NYOTO Tombeng, pengusaha besar dari Surabaya itu, memang orang
yang lihai. Menghilang sejak awal Feburuari ialu dengan
meninggalkan utang sebanyak Rp 3 milyar, banyak pihak bank dan
pengusaha yang mulanya beranggapan orang itu pengusaha yang
bonafide. Bahkan Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, dalam
suatu keterangan kepada pers, bicara baik tentang pengusaha
itu. Gubernur BI berjanji akan mengatur penagihan-penagihanan
mengalir ke alamat perusahaan Nyoto Tombeng itu, sedemikian
rupa, sehingga tak memberatkan perusahaan. (TEMPO 28 Maret).
Seperti sudah diberitakan, perusahaan Nyoto Tombeng yang masih
berjalan baik sampai sekarang adalah PT Sinar Surya Metal
Works, yang memproduksikan lampu tekan (petromaks) dan kompor
gas di Surabaya.
Tapi rupanya ada juga sebuah bank swasta nasional besar yang
sudah lama menaruh curiga kepada Nyoto Tombeng. Andi Buana,
General Manager PT Bank Central Asia (BCA) dalam suatu
keterangan kepada Karni Ilyas dari TEMPO pekan lalu mengatakan,
banknya hanya memberikan kredit Rp 30 juta kepada Nyoto Tombeng.
"Dia memang termasuk orang kuat, tetapi kelihatannya sulit
diajak komunikasi," kata Andi. "Lagipula ada hal-hal yang
rasanya mencurigakan."
Cina Totok
GM Andi Buana tak menjelaskan lebih jauh mengapa pihak BCA
menaruh curiga kepada pengusaha yang punya banyak pabrik itu.
Tapi barangkali itu disebabkan karena beberapa pabrik Nyoto
Tombeng yang lain, seperti PT Artha Tobacco, PT Waled Kencana
yang membuat obat nyamuk dan PT Djatim Agung yang memproduksikan
batu baterai, sudah pada bangkrut sebelum Nyoto Tombeng
menghilang. Maka, sejak pagi-pagi, BCA sudah memberikan aba-aba
kepada cabang-cabangnya untuk berhati-hati terhadap Nyoto
Tombeng. "Malah ketika perusahaan Sinar Surya itu menyatakan
akan go pblic, pihak BCA menolak untuk ikut menjadi underwriter
(penjamin)," kata Andi.
PT Sinar Surya Metal Works menyatakan akan memasyarakatkan diri
(go public) beberapa bulan sebelum peristiwa Kenop 15,
pertengahan November 1978. Andi Buana mengakui, sekali pun sudah
lama curiga, BCA cabang Surabaya toh memberikan kredit sebanyak
Rp 30 juta itu kepada Nyoto Tombeng. "Tapi itu diikat dengan
jaminan sebuah rumah di Surabaya dan dibuat berdasarkan
perjanjian di muka notaris," katanya.
Salah seorang notaris yang populer di kalangan pengusaha
"nonpri" di Surabaya ialah Soetjipto SH. Adalah Notaris
Soetjipto pula yang membuat akta jual-beli sejumlah saham PT
Artha Tobacco Company. PT tersebut, berdasarkan surat perjanjian
yang dibuat oleh Notaris Soetjipto itu, ternyata 100% milik Chua
Pho Tiong, pengusaha asing yang muncul di belakang Nyoto
Tombeng, dan kini bermukim di Singapura.
Sebagai orang asing, Chua Pho Tiong, berdasarkan surat
perjanjian yang dibuat pada 1 November 1977, menyatakan telah
membeli sejumlah saham dari PT Artha Tobacco Coy, dengan
meminjam tangan Tenas Sastrawiria dan Ny, Tuti, masing-masing
beralamat di Jl. Kampung Sawah Gg. II/21 B, Jakarta. Tapi
ternyata setelah diselidiki alamat tersebut tak terdapat dalam
peta Jakarta. Yang ada hanya Kampung Sawah Lio II, di daerah
Jembatan Lima, Jakarta Barat, yang dihuni seorang Cina totok
asal Kanton.
Sementara Haris Bonar Tjuatjadjaja, salah seorang di Surabaya
yang disebutkan dalam surat perjanjian itu melakukan transaksi
pembelian saham PT Artha Tobacco, tak berhasil ditemui di
alamatnya, Jl. Kapasari, Surabaya. "Dia itu orangnya sudah
sangat tua dan sakit-sakitan, kini lebih sering tinggal di
tempat peristirahatan," kata seorang penjaga rumah. Rumah itu
besar sekali, tapi selalu tertutup.
Dalam surat perjanjian itu disebutkan bahwa uang yang digunakan
oleh ketiga orang tadi untuk membeli semua saham-saham PT Artha
Tobacco, adalah uang milik Chua Pho Tiong. Ketiga "pembeli" tadi
tidak dibolehkan meminjamkan, menjual atau mengalihkan
saham-saham tersebut, kecuali seizin Chua Pho Tiong. Dan semua
hasil yang datang dari saham itu seluruhnya menjadi milik Chua.
Notaris Soetjipto SH, yang praktek di daerah Jembatan Merah,
Surabaya, mengaku hanya melakukan pembukuan perjanjian antara
Chua Pho Tiong dengan tiga orang yang membeli saham PT Artha
Tobacco. Menurut Soetjipto, di situ Nyoto Tombeng duduk sebagai
komisaris utama. "Jadi kami tidak melakukan legalisasi maupun
kesaksian," ujar Soetjipto kepada Ibrahim Husni dari TEMPO.
Menurut Soetjipto, dengan hanya melakukan pembukuan, ia tak
merasa ada kaitan hukum dengan persoalan perjanjian itu.
Notaris, untuk melakukan hal demikian, bahkan tidak perlu tahu
apa isi perjanjian itu. "Dengan melakukan pembukuan tersebut,
mereka bermaksud kalau suatu saat surat-surat mereka hilang,
masih ada arsipnya di sini," kata notaris yang laris itu.
Soetjipto mengaku tak pernah mengenal Chua Pho Tiong dan ketiga
kliennya yang secara proforma melakukan transaksi pembelian
saham-saham perusahaan tembakau itu. "Saya tidak ingat lagi
siapa yang datang ke sini. Dan untuk sekedar melakukan pembukuan
demikian, memang tidak harus orangnya sendiri yang datang,"
katanya.
Tapi yang menarik dari surat perjanjian yang nampak sederhana
itu adalah tempat tinggal Chua Pho Tiong, pihak kedua, yang
jelas disebutkan di Singapura. Menurut seorang staf di bagian
hukum Badan Koordinasi Modal Asing (BKPM), tak dibenarkan
seorang warganegara asing melakukan jual-beli saham dalam sebuah
perusahaan nasional. "Lain halnya kalau itu perusahaan PMA,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini