Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wabah PMK yang melanda ternak di Jawa Timur sudah diprediksi sejak 2015.
Wabah yang menjangkiti sapi ternak ini berkorelasi dengan korupsi di sektor pertanian.
Indonesia tak memiliki ahli veteriner yang bisa mencegah wabah peternakan karena terlindas kepentingan-kepentingan politik.
WABAH penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak di Indonesia memicu saya meninjau ulang analisis ekonomi-politik dan riset tentang industri peternakan di Indonesia yang pernah saya tulis di Financial Review pada 2015. Berdasarkan riset tersebut, munculnya wabah ini berkorelasi dengan watak demokrasi prosedural, kontestasi intra-elite, dan korupsi politik yang melembaga di Indonesia. Jika digali lebih dalam, Indonesia terjerumus pada jebakan ekonomi-politik berkaitan dengan perubahan kebijakan peternakan yang dibuat sendiri, berupa keran-keran impor yang rentan terhadap risiko biosekuriti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa wabah PMK pada ternak terjadi? Jawaban sederhananya: impor ternak pada April 2022. Koran Tempo berhasil memetakan penyebaran awal PMK. Tapi, sejak riset 2015 itu, saya sudah memprediksi penyakit ini akan menyebar terus hingga Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Utara, dan Aceh karena kontrol lalu lintas ternak ruminansia lemah. Celaka dua belas, prediksi itu kini menjadi kenyataan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan selanjutnya: mengapa terjadi pelanggaran biosekuriti? Apakah itu kecelakaan yang mengerikan atau ada beberapa alasan struktural yang mendasarinya? Kalau kita memusatkan perhatian ke alasan struktural, saya akan menguraikan krisis wabah ini dari segi ekonomi-politik.
Tantangan pemerintah Indonesia kini adalah menjaga keseimbangan produksi dalam negeri dan impor. Namun retorika politik berulang Presiden Joko Widodo dan “Perdana Menteri Informal” Luhut Pandjaitan serta Menteri Pertanian adalah swasembada daging sapi, yang jelas tidak mungkin tercapai. Berdasarkan data resmi 2021, kebutuhan daging dalam negeri 700 ribu ton, sementara ketersediaan daging hanya 400 ribu ton. Mau tak mau pemerintah harus mengimpor daging sapi untuk memenuhinya.
Impor sapi memakai sistem kuota yang berlaku sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Jokowi mengubah asal impor dari berbasis negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 menjadi berbasis zona dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014. Impor ternak berbasis negara hanya diizinkan bagi negara asal impor yang dinyatakan aman dari penyakit oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Sedangkan impor berbasis zona diizinkan bagi zona yang dinyatakan aman tapi belum dinyatakan aman secara keseluruhan oleh OIE, seperti Malaysia, Argentina, dan Brasil. Perluasan negara asal impor ternak ini yang membuka peluang masuknya penyakit, ditambah lemahnya karantina dan pengawasan di lapangan.
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana izin impor dialokasikan? Bagaimana mengontrolnya? Izin impor dialokasikan dan ditegakkan oleh Kementerian Pertanian. Pada setiap periode kepresidenan, kementerian ini diperebutkan dan dikangkangi pembesar-pembesar politik serta jaringan-jaringan kekuasaannya. Peran Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian dan karantina sulit melawan kekuatan politik dan bisnis yang bersekutu.
Tarik-ulur antara pencegahan risiko biosekuriti dan impor sebagai sumber dana gelap politik pun menjadi marak. Di satu sisi, risiko biosekuriti bisa diminimalkan dan dicegah ketika protokol dan aturan kekarantinaan yang memadai ditegakkan secara efektif dan konsisten. Pada waktu yang sama, analisis risiko biosekuriti terus dilakukan terutama oleh pejabat negara dengan keahlian ilmu keveterineran. Juga penegakan hukum yang tegas bagi pelaku-pelaku yang mengakibatkan tersebarnya PMK.
Secara historis, Presiden Soeharto menunjuk Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan Jannes Humuntal Hutasoit, yang memiliki keahlian ilmu kedokteran hewan dan peternakan, di Kementerian Pertanian. Berkat gagasan-gagasan keveterineran Hutasoit, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang ternaknya aman dari penyakit oleh OIE pada 1990. Narasumber elite anak buah Hutasoit menjelaskan bahwa menteri muda ini berkeyakinan jauh lebih penting menjaga ketahanan pangan suatu negara yang tergolong bebas PMK untuk memperdagangkan ternak dengan negara-negara serupa ketimbang dengan negara yang terjangkit penyakit itu.
Kita bisa menelusuri alokasi sistem izin impor untuk semua komoditas pertanian terkait erat dengan korupsi politik. Izin impor merupakan sumber pencaplokan dan pengumpulan “dana gelap politik” (informal slush funds). Posisi menteri-menteri di kabinet Yudhoyono dan Jokowi mencerminkan perjanjian politik dengan partai pendukung dalam demokrasi prosedural di era Reformasi. Karena itu, pembesar partai dan tokoh bisnis bisa mencaplok rente dari kuota dan kegiatan impor sapi bakalan dan daging. Jadi ada insentif politik untuk menghindari secara diam-diam atau mengakali aturan formal yang berisi keharusan karantina, termasuk protokol biosekuriti yang baku dan berstandar internasional. Ada juga insentif ekonomi untuk mencari harga ternak yang lebih murah dalam perdagangan internasional yang kebetulan ada di negara-negara yang terjangkit penyakit mulut dan kuku, seperti India dan Malaysia.
Keberhasilan Indonesia mencegah wabah PMK selama tiga dekade membuat pemerintah terlena dan kehilangan fokus, bahkan tidak lagi melihat risiko biosekuriti sebagai ancaman. Kalau menganalisis skandal-skandal, termasuk impor daging sapi sampai suap hakim Mahkamah Konstitusi dan skandal “buku merah”, kita bisa mengidentifikasi pergeseran tiga aspek kontestasi intra-elite di Indonesia.
Pertama, distribusi kekuasaan dari Kementerian Pertanian di masa Yudhoyono ke Kementerian Perdagangan di masa Jokowi. Kedua, pengendalian politik Kementerian Pertanian di bawah pimpinan Partai Keadilan Sejahtera dan pengaruh Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di masa Yudhoyono bergeser ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golkar di masa Jokowi.
Ketiga, peningkatan derajat kerentanan Indonesia terhadap krisis wabah saat ini adalah bahwa Menteri Pertanian pertama Presiden Jokowi, Amran Sulaiman (dengan latar belakang pengusaha pabrik racun tikus dan salah satu anggota tim sukses kampanye 2014 Jokowi), mewujudkan perubahan kebijakan impor hasil ternak dari berbasis negara menjadi berbasis zona.
Melalui analisis dua skandal korupsi daging sapi impor di masa Yudhoyono dan kasus suap hakim konstitusi Patrialis Akbar serta “buku merah” yang diduga melibatkan mantan Kepala Kepolisian RI, Tito Karnavian, di periode Jokowi, kita bisa menemukan benang merah bentuk impor ternak, yaitu Basuki Hariman, importir besar. Perannya terkuak dalam praktik jual-beli kuota impor yang bermuara pada jaringan kekuasaan Menteri Pertanian Suswono (PKS) dan keberkepihakannya pada gagasan impor country-based. Pada era Amran Sulaiman, ada perebutan baik dari sisi kekuasaan di antara dua kepentingan elite berlawanan maupun dari sisi gagasan country-based melawan zone-based.
Untuk mengepung jaringan PKS yang bercokol pada keran-keran country-based, Amran menutup sumber impor seraya membuka keran impor baru di zone-based. Maka Basuki Hariman, yang termotivasi kecemasan akan potensi menurunnya harga daging sapi dan terganggunya keuntungan bisnis gara-gara terbukanya keran-keran baru menyuap Patrialis Akbar, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di bawah Agus Rahardjo.
Upaya Basuki mendukung permohon uji materi yang menyoal kebijakan zone-based kalah di Mahkamah Konstitusi. Tapi, di sisi lain, kepentingan elite korup disertai gagasan impor hasil ternak (sapi dan kerbau) berdasarkan zona tetap mencapai kejayaan atas kepentingan biosekuriti dan kepentingan rakyat. Menteri Syahrul Yasin Limpo, politikus Golkar yang pindah ke Nasdem dan berasal dari dinasti politik korup, melanggengkan kebijakan impor zone-based.
Kebijakan tersebut menyingkirkan kaum veteriner dalam perebutan kekuasaan di Kementerian Pertanian. Karena itu, pejabat dengan latar belakang veteriner yang paling memahami ancaman biosekuriti tersingkirkan dan risiko biosekuriti tidak tersalurkan ke dalam proses kebijakan pertanian. Faktor-faktor itu terbukti meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap penyakit mulut dan kuku.
Dalam krisis wabah PMK, kepentingan jutaan petani kecil di industri peternakan menghadapi cobaan pelik. Itu sebabnya sangat penting menuntut presiden dan pemerintah turun tangan menggenjot perlindungan dari risiko-risiko biosekuriti. Perlindungan dari risiko biosekuriti seharusnya diutamakan di tingkat proses pembuatan kebijakan pertanian.
Saya menilai ada dua kemungkinan skenario dalam waktu singkat. Pertama, pemerintah terpaksa membasmi sebagian besar sapi dan kerbau di industri peternakan. Skenario ini sangat menghancurkan kepentingan peternak kecil yang rata-rata memiliki satu-dua ekor sapi dan merupakan sebagian besar stok domestik peternakan Indonesia. Kedua, pemerintah membiarkan penyakit tersebut menjadi endemi, yang tentu saja bukan hasil yang diharapkan. Bayangkan jika wabah ini dicegah dari awal, tentu industri peternakan dalam negeri akan lebih banyak terselamatkan.
Korupsi politik itu berdampak negatif, langsung, dan dahsyat terhadap kesehatan hewan dan masyarakat, kerugian peternak lokal yang ternaknya harus dimusnahkan demi pencegahan penularan penyakit, serta kerugian keuangan negara untuk mengatasinya. Pemerintah Indonesia mungkin perlu meniru Soeharto. Di luar kekuasaan otoritariannya, ia bekerja sama dengan Australia mendirikan Laboratorium Besar Penanggulangan PMK untuk mencegah wabah ini.
___
* Koreksi pada 18 Mei 2022 pada asal partai Menteri Syahrul Yasin Limpo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo