Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti BRIN mengembangkan cat antiradar.
Menyerap gelombang radar di frekuensi X-band, frekuensi yang lazim digunakan radar militer.
Akan diaplikasikan pada kendaraan tempur, bangunan, hingga tekstil.
RAUT muka Wisnu Ari Adi semringah. Profesor riset dari Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju itu berhasil membuat purwarupa kapal siluman berdimensi 2 x 1 meter tidak terdeteksi oleh sistem radar Kapal Republik Indonesia (KRI) Teluk Amboina 503. Padahal purwarupa kapal siluman tersebut berbahan besi seperti kapal pada umumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahasia kapal besi itu menjadi siluman adalah cat antiradar yang dibalurkan ke sekujur permukaan kapal setebal 1-3 milimeter. Wisnu memperlihatkan rekaman video dari monitor radar KRI Teluk Amboina 503 ketika purwarupa kapal siluman melaut. "Kapal-kapal di sekelilingnya terdeteksi radar, tapi kapal siluman tersebut tidak," kata Wisnu, Kamis, 7 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk memastikan efektivitas cat serta sensitivitas radar KRI Teluk Amboina, Wisnu membuat purwarupa kapal lain yang persis dengan purwarupa kapal siluman. Bedanya, purwarupa kapal kedua itu tak dipoles dengan cat antiradar. Ketika dua purwarupa tersebut bergerak beriringan, di monitor radar hanya tampak kapal purwarupa yang tidak dipoles cat antiradar.
Pengujian juga dilakukan dengan menutup permukaan kapal purwarupa bercat antiradar menggunakan bahan terpal. Ketika tutup dipasang, pergerakan kapal terekam di monitor. Namun, ketika terpal penutup dibuka, kapal purwarupa yang sengaja dirancang untuk pengujian cat antiradar tersebut langsung menghilang dari pantauan radar KRI Teluk Amboina 503.
KRI Teluk Amboina 503 adalah kapal perang pengangkut pasukan dan logistik perang. Kapal yang diluncurkan Sasebo Heavy Industries pada 17 Maret 1961 itu dibekali sistem radar buatan Raytheon Anschütz, perusahaan Jerman yang menjadi pionir teknologi navigasi kapal komersial dan perang sejak 1905. Radar yang digunakan kapal ini berada di frekuensi X-band.
Dua frekuensi radar yang kerap digunakan adalah S-band dan X-band. Radar X-band adalah radar yang bekerja di rentang frekuensi 8,0-12,0 gigahertz (GHz) dengan panjang gelombang 2,5-3,75 sentimeter. Sedangkan S-band berada di rentang frekuensi 2,0-4,0 GHz dengan panjang gelombang 7,5-15 sentimeter. X-band lebih sensitif dan cocok untuk mendeteksi obyek jarak dekat ketimbang S-band, yang biasa digunakan dalam observasi cuaca.
Pada 2019, ujar Wisnu, sebenarnya cat ini telah diuji dengan melapisi permukaan Kapal Patroli Keamanan Laut Sadarin sepanjang 15 meter. Saat itu hasilnya mulai terlihat. Kapal Sadarin tidak terdeteksi radar. "Namun (pengujian) dengan radar spesifikasi militer baru pada KRI Teluk Amboina 503," tuturnya.
Menurut peneliti dari Pusat Riset Elektronika dan Telekomunikasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yana Taryana, radar militer umumnya bekerja dalam gelombang 8,0-12,0 GHz. Yana, yang terlibat dalam pengembangan cat antiradar ini sejak 2016, menjelaskan, sepanjang radar berada di frekuensi tersebut, cat ini mampu bekerja dengan baik. "Cat bekerja dengan menyerap radar, tidak memantulkannya. Inilah yang membuat obyek seolah-olah menghilang," ucapnya.
Untuk mengecoh radar, Yana menambahkan, ada dua cara. Pertama, merekayasa bentuk geometri sehingga gelombang radar akan dipantulkan secara menyebar atau tidak dipantulkan kembali ke radar sehingga tak terdeteksi. Kedua, menyerap sepenuhnya gelombang radar sehingga tak ada yang dipantulkan. "Makin tinggi penyerapan gelombang, pantulannya makin rendah," kata doktor lulusan Institut Teknologi Bandung ini.
Ahli elektromagnetik ini mengatakan diperlukan material khusus untuk menyerap gelombang radar. Material inilah yang dikembangkan oleh Wisnu Ari Adi. Sebagai peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang terbiasa bekerja dengan logam tanah jarang, Wisnu menduga ada potensi dari pasir monasit—mineral fosfat berwarna cokelat kemerahan yang mengandung logam tanah jarang—untuk dikembangkan menjadi material yang mampu menyerap gelombang radar.
Pasir monasit lalu diekstrak untuk memisahkan kandungan radioaktif berbahaya di dalamnya, seperti torium. "Tertinggal banyak kandungan logam tanah jarang potensial setelah proses tersebut," ujarnya. Logam tanah jarang yang dihasilkan beragam, dari lantanum, serium, hingga neodimium. Wisnu lantas menggunakan salah satu kandungan tersebut sebagai bahan dasar pembuatan material yang mampu menyerap gelombang radar.
Menurut doktor lulusan Universitas Indonesia ini, kandungan dalam cat antiradar tersebut memiliki sifat seperti gelombang elektromagnetik yang tersusun dari kombinasi logam tanah jarang dan logam lain. Ia menamai material penyusun cat antiradar itu smart magnetic. Struktur magnetiknya hanya bisa diuji dengan teknologi nuklir.
Untuk menguji efektivitas material dasar pembuat cat yang berupa serbuk itu, Wisnu menggunakan teknologi neutron scattering yang hanya beroperasi dengan memanfaatkan tenaga dari reaktor nuklir. Ia menjelaskan, di Asia Tenggara, hanya Batan yang mampu menguji bahan dengan neutron scattering. Semua aktivitas di laboratorium ini ia lakukan sejak 2010.
Wisnu juga menggandeng Guritno Gustianto, periset utama di PT Sigma Utama, badan usaha milik negara yang berspesialisasi memproduksi dan mengembangkan produk cat, pada 2015. Guritno menerangkan, ia bertugas membuat cat dari bahan dasar formulasi serbuk yang telah diolah Wisnu. Sampel awalnya saat itu, menurut Guritno, hanya 100 gram.
Pada 2017, riset ini berkembang dengan bergabungnya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan adanya pembiayaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi—kini menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Menurut Guritno, pengembangan lalu disesuaikan pada kendaraan militer, terutama kapal. "Kami menggabungkan material dengan bahan-bahan pembuat cat spesifikasi kapal sehingga sesuai dengan lingkungan kapal," kata Guritno. Untuk itu, ia menambahkan pelapis antikorosi dan antiultraviolet.
Menurut Guritno, cat antiradar itu telah berkembang sangat pesat dan amat siap dikomersialkan secara terbatas di industri pertahanan dalam negeri. Ia mengatakan, dalam dua tahun terakhir, PT Sigma mengembangkan cat itu agar mudah diaplikasikan dengan penyemprot sehingga lebih efisien.
Wisnu menuturkan, dengan bergabungnya Kementerian Keuangan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, penelitiannya berkembang pesat. Salah satunya dalam hal penyerapan gelombang, yang kini angkanya mencapai 95 persen. Selain itu, cat dapat diaplikasikan pada permukaan lain, seperti kendaraan tempur, bangunan, dan tekstil.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, mengatakan temuan Wisnu, yang saat ini bernaung di Organisasi Riset Nano Material BRIN, dapat menjadi pemantik untuk merancang alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang lebih stealth dan belum dimiliki Indonesia. Ia membayangkan efektivitas mode siluman akan lebih baik lewat penggabungan cat antiradar dengan kendaraan yang dirancang khusus menjadi siluman. Wisnu optimistis cat pengecoh radar ini bisa masuk industri alutsista untuk diaplikasikan secara luas pada 2030.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo