Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Di Tegal, King Kong Purba Menetap

Temuan fosil Gigantopithecus blacki di Tegal menunjukkan peta persebaran primata purba dari Afrika ke Asia, jutaan tahun lalu. Bagaimana mereka bertahan?

15 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah Dakri terhenti saat melihat sebuah benda berwarna cokelat di depannya. Benda sepanjang kira-kira tujuh sentimeter itu terlihat menyembul di sela bebatuan sungai dekat jembatan rel kereta di Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng, Tegal, Jawa Tengah. Instingnya sebagai pelestari cagar budaya mengatakan apa yang dilihatnya itu bukan benda biasa. Semula dia mengira itu fosil rahang dan gigi manusia purba. "Tapi, kok, ukurannya tidak lazim?" kata warga Semedo itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Karena merasa tak yakin, pria yang ditunjuk Pemerintah Kabupaten Tegal sebagai pelestari cagar budaya pada 1987 itu pun bergegas pulang ke rumah. Dia ingin mencocokkan temuan itu dengan buku teks fosil manusia purba. Dakri juga berdiskusi dengan Tanti Asih, anak ketiganya yang berprofesi sama dengan dirinya. Hasil rembukan bapak-anak itu menyimpulkan benda yang berupa empat gigi belakang dan masih menempel dengan rahang bawah tersebut adalah spesimen baru.

Akhirnya temuan fosil di Petak 33 Situs Semedo pada Juli 2014 itu dilaporkan Dakri ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tegal. Ikhtiar mengungkap kisah di balik temuan itu lalu dilanjutkan Balai Arkeologi Yogyakarta dan Departemen Biologi Universitas Soedirman, yang melakukan proses identifikasi.

Hasilnya? Berdasarkan analisis morfometris, keempat gigi belakang yang terpisah jadi dua bagian itu diyakini milik Gigantopithecus blacki alias kera raksasa yang pernah hidup 1-1,8 juta tahun silam. Itu masa yang bertepatan dengan zaman Pleistosen. Oleh para peneliti, kera raksasa ini kerap disebut "king kong Jawa" karena tinggi tubuhnya yang diduga lebih dari 3 meter!

"Dengan temuan ini, Indonesia punya sejarah yang tua dalam dunia primata," ujar Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu. Artinya Indonesia sebanding dengan Cina, India, dan Vietnam, tempat pernah ditemukan fosil king kong.

Siswanto mengatakan keempat spesimen G. blacki berasal dari dua individu berbeda. Temuan ini menjadi bukti bahwa di Desa Semedo pernah hidup kawanan king kong Jawa. "Bukan hanya satu, melainkan berkoloni."

Tentu saja temuan itu membuat Situs Bukit Semedo, yang berada di wilayah Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan Pemalang, makin kondang. Musababnya, kata Siswanto, situs yang mulai diteliti pada 1987 ini tergolong situs arkeologi baru dibanding Situs Sangiran, yang terletak di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah (baca: "Tanah Purba Sepanjang Jawa").

Apalagi temuan sejenis ternyata belum berakhir. Sebulan berikutnya, pada Agustus 2014, Dakri kembali menemukan fosil rahang dan gigi yang mirip spesimen Gigantopithecus. Fosil baru itu berupa dua rahang kanan dan kiri yang sudah menempel jadi satu. Dua gigi merekat pada rahang kanan dan satu gigi pada rahang kiri.

"Ini bisa menjelaskan bagaimana peta persebaran kera purba di dunia," ucap Jatna Priatna, pakar paleoprimatologi dari Departemen Biologi Universitas Indonesia, kepada Tempo di kantornya, Rabu dua pekan lalu. Menurut dia, fosil primata umumnya sering ditemukan di daratan "dunia lama": Afrika.

Dari benua hitam tersebut, primata awal berjalan menyusuri Pangaea, benua purba, menuju tanah yang kini dikenal sebagai wilayah Asia. Kemudian mereka menyebar ke daratan-daratan yang kini menjadi Pegunungan Himalaya, Cina, dan Vietnam.

Pria lulusan New Mexico University ini menduga kera raksasa purba itu sampai di Pulau Jawa dari Cina melalui Sumatera. Saat itu, 1 juta tahun lalu, memang Sumatera, Kalimantan, dan Jawa masih menjadi satu daratan. "Mereka mengembara secara berkoloni layaknya Pithecanthropus."

Hanya, umur Giganthopitecus yang ditemukan di Semedo jauh lebih tua daripada Pithecanthropus (manusia purba awal yang diperkirakan mulai muncul 700 ribu tahun lalu). Keduanya pun memiliki bentuk fisik yang jauh berbeda. "Giganthopitecus punya bentuk fisik campuran gorila dan orang utan," ujar Jatna.

Sementara tinggi manusia purba tertua hanya 1,7-2 meter dan sudah berjalan tegak, G. blacki memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih tinggi, yakni 3-4 meter, dan belum berjalan tegak. Namun satwa ini sudah menghabiskan seumur hidupnya di darat (teresterial).

Temuan gigi belakang atau molar, kata Jatna, menjelaskan bahwa kera raksasa purba itu merupakan hewan pemakan tumbuhan. Makanannya berupa campuran antara biji-bijian, buah-buahan, sejenis rumput, dan bambu. "Kondisi tanah, tingkat kekerasan, dan kandungan makanan bisa diketahui dari kondisi gigi yang ditemukan," ucapnya.

Selama ini dikenal ada beberapa jenis Gigantopithecus, antara lain G. giganteus, G. bilaspurensis, dan yang di Semedo adalah Gigantopithecus blacki. Apakah blacki sejenis bigfoot dan yeti, yang disebut-sebut sebagai makhluk raksasa seperti kera di Pegunungan Himalaya?

Siswanto menepis anggapan tersebut. Kata dia, hingga sekarang, belum ada temuan dan penjelasan ilmiah mengenai bigfoot atau yeti. "Sedangkan Gigantopithecus jelas-jelas ada. Fosilnya sudah ditemukan," tuturnya.

Kini empat gigi milik G. blacki berukuran 21 x 19 milimeter itu disimpan di salah satu ruangan di Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, Sragen. "Kami simpan di lemari besi," ujar petugas koleksi Balai Pelestarian Situs Manusia Purba ­Sangiran, Nurul Fadilah, awal pekan lalu.

Adapun potongan fosil lain dikelompokkan berdasarkan jenis lokasi penemuannya. Fosil king kong Jawa ini belum memperoleh nomor inventaris karena proses identifikasinya masih berlangsung.

Sepertinya kelak kita akan tahu bagaimana koloni ini dulu bertahan dan mampu menjelajah demikian jauh. Juga apa yang membuat rombongan kera raksasa itu meninggalkan kampung halaman di Afrika hingga memilih Tegal sebagai tujuannya.

Amri Mahbub, Dinda Leo Listy (Tegal), Ahmad Rafiq (Sragen)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus