Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekurangan gizi masih menjadi masalah serius di Indonesia. Pada 2013, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat lebih dari 8 juta anak Indonesia kurang gizi. Pada tahun yang sama, Provinsi Sulawesi Selatan menduduki peringkat kesepuluh dengan prevalensi anak balita kekurangan gizi tertinggi di Indonesia.
Fakta itu membuat Musawwir Muhtar tergerak membantu warga di sekitar Universitas Hasanuddin mengurangi jumlah anak kekurangan gizi. Bersama dua temannya, mahasiswa Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin itu memanfaatkan tanaman kelor (Moringa oleifera) yang banyak tumbuh liar sebagai pencegah malnutrisi.
Dari studi literatur, mereka tahu bahwa daun kelor ternyata bisa menjadi penambah gizi. Yang mereka lakukan terhadap daun kelor adalah mengubah cerita tanaman liar itu. Musawwir menjadikan kelor sebagai bahan baku biskuit. Dengan modal Rp 3 juta sebagai hadiah juara pertama di perlombaan kampus tentang penelitian daun kelor, Musawwir meramu takaran daun kelor dalam adonan satu kilogram tepung terigu selama sekitar tiga bulan.
Percobaan itu beberapa kali gagal karena rasanya tak jelas. Takaran gizi juga belum mencapai syarat nutrisi. Coba-coba itu berhasil juga sampai Musawwir membawa konsep biskuit kelor ke perlombaan Badan Kesehatan Dunia (WHO) serta Badan Pangan dan Pertanian (FAO), yang bekerja sama dengan Barilla Group, pada akhir 2013.
Tak dinyana, Musawwir dan timnya masuk sepuluh besar sebagai tim dengan ide terbaik dalam ajang bertajuk "Barilla Center for Food and Nutrition, Young Earth Solution 2013", yang digelar di Bocconi University, Milan, Italia.
Di Milan, Musawwir mempresentasikan keunggulan daun kelor dengan tema The Miraculous Moringa. Menurut dia, kandungan vitamin A dalam 100 gram daun kelor empat kali lipat dari wortel dalam jumlah yang sama. Bukan hanya itu, daun kelor juga mengandung vitamin C tujuh kali lebih banyak dibanding jeruk. Kandungan potasium di dalamnya pun setara dengan tiga buah pisang dan dua kali lipat protein dalam yoghurt. "Kandungan gizinya kompleks," ujar pria kelahiran 1991 tersebut, pekan lalu.
Empat bulan setelah tiba dari Milan, Musawwir mengajak 17 orang ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar kampus memproduksi biskuit daun kelor yang diberi merek MorBi+. Proses pembuatan dilakukan dua kali dalam sepekan dan menghasilkan 400 keping biskuit. Satu kotak berisi 10 keping biskuit yang dibanderol Rp 25 ribu. Ia berujar pemasarannya ditujukan ke posyandu tingkat kabupaten di Makassar.
Menurut Musawwir, melibatkan ibu rumah tangga dalam pembuatan MorBi+ tak mudah. Para ibu semula berpatokan pada nilai keuntungan yang akan didapat, sedangkan promosi produk yang benar-benar baru tak bisa mendatangkan keuntungan instan. "Produk kami kalah populer dengan cokelat," katanya.
Perubahan pandangan muncul saat Musawwir meminta bantuan teman-temannya untuk mempromosikan MorBi+. Produknya semakin dikenal dan laris. Namun larisnya MorBi+ membuat produksinya berhenti karena kekurangan bahan baku. "Kelor semakin sulit dan ibu-ibu menunggu daunnya muncul," ucap Musawwir.
Satu kilogram tepung terigu membutuhkan tiga-empat kilogram daun kelor segar. Penelitian lanjutan menunjukkan kandungan gizinya meningkat saat daun segar diolah menjadi bubuk kering sebelum dicampur ke adonan. Untuk itu, Musawwir menggerakkan tetangganya di Makassar menanam pohon kelor di lokasi yang terpusat. Mereka bisa langsung mengolah daun kelor tanpa repot mencari sumbernya. "Kerja sama kami berbasis social entrepreneur dengan memberdayakan penduduk," katanya.
Musawwir berharap harga produknya menjadi lebih murah dengan melibatkan lebih banyak warga. Ia juga berharap undangan kunjungan ke markas Barilla Group di Parma, Italia, pada September 2015 menghasilkan solusi. Sebab, kunjungan itu akan membahas tindak lanjut inovasi para pemenang. "Pertemuannya akan membahas pendanaan," ujar Musawwir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo