosedur pengobatan lain yang diberikan, misalnya mengurangi tekanan pada luka dan mengontrol kadar gula darah. "Jadi memang harus ada penelitian lanjutan."
Muh Syaifullah (Yogyakarta), Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo