Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKERASAN ini sungguh keterlaluan. Kuswanto dituduh sebagai pelaku perampokan sebuah gudang di Kudus, Jawa Tengah. Ia digelandang 13 polisi dan disiksa habis-habisan. Tapi dia tetap bertahan bahwa ia tidak melakukan perbuatan itu.
"Dalam keadaan mata saya dilakban hitam, tangan diborgol ke belakang, saya disiram bensin dan dibakar pakai korek api," kata Kuswanto. Luka bakar yang parah itu belum sembuh. Di lehernya masih ada lubang yang meneteskan darah. Seluruh hartanya ludes untuk biaya pengobatan.
Pekan lalu, diantar staf Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kuswanto menjalani pengobatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia juga mengadukan peristiwa dua tahun lalu itu kepada Markas Besar Kepolisian RI.
Ternyata Kuswanto korban salah tangkap. Perampok yang sebenarnya ditangkap setahun setelah Kuswanto disiksa. Lalu apa sanksi yang diberikan kepada 13 polisi itu? Hanya satu polisi yang disidang etik dengan hukuman kurungan 21 hari dan pindah tugas. Polisi lain aman-aman saja. Hukuman ringan itu sangat tidak adil jika melihat penderitaan Kuswanto, yang selama dua tahun berobat tak kunjung sembuh karena kekurangan biaya. Kuswanto dengan istri dan dua anak yang masih kecil keteteran menanggung ongkos pengobatan.
Tindakan keras polisi untuk mengorek pengakuan tersangka terus bertambah dari tahun ke tahun. Kontras mencatat ada 86 kasus kekerasan untuk tahun 2010-2011. Angka itu menjadi 100 kasus pada tahun berikutnya dan menjadi 108 kasus pada 2013-2014.
Padahal, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pengakuan tersangka bukan variabel terpenting dari pengungkapan kasus. Yang lebih penting adalah alat bukti, keterangan saksi, dan dokumen lain yang mendukung adanya tindak pidana.
Bisa jadi kekerasan itu terjadi karena sumber daya manusia polisi yang lemah. Polisi muda yang direkrut sebagai bintara belum mendapat pendidikan yang memadai dan sudah diterjunkan ke masyarakat sebagai penyidik. Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia tentu saja sangat minim. Pengawasan dari para atasan pun kurang. Yang lebih celaka, sanksi yang diterima polisi "jalan pintas" itu sangat ringan.
Aturan harus ditegakkan lebih tegas. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara disebutkan dengan jelas bahwa kepolisian dalam bertugas wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia. Polisi yang gemar menyiksa untuk memperoleh pengakuan harus dihukum. Jika perlu, dipecat. Kepolisian sebagai institusi harus mengembalikan nama baik korban seperti Kuswanto. Yang terpenting, kepolisian wajib memberikan ganti rugi dan perawatan sampai korban sembuh total. Polisi tak bisa seenaknya, habis gebuk lalu mencampakkan orang begitu saja.
Tidak perlu juga berkelat-kelit. Patut disayangkan, dalam kasus Kuswanto ini, pernyataan polisi Kudus, Semarang, dan Jakarta simpang-siur. Lebih baik polisi berbenah diri agar kasus serupa tak terulang. Ini pekerjaan yang tak mudah untuk Kepala Polri Jenderal Sutarman, karena kekerasan sudah nyaris menjadi tradisi di institusi yang dipimpinnya.
Selain polisi-polisi muda dibekali pengetahuan yang lebih bagus, ada baiknya pemimpin kantor kepolisian sektor adalah polisi senior atau tamatan akademi kepolisian. Apabila ingin tetap disebut pengayom masyarakat, polisi harus meninggalkan tradisi main siksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo