Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset Inovasi Nasional atau BRIN sedang mengembangkan Development of Experimental Cyclotron in Yogyakarta atau DECY-13 Cyclotron. DECY-13 merupakan pengembangan rancang bangun akselerator siklotron yang dimanfaatkan untuk bidang kesehatan dan industri. Riset ini dikembangkan oleh Pusat Riset Teknologi Akselerator (PRTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Periset PRTA BRIN Ihwanul Aziz menjelaskan, siklotron merupakan salah satu teknologi akselerator yang menggunakan pemercepatan berbentuk melingkar. Hal tersebut disampaikan Aziz pada kegiatan Indonesia Research and Innovation Expo (InaRI) Expo 2024, di Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno, Cibinong, Jumat 9 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aziz menyebutkan, jika radiofarmaka merupakan obat yang memanfaatkan radiasi nuklir. Radiofarmaka dapat diproduksi menggunakan reaktor nuklir. “Ke depannya, jika akselerator ini sudah berhasil dibuat di Indonesia, maka akselerator dapat dimanfaatkan untuk membuat radiofarmaka. Radiofarmaka yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengobati kanker, mendiagnosis penyakit tertentu,” katanya dilansir dari laman resmi BRIN.
Aziz mengatakan, akselerator berfungsi untuk mempercepat partikel bermuatan. “Partikel bermuatan itu ada elektron dan proton. Proton digunakan untuk menghasilkan ion. Siklotron DECY-13 adalah siklotron pertama yang dibangun di Indonesia oleh PRTA BRIN," ujar Aziz.
"Ke depannya, akan ada Skarla 30, yang merupakan akselerator dengan skala lebih besar dengan energi 30 MeV (Mega elektron Volt),” kata dia.
Lebih lanjut Aziz menjelaskan, salah satu kelebihan dari akselerator adalah tidak adanya zat radioaktif pada sistem akselerator selama tidak beroperasi dan terhubung dengan listrik. “Berbeda dengan reaktor nuklir yang masih terdapat radiasi, walaupun dalam keadaan tidak beroperasi,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka dan Biodosimetri BRIN Miftakul Munir menerangkan radiofarmaka Kit Etambutol yang dikembangkan pertama kali dan diproduksi oleh Indonesia.
“Fungsi dari Kit Etambutol adalah untuk mendeteksi adanya tuberkulosis (TBC) di luar paru-paru. TBC merupakan salah satu penyakit terbanyak yang ada di Indonesia dengan peringkat pengidap TBC nomor dua di dunia setelah India,” kata Munir.
Peneliti Ahli Utama BRIN, Rohadi Awaludin mengatakan bahwa produksi radioisotop dan radiofarmaka telah menjadi pilar penting dalam upaya menciptakan kemandirian bangsa di bidang medis, khususnya kedokteran nuklir.
Saat ini nuklir masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian orang. Orang masih takut mendengarnya. Padahal sesungguhnya nuklir inilah kunci kesejahteraan berada, termasuk di bidang kesehatan,” ujar Rohadi dilansir dari laman BRIN.
Rohadi memaparkan, saat ini sebagian besar radioisotop dan radiofarmaka digunakan untuk penyakit kanker, selain untuk penyakit jantung dan ginjal. “Radiofarmaka adalah teknik yang powerfull sebagai penegakan diagnosis kanker,” katanya.
Radiofarmaka Tc-99m paling banyak digunakan untuk melakukan diagnosis, karena waktu paruhnya pendek dan paparan gammanya kecil, sehingga efek dalam tubuh minimal. Contohnya untuk bone scan. Untuk jantung dapat menggunakan Kit Radiofarmaka MIBI (Methoxy Isobutyl Isonitrile) dan untuk fungsi ginjal menggunakan Radiofarmaka DTPA (dietilenetriaminepentaasetat). “Semua kit tersebut diproduksi menggunakan reaktor nuklir,” kata dia.
Rohadi juga mengungkap kelebihan adiofarmaka untuk terapi adalah targeted artinya, hanya tertuju dan terakumulasi ke organ atau jaringan sasaran saja. Selain itu juga dapat langsung kita lihat hasilnya setelah terapi diberikan.
“Dan sekarang dapat dilakukan sekaligus. Bukan hanya untuk diagnostik saja atau terapi saja, namun dapat dilakukan untuk keduanya sekaligus, disebut dengan teranostik, terapi sekaligus diagnosik,” ujar Peneliti BRIN tersebut.