Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Revolusi Indonesia Dalam Jepretan Serdadu Knil

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FOTO-foto langka era revolusi dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, hingga pertengahan Oktober mendatang. Sekitar 100 foto koleksi Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda, itu menampilkan gelora Perang Kemerdekaan hasil bidikan kamera Tentara Kerajaan Hindia Belanda alias Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL).

Sebagian besar foto periode 1945-1950 itu belum pernah dipublikasikan dan memiliki sudut pandang berbeda: kesaksian para serdadu Belanda. Dalam pameran bertajuk "70 th HistoRI Masa Depan" itu disajikan juga dokumentasi visual revolusi lainnya, dari prangko, sketsa, poster propaganda, hingga komik.

EMPAT anggota Tentara Nasional Indonesia itu duduk bersila di pinggir jalan Kota Bandung. Dikelilingi tentara dan truk, wajah mereka tenang, tangan mereka tidak terikat. Mereka malah mengisap rokok. Mereka tidak tahu bahwa rokok itu adalah rokok terakhir sebelum mereka dieksekusi tentara Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), yang menahan mereka hari itu. Cuplikan sejarah dramatis itu terekam dalam lensa kamera foto hitam-putih pada 1950.

Tak jauh dari foto itu, ada foto Raymond Westerling, yang merupakan anggota Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL)-kelak desertir dan menjadi pemimpin APRA. Westerling berdiri menghadap kamera, menyilangkan kedua tangannya. Tubuhnya tinggi, besar, dan tegap serta wajahnya tampan. Foto itu diambil pada 1948, saat pria kelahiran Istanbul, Turki, tersebut digantikan Letkol Van Beek di Batujajar, Cimahi, Jawa Barat.

Lalu ada foto-foto korban pembantaian APRA. Sejumlah foto menampilkan anggota TNI terkapar. Salah satunya Letnan Kolonel Lembong, yang tewas di?Oudhospitalweg-kini Jalan Lembong. Hari itu, 23 Januari 1950, tentara APRA membantai 79 anggota TNI yang ada di jalanan Kota Bandung.

Di Galeri Foto Jurnalistik Antara, adegan-adegan dramatis itu dicetak ulang dan dipajang dalam pameran "70 th HistoRI Masa Depan". Foto-foto itu juga diterbitkan dalam format buku berjudul sama. Oscar Motuloh, kepala kurator pameran, mengatakan pihaknya ingin memperkaya sejarah visual Republik Indonesia.

Selama ini publik hanya mengetahui sejarah visual dari satu sumber, yaitu foto-foto yang dibuat di masa Sukarno pada 1950 dalam buku Api Revolusi. Foto-foto itu direproduksi dalam perayaan 30 tahun kemerdekaan. "Zaman Soeharto, 50 tahun Indonesia merdeka masih materi yang sama. Pada dasarnya sejarah visual Indonesia itu sejarah militer," kata Oscar kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Berbekal ide itu, Oscar dan rekannya mencari sumber-sumber foto sejarah lain yang belum pernah dilihat publik. Di antaranya dari koleksi Indonesia Press Photo Services (IPPHOS), yang dimiliki kantor berita Antara. Juga koleksi foto dari Museum Bronbeek-museum KNIL yang terletak di Arnhem, wilayah paling timur negeri Belanda, yang berbatasan dengan Jerman. Bronbeek mulanya istana kerajaan milik Raja William III, yang berdiri di atas lahan sekitar 5 hektare. Istana itu kini diubah menjadi museum KNIL. Sejak 1859, rumah-rumah veteran KNIL mulai didirikan di beberapa wilayah lahan ini. Pada saat Oscar berkunjung ke sana, museum ini juga tengah menggelar pameran berjudul "Oorlog!?Van Indië tot Indonesië 1945-1950," sepanjang 19 Februari 2015 hingga 3 Januari 2016.

Ada sekitar 100 foto koleksi Museum Bronbeek yang dipilih untuk dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Foto-foto era revolusi 1945-1950 itu langka dan sebagian besar belum pernah dipublikasikan. Dibanding foto Perang Kemerdekaan yang pernah dipublikasikan selama ini, termasuk dalam buku Api Revolusi, koleksi Museum Bronbeek itu memiliki sudut pandang berbeda: kesaksian dari serdadu Belanda.

Salah satunya foto pertama dalam tulisan ini: prajurit TNI dengan rokok terakhirnya sebelum dieksekusi APRA. Yang lain, foto petugas perbatasan Republik Indonesia bercengkerama dengan prajurit Belanda di garis status quo. Pada foto bertarikh 1948 itu, petugas perbatasan berkacamata di kawasan Sumatera Utara tampak berkacak pinggang sembari tertawa. Tiga prajurit Belanda-Ko Verboven, Letnan Dua Hemellar, dan Piet de Moor-yang menjaga garis juga tertawa.

Ada pula foto yang hanya mungkin dibidik oleh fotografer Belanda. Seperti foto-foto perjalanan pasukan Belanda dari Bali ke Palembang di dalam kapal pada 1946. Tampak foto ketika mereka sedang apel, bercengkerama, atau sedang tidur di dek kapal. Foto-foto lain menampilkan pendaratan tank di Bangkalan, Madura. Atau bersandarnya kapal di pantai Pasir Putih, Situbondo.

Tentara KNIL memang memiliki fotografer profesional yang secara resmi turut serta dalam operasi-operasi leger contract-tentara bayaran di Hindia Belanda. Namun sejauh ini hanya dua nama fotografer yang tercatat dalam arsip, yaitu Hugo Wilmar dan Willem van de Poll. Van de Poll mendokumentasikan kapal medis MS Oranje untuk mengungsikan para tawanan perang. Adapun foto pejuang Indonesia yang mengangkat tangan tanda menyerah dipotret oleh Hugo Wilmar pada 1946. Foto-foto Wilmar lebih berfokus pada kondisi nyata peperangan. Misalnya foto tentara mengangkat senapan dengan kawannya yang telah tewas di sampingnya atau foto marinir yang menyergap pejuang Indonesia, menarik rambutnya agar kepalanya menghadap kamera di parit sawah dalam operasi Quantico di Surabaya.

Menurut Oscar, foto-foto Wilmar baru diserahkan ke Museum Bronbeek oleh ahli warisnya. "Beberapa anak prajurit KNIL juga menyerahkan koleksi foto ke museum. Ada yang untuk perawatan. Ada pula yang menyerahkan ketika ayahnya meninggal," kata Oscar. Koleksi foto dari album prajurit biasanya memiliki gambar lebih humanis. Misalnya foto-foto tentara Belanda yang bergaya di atas mobil, foto perempuan dan anak-anak melambaikan tangan di dermaga atau tatkala duduk bersama penduduk pribumi. Lewat foto-foto dari kamera Rollei dan Leica ini, pengunjung bisa melihat bahwa tentara KNIL juga manusia. Meski begitu, foto kekerasan dalam peperangan, seperti ledakan bom, juga ada.

Foto yang juga jadi perhatian dalam pameran itu adalah foto detik-detik proklamasi. Ada 13 foto yang menampilkan urut-urutan pembacaan naskah proklamasi di beranda rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Selama ini, foto tentang detik-detik proklamasi yang sudah umum dan dipublikasikan dalam dokumentasi sejarah Indonesia hanya lima foto. Misalnya foto saat Bung Karno membacakan naskah proklamasi. Sedangkan dalam 13 foto ini terdapat foto ketika Sukarno berdoa setelah membaca teks proklamasi.

Foto-foto proklamasi itu merupakan reproduksi kedua dari foto aslinya yang disimpan di Koninklijke Bibliotheek-atau perpustakaan kerajaan di Den Haag, Belanda. Pada Agustus 1996, sejarawan Rushdy Hoesein membawa reproduksi foto-foto itu dari Belanda ke Indonesia, lalu disumbangkan ke Yayasan Bung Karno. "Itu semua foto hasil sitaan Belanda pada 1945-1949," kata Rushdy, Selasa pekan lalu.

Lewat foto-foto itu dan referensi pustaka, Rushdy dan kawan-kawan merekonstruksi urutan pembacaan naskah proklamasi. Ada sambutan dari Soewiryo selaku Wakil Wali Kota Jakarta Raya, lalu sekapur sirih dari Mohammad Hatta, proklamasi, pengibaran bendera Merah Putih, dan doa yang dipimpin Sukarno. "Seusai acara itu, laskar pendukung kemerdekaan yang datang terlambat disambut Bung Karno dengan pekikan 'merdeka!'," kata Rushdy sambil menunjuk salah satu foto. Keterlambatan itu terjadi karena lokasi proklamasi berubah. Mulanya proklamasi bakal digelar di Lapangan Ikada. Namun, karena suasana kurang kondusif, lokasi digeser ke beranda rumah Sukarno.

Rekonstruksi itu juga melibatkan penyusunan teka-teki identitas tokoh-tokoh dalam foto. Latief Hendraningrat dan Soehoed, misalnya, mengibarkan Merah Putih setelah mengambil bendera dari baki yang dibawa Mujinah, salah seorang tokoh pergerakan nasional. Posisi Dr Muwardi, Fatmawati, S.K. Trimutri, sampai mahasiswa kedokteran dalam foto juga dibahas. Termasuk nyanyian spontan lagu Indonesia Raya saat bendera sudah mencapai setengah tiang.

Namun identitas tokoh berkacamata dan berseragam Pembela Tanah Air (Peta) yang berdiri di samping Sukarno menjadi teka-teki. Oscar menduga tokoh ini adalah Saleh Tedjakusuma, perwira Peta dari Kesatuan Yugeky (intelijen). "Presiden pastilah didampingi intel," katanya. Namun Rushdy menduga sosok tersebut adalah dr Sucipto. "Menurut buku Abikusuma, perwira yang lebih rendah tidak akan pakai sepatu lars. Sepatu lars itu untuk perwira. Ini sepertinya dr Sucipto," tutur Rushdy. Cipto atau Saleh Tedjakusuma, identitas sosok ini masih misterius.

*****

FOTO Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman dipasang bersebelahan dengan Panglima Tentara KNIL Jenderal Simon Hendrik Spoor. Ukurannya sama besar, potongannya segaris. Garis mata Soedirman sejajar dengan Spoor. Yang satu tidak lebih besar atau lebih tinggi dari yang lain. "Kami ingin menampilkan dua tokoh sejarah secara sejajar. Siapa melawan siapa, banyak generasi muda yang tak tahu siapa musuh Soedirman," kata Oscar.

Dalam buku foto pameran, kedua tokoh hampir selalu diletakkan bersebelahan. Foto Soedirman berkunjung ke hanggar pesawat hasil sitaan dari militer Jepang di pangkalan udara Bugis dipasang berdampingan dengan kunjungan Spoor ke markas pasukan divisi KNIL. Keduanya dipotret dari sisi samping belakang di atas mobil berkap terbuka. Foto Soedirman membuka hubungan radio-telefoni Jawa-Sumatera bersebelahan dengan foto Spoor mengangkat telepon di meja kerjanya.

Spoor mengawali kariernya sebagai kadet korps musik kompi di markas akademi militer Kerajaan Belanda. Namun dia tidak memilih jalur musikus seperti ayahnya, Andreas Petrus Spoor, yang sohor di sekitar Den Haag. Setelah lulus sebagai kadet terbaik, kariernya melesat. Pada usia 44 tahun, dia menjadi panglima KNIL dengan pangkat letnan jenderal. Dia yakin Soedirman, pemimpin TNI mantan guru Muhammadiyah yang kurus berpeci itu, bakal kalah dengan mudah.

Spoor sempat menguasai lapangan terbang Maguwo dan Ibu Kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Dokumen yang ada di Yogya diduga disita Belanda dalam peristiwa ini. Rushdy menemukan Jogja Documenten bertanggal tersebut di Den Haag. Pasukan khusus Spoor juga menangkap dan mengasingkan Sukarno-Hatta.

Namun pada 25 Mei 1949, saat perundingan Indonesia-Belanda hampir mencapai hasil akhir, Spoor meninggal mendadak. Ada yang menyebut Spoor sakit jantung saat tidur. Kabar lain menduga dia diracun saat pesta dengan kerabat dekat. Spoor memang berniat membongkar skandal korupsi di tubuh KNIL. Foto tentara KNIL membawa peti jenazah Spoor kembali berdampingan dengan pejuang Indonesia yang mengangkat tandu Soedirman ketika penyakit paru-parunya kian parah. Pameran ini mencoba menampilkan dua sudut pandang berbeda sekaligus perbandingan antara Belanda dan Indonesia.

*****

TAK hanya menampilkan foto langka hasil bidikan tentara Belanda. Pameran di Antara juga menyuguhkan dokumentasi visual lain era revolusi. Ada sampul depan harian Djawa Baru edisi 1 Januari 1944 yang memasang foto Fatmawati mengenakan kimono. Lalu, pada edisi November 1943, foto Sukarno bersalaman dengan Perdana Menteri Hideki Tojo dipasang di surat kabar yang sama. Mata Sukarno malah dibuat sipit sehingga mirip bangsa Jepang. "Foto itu digambar ulang dan dirapikan sebelum dipotret ulang untuk dipasang di koran," kata Oscar. Lipatan jas putih Sukarno yang digambar ulang terlihat lebih rapi ketimbang aslinya.

Propaganda menjadi bagian penting dalam masa pendudukan Jepang. Visi Jepang sebagai pemimpin Asia, kerja keras, identitas, dan kebanggaan menjadi topik yang diangkat dalam Barisan Propaganda Djawa Hokokai. Sukarno juga melihat propaganda memiliki peran penting untuk menggelorakan semangat kemerdekaan pemuda. Pelukis Affandi menggambar kawannya, Dullah, sebagai model yang tengah memekik dengan tangan kanan memegang panji Merah Putih dan terlepas dari belenggu rantai besi. Chairil Anwar memberikan sentuhan dalam poster itu dengan slogan "Boeng, Ajo Boeng". Gambar-gambar propaganda selama periode ini menunjukkan peran visual dalam menjaga semangat Indonesia.

Foto-foto prangko selama perang mempertahankan kemerdekaan juga ditampilkan dalam pameran itu. Salah satunya prangko lokal pertama yang dicetak untuk memperingati setengah tahun Republik bergambar banteng dan bendera Merah Putih. Menurut Tono Dwi Putranto dari Perkumpulan Filatelis Indonesia, selama setengah tahun sebelum penerbitan prangko RI yang pertama itu, Pos Indonesia menggunakan prangko Jepang dan Hindia Belanda yang dicoret diganti dengan tulisan tangan, mesin ketik, dan cap bertulisan Republik Indonesia.

Selain foto bergambar simbol marhaenisme itu, prangko pada era awal republik ini kaya dengan gambar peristiwa peperangan merebut kemerdekaan: perang di Ambarawa, Bandung Lautan Api, hingga pertempuran Surabaya. Kebanyakan gambar ini terinspirasi dari foto IPPHOS yang diabadikan Mendur bersaudara. Prangko yang dipamerkan dalam pameran ini adalah hasil pemindaian prangko asli koleksi Indra Kusuma yang diperbesar.

Indra Kusuma adalah kolektor prangko periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Jawa yang terbesar di dunia. "Sudah 20 tahun beliau mengoleksi prangko jenis ini," kata Tono, yang mengelola koleksi prangko Indra. Nilainya juga tak main-main. Hampir mencapai Rp 3 miliar.

Indra kolektor yang gigih. "Beliau punya cita-cita mengumpulkan koleksi periode 1945-1950 kembali di Indonesia," kata Tono. Sebab, prangko, desain, dan dummy prangko pada masa ini justru banyak dimiliki kolektor Belanda. Desain prangko asli yang seharusnya menjadi milik PT Pos Indonesia juga sempat dimiliki kolektor Belanda. Dugaannya sama: desain disita selama masa agresi militer Belanda.

Oscar sendiri berharap lewat pameran ini publik tak hanya melihat sejarah visual yang berbeda, tapi juga fakta bahwa kemerdekaan itu bukan hanya jasa para pahlawan dan negosiator dalam perundingan. Para seniman pun berjasa dengan mendukung kemerdekaan lewat karya-karyanya, baik slogan maupun gambar.

Amandra Mustika Megarani, Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus