Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMAKIN banyaknya kasus korupsi yang terbongkar di sektor minyak dan gas menunjukkan betapa kusutnya bisnis ini. Belum selesai urusan korupsi bekas Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini—yang buntutnya ke mana-mana—muncul sejumlah kasus baru, di antaranya suap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan Fuad Amin Imron dan kasus letter of credit (L/C) bodong PT Innovare Gas di Blok East Bontang, Kalimantan Timur.
Ada ironi di sektor minyak dan gas. Indonesia jelas membutuhkan tambahan produksi minyak karena konsumsi bahan bakar minyak terus menanjak. Dengan produksi yang cenderung stagnan, lonjakan konsumsi itu membuat Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan BBM dalam jumlah fantastis. Akibatnya, neraca minyak dan gas selalu defisit. Pada 2013, defisit neraca migas mencapai US$ 12,63 miliar (sekitar Rp 152 triliun). Sepuluh bulan tahun ini, angkanya sudah hampir Rp 130 triliun.
Anehnya, para investor di bidang ini malah dipersulit. Perizinan berbelit-belit dan makan banyak duit. Pungutan liar terjadi di semua lini, dari instansi di daerah, kepala daerah, hingga pejabat di kementerian. Modusnya pun berbagai-bagai, antara lain pelicin untuk mempercepat izin keluar, termasuk pungutan uang tunjangan hari raya yang melibatkan Rudi dan bekas Sekjen Kementerian Energi Waryono Karno.
Kondisi ini sungguh tak ternalar. Ketika pemerintah membutuhkan tambahan investasi dalam jumlah besar, semestinya yang diberikan adalah kemudahan perizinan atau pelonggaran peraturan. Namun para pejabat daerah dan kementerian justru berpesta-pora menggarong para investor. Sangat wajar jika investasi di migas juga stagnan. Beberapa kali Kementerian Energi menggelar lelang wilayah kerja migas, peminatnya sangat sedikit.
Pemerintah mesti bergegas menyelesaikan persoalan ini. Produksi minyak bumi terus turun. Jika tak ada tambahan produksi yang signifikan, cadangan minyak Indonesia yang saat ini 3,7 miliar barel akan ludes pada 2025. Sulit memperkirakan apa yang terjadi sepuluh tahun ke depan, ketika Indonesia benar-benar tak bisa memproduksi minyak. Sebagai gambaran, pada 2013 Indonesia mengimpor minyak mentah dan BBM senilai Rp 540 triliun.
Tentu banyak pilihan solusi untuk masalah ini. Peningkatan energi alternatif bisa menambah pasokan energi. Dengan energi alternatif, konsumsi BBM semestinya juga bisa dikurangi. Tapi, dalam jangka pendek, pemerintah Joko Widodo harus memulainya dengan membersihkan sektor migas dari koruptor dan penikmat suap. Kemudahan investasi dan pelonggaran aturan mungkin bisa mendorong investasi di sektor migas, dan pada akhirnya produksi minyak bisa didongkrak.
Upaya bersih-bersih ini penting karena pemerintah masih akan melelang puluhan wilayah kerja minyak dan gas tahun ini. Sepanjang 2012-2014, masih banyak wilayah kerja migas yang belum laku karena berbagai sebab, terutama proses perizinan yang berbelit. Jika pungli dan suap bisa dihapus, hitung-hitungan investasi para pemilik modal itu barangkali akan menjadi masuk akal, sehingga mereka bersedia menanamkan duit.
Dengan menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Energi bisa memulainya dari lelang wilayah kerja migas ini. Kasus Rudi, Fuad Amin, dan Innovare sebetulnya berporos pada urusan lelang dan operasi wilayah kerja migas. Kusut masai industri migas ini sesungguhnya bisa diurai. Yang jadi soal, pemerintah selama ini memang tak berniat menyelesaikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo