Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melaporkan adanya temuan katak jenis baru, Oreophryne riyantoi, pada Rabu, 18 Oktober 2023. Katak ini telah dilakukan analisis morfologi dan filogenetik oleh tim herpetologi Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE) BRIN, yaitu Auni Ade Putri, Wahyu Trilaksono, Hellen Kurniati, Amir Hamidy, dan tim Institut Pertanian Bogor, University of California, dan Zoological Community of Celebes Sulawesi Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Auni mengatakan asal-usul nama “riyantoi” pada katak jenis baru ini didedikasikan untuk Awal Riyanto, seorang peneliti senior yang saat ini aktif meneliti di PRBE BRIN. “Apresiasi tersebut diberikan sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa dalam bidang taksonomi dan konservasi herpetofauna di Sulawesi,” kata Auni lewat rilis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dasar penemuan Oreophryne riyantoi didukung dari data morfologi dan analisis filogenetik gen 16S rRNA. Hasil identifikasi menyebutkan, spesies baru ini didiagnosis memiliki moncong bulat pada tampilan punggung dan lateral, membran timpani tidak jelas, jarak interorbital sempit, tangan kecil, jari tangan dan kaki tidak berselaput, cakram terminal pada jari tangan dan kaki kecil, kakinya yang sangat pendek, serta permukaan punggung kepala, badan, dan anggota badan dengan tuberkel yang tidak teratur.
Berdasarkan analisis mendalam dan sejumlah pendekatan identifikasi lainnya, tim sepakat dan meyakini spesimen kali ini tervalidasi sebagai spesies berbeda, serta belum memiliki nama ilmiah.
Sementara, menurut Wahyu dan Hellen, ada yang menarik dari penemuan katak jenis baru kali ini. Biasanya, genus Oreophryne ditemukan tinggal di daerah terestrial, seperti padang rumput terbuka di dataran tinggi atau padang rumput yang didominasi pakis. Namun uniknya, kali ini tim menemukan Oreophryne riyantoi hidup di hutan pegunungan.
Wahyu menjelaskan saat proses identifikasi, tim memeriksa morfologi 50 spesimen Oreophryne Sulawesi dan mengenali spesies berbeda yang belum terdeskripsikan. Seluruh spesimen Oreophryne riyantoi dikumpulkan Wahyu pada 20 November 2011, di Gunung Mekongga, Pegunungan Mekongga, Kecamatan Wawo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. “Holotipe tersimpan di Museum Zoologicum Bogororiense (MZB), Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah BRIN, dengan paratipe seekor jantan dewasa dan seekor jantan remaja,” jelasnya.
Sementara itu, Amir menjelaskan, setelah penemuan ini dipublikasikan pada 12 Oktober 2023 dalam Jurnal Zootaxa Volume 5353 Nomor 5, maka telah terdapat empat spesies endemik Oreophryne di Sulawesi. Menurutnya, kegiatan penelitian herpetologi, termasuk survei dataran tinggi dan penelitian taksonomi tambahan masih sangat diperlukan untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang keanekaragaman Oreophryne dan filogeografinya di Sulawesi.
“Studi taksonomi Oreophryne dan diagnosis spesies baru telah lama terhambat, karena beberapa spesies tidak ditemukan lagi sejak pertama kali dideskripsi, sehingga sebagian besar belum dipelajari,” katanya.
Sebelumnya, diketahui hanya tiga spesies endemik Oreophryne ditemukan di Sulawesi, yaitu Oreophryne celebensis di Pegunungan Boelawa dan Lembah Totoiya, Gunung Sudara (dikenal juga sebagai Gunung Dua Saudara) di Sulawesi Utara. Kemudian, Oreophryne variabilis yang dideskripsikan dari Gunung Lompobatang, Sulawesi Selatan dan baru-baru ini juga dilaporkan dari Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara. Ketiga adalah Oreophryne zimmeri yang diketahui hanya dari tipe lokalitasnya di Pegunungan Mekongga.
Katak Mini, Oreophryne, mencapai keragamannya di daratan New Guinea dan di pulau-pulau sekitarnya. Genus ini juga meluas ke wilayah Wallacea di Maluku, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil, Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, dan Flores, bahkan sampai ke kawasan Oriental di Bali, dan Kepulauan Filipina bagian selatan Mindanao dan Biliran.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan, genus ini mungkin telah bermigrasi dari New Guinea ke Asia Selatan.
Secara morfologi dan ekologis, Oreophryne memang beragam, namun pada dasarnya bersifat scansorial dan arboreal. Oleh karena itu, banyak spesies yang dideskripsikan memiliki cakram digital yang membesar dengan kaki belakang yang relatif panjang sebagai adaptasi untuk memanjat. Selain itu, amfibi Sulawesi yang menghuni dataran rendah hingga pegunungan saat ini menghadapi ancaman, berupa hilangnya habitat di pulau ini dan perubahan iklim global.
Oleh karena itu, eksplorasi herpetologi, khususnya taksonomi, tetap menjadi prioritas di wilayah yang terkena dampak. Pekerjaan seperti ini juga akan mendukung keanekaragaman hayati dan upaya konservasi para pemangku kepentingan di pulau ini.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.