Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berawal dari polemik limbah industri perikanan, Dosen Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Perikanan (FPIK) IPB University, Wini Trilaksani, menemukan strategi pengelolaan melalui peningkatan nilai tambah limbah industri perikanan menjadi produk kesehatan yang bermanfaat.
Ikan tuna terkenal sebagai makanan mewah yang produksinya diekspor ke berbagai penjuru dunia. Hanya saja, tidak semua bagian ikan tuna dimanfaatkan oleh berbagai industri. Hanya 40-60 persen dari bagian ikan tuna yang digunakan, sedangkan sisanya menjadi limbah. Limbah ikan tuna antara lain adalah bagian kepala, sirip, kulit, jeroan dan juga tulang.
Menurut Wini, bagian 18 persen kepala tuna yang menjadi limbah dari seluruh bagian tubuh tuna. Hal ini membuat Wini berpikir untuk menjadikan limbah tuna peluang dalam memberikan nilai tambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: ITB Gagas Pusat Studi Antariksa, Rektor: Lokasinya Masih Rahasia
Setelah Wini melakukan penelitian, bagian mata dan otot mata ikan tuna dapat menjadi salah satu sumber baru dalam mendapatkan Ecosa Pentaenoic Acid (EPA) dan (Docosa Heksanoic Acid) DHA yang diperkirakan mencapai 7 persen dan 35 persen.
“Mata ikan tuna ini dapat diekstrak dan menghasilkan minyak ikan yang kaya akan omega-3 yang selama ini kebutuhannya terus meningkat dan dicukupi dari impor,” paparnya dilansir dari laman IPB pada Selasa, 31 Januari 2023.
Ia menjelaskan, omega-3 memiliki beragam manfaat yakni meningkatkan perkembangan kognitif, meningkatkan kemampuan bicara dan interaksi sosial, mencegah terjadinya stres, membantu proses perkembangan otak dan retina janin, mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke, serta untuk kesehatan mata.
Ia menambahkan, kurangnya EPA dan DHA dapat menjadi pemicu atas terjadinya penurunan kesehatan dan kecerdasan yang dikhawatirkan juga terjadi sebagai dampak lanjut stunting di Indonesia. Tercatat oleh World Health Organization (WHO) pada 2017, sebanyak 2 dari 5 balita stunting berada di Asia Tenggara. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2022, angka stunting di Indonesia masih 21,6 persen.
“Oleh sebab itu kita perlu mencari cara bagaimana agar EPA dan DHA pada anak Indonesia dapat tercukupi. Yang telah kami lakukan adalah memanfaatkan limbah mata ikan tuna menjadi suplemen minyak ikan kaya DHA dalam bentuk kapsul yang diberi nama Vita Docosa,” jelasnya.
Ia menuturkan, Vita Docosa didesign untuk semua kalangan terutama untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita yang membutuhkan kecukupan gizi yang optimal.
Wini mengungkapkan bahwa dua kapsul Vita Dacosa telah setara sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) DHA yang dibutuhkan oleh seseorang. Saat ini Vita Docosa telah diproduksi dan akan menjadi produk yang dikomersialkan. Ia berharap inovasi ini dapat menjadi perhatian pemerintah untuk dapat disalurkan ke masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan dampak stunting di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.