Swasembada pangan pernah menjadi satu pilar kebanggaan Orde Baru. Namun prestasi itu kini telah rontok seiring dengan tumbangnya rezim tersebut. Ironis memang, negara kita yang dikondangkan subur ini?sampai ada syair lagu menyebutkan "tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman"?kok harus mengimpor beras. Sebenarnya, peluang untuk kembali menjadi negara yang mencukupi kebutuhan pangannya terbuka lebar. Sebab, selain punya tanah basah, Indonesia memiliki lahan gambut seluas 27 juta hektare.
Untuk yang terakhir ini, orang sering memandang sinis. Maklum, proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektare, yang dulu pernah dilansir, gagal total. Menurut Sri Nuryani, peneliti dari Pusat Studi Sumber Daya Lahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kegagalan itu karena pembukaan lahan dan pembuatan saluran irigasi tak mengindahkan kondisi setempat. Ini suatu kesalahan yang khas proyek besar Orde Baru. Sebagai pembenaran, tanah gambut dipandang hanya cocok untuk tanaman hutan seperti rotan dan damar.
Terlepas dari kesalahan tersebut, lahan gambut memang lahan yang paling jelek dari semua jenis tanah. Problem utama tanah gambut adalah rendahnya mineral dan tingginya kadar asam. Ini karena lahan gambut terbentuk dari proses pelapukan kayu di daerah yang bercurah hujan tinggi seperti Kalimantan dan Sumatra. Bahkan, di Kalimantan Tengah, ketebalan gambut bisa mencapai 25 meter karena pelapukan yang tidak sempurna. Akibatnya, lahan menjadi tidak subur karena unsur-unsur dalam tanah tidak dilepaskan ke tanaman.
Namun kini lahan gambut boleh dilirik kembali untuk budi daya tanaman pangan. Pusat Riset Gambut Tropika (Purigatro), lembaga yang bernaung di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), berhasil menemukan formula baru yang memanfaatkan abu vulkanis untuk menyuburkan lahan gambut. Bahan baku ini dipilih karena zat alami ini terbukti telah menyuburkan tanah di Jawa dan Bali. Selain itu, abu yang mengandung unsur kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), sulfur (S), dan molibdenum (Mo) ini bisa diperoleh dengan mudah di Indonesia. "Gunung Merapi di Jawa Tengah saja menyimpan deposit abu vulkan sebanyak 8 juta meter kubik," ujar Bambang Setiadi, Kepala Purigatro.
Untuk bisa digunakan, abu diolah lebih dulu bersama fosfat alami, urea, dan KCl. Abu ini mempunyai persentase komposisi terbesar, 80 persen. Formula ini dinamai Pugas (Penyubur Gambut Setiadi), mengikuti nama sang penemu. Cara penggunaannya cukup sederhana. Setelah dibuka, lahan gambut dibiarkan selama dua atau tiga hari agar mendapat sinar matahari yang cukup untuk mengurangi tingkat keasamannya. Pengurangan kadar asam itu juga bisa dilakukan dengan cara membakar bagian atas tanah sehingga zat organik lepas ke udara. Setelah itu, Pugas ditanam dengan jarak tertentu?seperti urea tablet?dengan asumsi kandungan mineralnya akan menyebar sendiri ke dalam tanah. Cara tanam yang hanya membutuhkan 3 ton Pugas per hektare ini jauh lebih hemat bila dibandingkan cara tabur, yang perlu 8 ton untuk luas yang sama.
Hasilnya? Dalam satu kali panen, satu hektare lahan bisa menghasilkan tiga ton kedelai, sementara dua ton jagung diperoleh dari luas yang sama. Angka ini tentu menggembirakan karena dalam satu tahun bisa dilakukan tiga kali panen. Berapa banyak Pugas yang harus ditambahkan dalam satu tahun? "Tak ada, karena Pugas masih bisa dipakai dalam tiga kali panen," kata Bambang, yang lahir di Magelang, 23 Mei 1952. Sampai saat ini, Bambang memang belum mencoba padi, tapi ia optimistis hasilnya akan sama baiknya.
Keberhasilan Bambang menemukan formula ini tak lain adalah buah ketekunannya menggeluti lahan gambut sejak 1986. "Dulu tak ada yang tertarik karena tanah masih luas," ujar Bambang, yang meraih gelar doktor agronomi dari UGM. Akibatnya, anggaran penelitian pun sangat kecil. Untuk tahun ini, pemerintah hanya mengalokasikan dana sebesar Rp 100 juta untuk 13 tim. Namun barangkali kesungguhan Bambang dan rekannya akan berbuah manis. Sebab, siapa tahu ada kalangan industri yang tertarik memproduksi secara massal Pugas yang telah dipatenkan tersebut.
Yusi A. Pareanom, I G.G. Maha Adi, dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini