Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) meluncurkan unit layanan disabilitas di ujung proyek kemitraannya dengan University of Edinburgh (UoE). Rektor UAI, Asep Saefuddin, mengatakan unit baru ini membuat kampusnya lebih inklusif atau terbuka bagi tenaga didik dari seluruh kalangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semakin ramah akses bagi siapa saja, khususnya saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan,’’ katanya dalam acara diseminasi dan penutupan proyek kolaborasi bersama Moray House School of Education and Sport UoE di Jakarta, dikutip dari keterangan resmi pada Kamis, 12 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama setahun terakhir, perwakilan dari UoE aktif berkomunikasi dengan dosen dan civitas dari program studi Studi Ilmu Komunikasi UAI. Para dosen Kampus Al-Azhar UAI dilatih dan disiapkan agar bisa mengakomodir layanan pendidikan bagi mahasiswa disabilitas, khususnya disabilitas netra.
Salah satu pelatihannya menyangkut presentasi materi belajar melalui aplikasi, seperti screen reader dan audio description. Metode berbasis teknologi ini membantu mahasiswa disabilitas netra memahami konten visual,
Ketua tim dosen ilmu komunikasi UAI, Cut Meutia Karolina, mengatakan kemitraan tersebut menghasilkan empat prosedur operasiona; standar (SOP) yang dinilai bisa meningkatkan akses pendidikan bagi mahasiswa dengan disabilitas visual. Yang pertama adalah SOP Lingkungan Fisik Inklusif; kemudian SOP Lingkungan Sosial Inklusi; lalu SOP Pembuatan Materi Belajar Inklusif. “Serta SOP Digital Support Inklusif,’’ kata Cut Meutia dalam keterangan resmi yang sama.
Layanan disabilitas juga digagas oleh kampus lokal lainnya, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Dosen akuntansi UGM, Wuri Handayani, sempat bercerita soal unit khusus di kampusnya yang menyediakan pendampingan dan fasilitas bagi penyandang disabilitas. “Kebutuhan yang perlu difasilitasi akan kami sampaikan ke wakil rektor,” katanya ketika ditemui dalam acara yang diadakan British Council di Jakarta Pusat, pada 5 Desember lalu.
Setiap penyandang disabilitas, kata dia, memiliki kebutuhan berbeda-beda, sehingga tidak bisa disamakan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa neurodivergen memiliki kebutuhan spesifik seperti tidak bisa fokus terus-menerus. Solusi untuk mereka adalah diperbolehkan beristirahat di tengah kegiatan belajar mengajar.
Unit layanan disabilitas di UGM juga mengembangkan buddy system. Mahasiswa non-disabilitas bisa menjadi relawan untuk mendampingi mahasiswa penyandang disabilitas. “Contohnya kayak yang neurodiverse itu hanya ingin ditemani saja. Jadi mereka datang ke cafe untuk belajar bersama,” tutur Wuri.
Anastasya Lavenia berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Antisipasi Puncak Curah Hujan, BPBD Jakarta Kembali Gelar Modifikasi Cuaca Tahap II 13-16 Desember