Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Cerita Durga Dari Jatiguwi

Temuan arca Durga di Malang bisa mengungkap banyak hal. Dari perubahan mitologi sampai peralihan zaman.

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Durga yang cantik seperti kehilangan pesona: hidungnya terkikis, mata kanannya picik, dan dua buah dadanya tak lagi bulat.

Ngatiran, 65 tahun, menemukannya pada awal September lalu di belakang rumahnya di Desa Jatiguwi, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ketika ia sedang berkebun, cangkulnya terantuk benda keras. Ternyata benda yang tersembunyi di kedalaman setengah meter itu patung Durga Mahisasuramardini atau "Durga yang sedang membunuh lembu raksasa". Tingginya 53 sentimeter. "Saat saya temukan sudah rusak begini," kata Ngatiran di rumahnya.

Dalam Durga Mahisasuramardini, ada tiga figur penting. Selain Durga, ada mahisa, lembu, yang berada persis di bawah kaki Durga. Kemudian figur raksasa (asura) di sebelah kiri bawah, wujud asli lembu. "Kata mardini artinya mengalahkan," ujar Agus Aris Munandar, pakar arkeologi klasik dari Universitas Indonesia.

Menurut Agus, arca Jatiguwi menggambarkan Durga yang sedang bertarung melawan raksasa berwujud lembu. Adegan pertarungan dapat dilihat dari sikap tangan (hastabyuja) yang biasanya berjumlah delapan buah. "Tangan-tangan itu muncul dari energi besar Siwa," tuturnya.

Alkisah, para dewata kerepotan menghadapi raksasa berwujud lembu yang mengamuk di Indraloka. Tiga dewa utama-Siwa, Wisnu, dan Brahma-pun kelimpungan menghadapi raksasa itu. Kejengkelan Siwa membuncah. Energi besarnya yang terpendam berpindah ke Parwati-istri Siwa-dan mengubahnya menjadi Durga bertangan delapan. Lantas trimurti, ketiga dewa utama, memberikan semua senjata mereka ke Durga, yang juga dikenal sebagai dewi perang. Si lembu raksasa akhirnya takluk.

Sayang, sengitnya pertarungan tersebut kurang tergambar dari arca Durga temuan Ngatiran. Dari delapan, hanya dua tangan yang tersisa: tangan kiri yang sedang menjenggut rambut raksasa dan tangan kanan yang sedang menarik buntut lembu. Sedangkan tangan lain, yang seharusnya menggenggam senjata tiga dewa, seperti cakra, busur panah, belati, dan tali jerat, rusak.

Di kalangan Hindu Syaiwa di Jawa, mitologi lahirnya Durga tersebut mengalami metamorfosis. Di Nusantara, Durga dianggap sebagai sisi "buruk" Parwati setelah terkena kutukan Siwa. Dalam Kidung Sudamala diceritakan Parwati berselingkuh dengan penggembala sapi jelmaan Siwa. Singkat cerita, dia diusir dari Indraloka ke Setra Gandamayu-tempat setan berkumpul.

"Dengan wujud seram dan delapan tangan itu dia jadi penguasa di sana," kata Karsono Hardjosaputra, pakar filologi Jawa dari Universitas Indonesia. Durga baru bisa kembali ke wujud Parwati setelah diruwat Sadewa, tokoh paling bontot di antara Pandawa Lima. Dalam Sudamala, Sadewa diceritakan sebagai anak Siwa.

Menurut Karsono, penggubahan tersebut tentu melihat aspek lokal yang ada. Di India, dia menjelaskan, cerita Durga amat matrilineal, mengedepankan perempuan. Sedangkan di Jawa, sudut pandang itu diubah menjadi patrilineal. "Laki-laki yang lebih ditonjolkan," tuturnya.

Meski begitu, baik di India maupun di Jawa, Durga Mahisasuramardini sama-sama digambarkan sebagai sosok bertangan delapan atau lebih. "Tergantung wangsit yang didapat pemahatnya," ujar Agus. Pemahat, kata dia, sudah pasti dari golongan Brahmana karena mereka dianggap memiliki pengalaman batin yang cukup dalam untuk menciptakan sebuah karya seni.

Para pemahat pun bebas menggambarkan posisi badan Durga Mahisasuramardini. Tak sedikit arca Durga dipahat agak miring ke kiri, seperti arca Jatiguwi. Sekadar perbandingan, di Museum Nasional Jakarta, ada tiga sampai lima arca yang arah badannya seperti arca dari Jatiguwi. Sisanya menghadap ke depan, sikap sempurna, badan tegak, mata memandang lurus ke depan. Hingga saat ini, Museum Nasional menyimpan lebih dari 20 arca Durga Mahisasuramardini dari abad ke-8 hingga ke-14.

Selain posisi tubuh yang berbeda-beda, Agus Aris Munandar mengatakan, ikon yang tersemat di arca juga dapat menyiratkan asal dan masa pembuatan. Ilustrasi daun-bunga teratai yang tumbuh di tanah menyiratkan bahwa arca dibuat oleh seniman dari zaman Kerajaan Singosari, yang berjaya sepanjang 1222-1292. Namun teratai dengan vas bunga merupakan ciri khas Kerajaan Majapahit (1293-1500). Teratai melambangkan ketenangan dan kedalaman jiwa.

"Kalau dua ciri itu tak ada, kita patut curiga arca dibuat pada zaman yang lebih tua," kata Agus. Misalnya berasal dari Mataram Kuno atau Kerajaan Kadiri. Sayang sekali, karena cacat, dua ciri tersebut tak terlihat pada Arca Durga Mahesasuramardini dari Jatiguwi.

Keindahan pahatan juga mencirikan zaman pembuatan. Semakin tua zamannya, pahatan dari arca akan semakin bagus, halus. "Contohnya seperti Durga Mahisasuramardini di Candi Prambanan," ujarnya. Sebaliknya, semakin mendekati periode masuknya Islam ke Nusantara, keindahan pahatan semakin tak diperhatikan.

Amri Mahbub, Abdi Purnomo (malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus