UNTUK kesekian kali Gunung Galunggung meledak. Suara gemuruh
berkepanjangan hari Kamis awal Juni, mengawali ledakan dahsyat
yang menggelegar. Menjelang sore hari itu, tiga kali terjadi
ledakan. Seperti Galunggung itu hendak merayakan kegiatannya
genap dua bulan. Ledakannya yang pertama berlangsung awal April
lalu. Tak salah evaluasi Prof. Dr. J.A. Katili waktu itu. "Ini
bisa berlangsung selama beberapa bulan," ucap ahli geologi dan
Dirjen Pertambangan Umum itu kepada TEMPO.
Selama dua bulan itu Galunggung sudah berulang kali meledak.
Juga tak berhenti suara gemuruh yang diselingi ledakan kecil
beruntun. Kepulan asap putih silih berganti dengan muncratan
asap abu-abu kehitaman yang keluar dari kepundannya bernama G.
Jadi itu. Terkadang asap itu menyemprot ratusan meter ke
angkasa, mengungkapkan tenaga dahsyat yang masih berkecamuk
dalam perut gunung itu. Menurut Dr. Katili, ledakan berulang itu
disebabkan penghancuran secara bertahap sumbat lava dalam kawah.
Ledakan yang terbesar agaknya terjadi 17-19 Mei. Ini dinilai Dr.
Katili sebagai puncak ledakan. "Awas, bukan ledakan puncak!",
ujarnya lagi pekan lalu . "Sebab itu maknanya lain ! " Seperti
dilaporkan Ir. Adjat Sudradjat, Direktur Vulkanologi, waktu itu
sekitar 40-50% materi sumbat itu terlontarkan dalam puncak
ledakan itu. Lebih separuh kepala sumbat lava, yang biasanya
terlihat dari beberapa pos pengamatan, telah copot dan
menghilang.
Meski begitu ledakan Galunggung awal Juni lalu tak kalah hebat.
Asap tebal membubung, membawa debu dan pasir yang kemudian
terhembus angin ke arah barat. Kota-kota Bandung, Garut,
Cianjur, bahkan juga Jakarta kebagian selimut debu itu. Tebal
debu di Bandung mencapai lebih 1 cm, jauh lebih besar dari hasil
hujan debu sebelumnya.
Sementara Kota Tasikmalaya, hanya 20 km dari pusat ledakan,
relatif bebas dari hujan debu. Ini disebabkan arah angin. Tapi
penduduk Tasikmalaya menjadi panik karena lahar dingin mulai
merayapi rumah penduduk di tepi Kali Ciloseh yang membelah kota
itu. Ini pertama kali setelah kegiatan Galunggung yang cukup
lama itu. Di Sungai Cibanjaran, Desa Sinagar, kecepatan lahar
mencapai 60 km/jam, membawa batu-batuan bergaris tengah
rata-rata 1,5 m. Puluhan rumah hancur, diterjang lahar,
antaranya 73 rumah di Kecamatan Cipedes, Kotip Tasikmalaya.
Selama beberapa kali ledakan dalam April, sebagian sumbat lava
sudah hancur dan keluar. Tapi itu baru sekitar 10% dari seluruh
volume sumbat itu, yang diperkirakan 8,6 juta meter kubik. Waktu
itu diduga bahwa dalam bulan-bulan mendatang, sisa sumbat itu
bakal dilontarkan tahap demi tahap. Kecil kemungkinan ini
terjadi sekaligus. "Sebenarnya ledakan yang beruntun itu
menunjukkan pada kelemahan relatif energi gunung itu," ujar Dr.
Katili.
Tapi ia tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu puncak
ledakan yang melontarkan seluruh sisa sumbat itu sekaligus.
Kalau ini terjadi, bencana yang ditimbulkan bisa cukup besar.
Apalagi bila tekanan gas tidak terlalu kuat hingga terbentuk
awan panas yang bisa meluncur sampai 15 km ke arah tenggara.
Menurut Katili, yang juga ahli gunung api dan gempa bumi,
Galunggung merupakan gunung yang sudah ' gompel". Artinya ribuan
tahun lalu -- atau ratusan tahun, tak jelas waktunya -- gunung
itu pernah meledak secara dahsyat, melontarkan sebagian dinding
dan puncaknya sampai puluhan kilometer. Bekasnya masih tampak di
sekeliling Kota Tasikmalaya berbentuk ratusan bukit kecil.
Ledakan Galunggung di masa silam itu oleh Katili disamakan
dengan ledakan Gunung St. Helens di Amerika Serikat tahun 1980.
Ledakan Galunggung berikutnya, termasuk rangkaian ledakannya
sejak April lalu, tidak akan sedahsyat dulu itu. Sebab puncak
ledakan terjadi ribuan tahun lalu itu di awal masa
penghancuran.
Gunung api itu punya fase membangun dan fase menghancurkan diri.
Yang dalam fase membangun itu masih mulus berbentuk kerucut
seperti Gunung Ciremai -- kini perlu diawasi -- di Cirebon. Bisa
saja sewaktu-waktu G. Ceremai itu meledak dan menghancurkan
sebagian lerengnya, menurut Katili. Seperti halnya Galunggung di
masa silam atau St. Helens tahun 1980. Apalagi kalau ia meledak
sedahsyat Gunung Krakatau atau Gunung Tambora yang juga awal
fase penghancurannya. Ledakan seperti itu akan meninggalkan
kawah raksasa, bergaris tengah belasan kilometer yang disebut
kaldera. Setelah itu ledakan berikutnya akan kecil dibanding
yang pertama itu.
Secara umum gunung api bisa dibagi dalam dua kategori pokok.
Yang terbentuk di tempat dasar samudra menukik ke bawah
lempengan benua, misalnya di sekeliling Samudra Pasifik.
Kategori lain ialah gunung api yang terbentuk di tempat lava
keluar dari "lubang" di permukaan bumi seperti di Hawaii dan
Eslandia. Jenis ini menghasilkan lava yang sangat panas dan
cair.
Sebaliknya gunung api di tepi lempengan samudra menghasilkan
lava yang sangat kental dan alirannya mengakibatkan lereng kawah
itu umumnya terjal. Ini juga menyebabkan mulut kawah itu mudah
tersumbat, menjebak berbagai gas yang berusaha naik ke atas.
Tekanan yang semakin meningkat itu bisa menyebabkan akhirnya
gunung itu meledak. Semakin besar kandungan silikat dalam lava
itu, semakin besar pula kemungkinan terbentuk sumbat semacam
itu. Gunung api di Indonesia termasuk kategori ini.
Bila semakin besar kandungan silikat, jumlah gas yang terbentuk
juga besar, hingga tenaga gas yang tertekan akibat sumbat tadi
menimbulkan ledakan dahsyat itu. Itu terjadi, misalnya, ketika
Gunung Krakatau dan Gunung Tambora meledak. Waktu itu kadar
keasaman Krakatau mencapai 70%. Kadar ini bisa berubah-ubah
karena proses alami. Kini Krakatau, misalnya, kadar keasamannya
antara 50-53 %. Gunung Galunggung diperkirakan juga rendah kadar
keasamannya, yaitu sekitar 50%.
Kadar keasaman yang rendah memberi indikasi tentang kadar
silikat yang sedikit, hingga magma dalam perut gunung tak banyak
mengandung gas. Akibatnya kalaupun terjadi ledakan, ledakannya
tidak akan dahsyat betul. Magma hanya keluar berbentuk cair
sekali seperti halnya gunung api di Hawaii. Di Indonesia,
seperti juga di Jepang dan Filipina, kadar keasaman umumnya
sedang-sedang saja.
PADA Galunggung terjadi dua jenis erupsi. Rangkaian letusan
kecil beruntun merupakan letusan freatik, letusan uap air akibat
air tanah tersentuh hawa panas magma. Letusan freatik ini
kemudian sering ditingkahi letusan besar yang disertai asap
warna abu-abu hingga membubung tinggi. Ini merupakan erupsi
magmatik, yang melontarkan banyak material debu dan batuan.
Menurut Ir. Adjat, front magma pada Gunung Galunggung tak berapa
dalam, hanya 6-7 km dari permukaan bumi. Menjelang ledakan 17-19
Mei, front magma bahkan sangat dangkal, kurang dari 3 km.
Karenanya magma itu tetap memanaskan air tanah maupun air danau
di kawah. Lain halnya pada Gunung Dieng misalnya, yang magmanya
diperkirakan dalam sekali. Di Dieng, pemanasan air tanah oleh
magma itu tidak mudah terjadi.
Hal yang cukup membahayakan di Galunggung kini bukan lagi
ledakan, melainkan aliran lahar dingin yang mungkin dihanyutkan
hujan dari lereng gunung. Bahaya ini semakin besar bila musim
hujan tiba kelak. Karenanya saat ini upaya terutama ditujukan
pada pembangunan tanggul guna mengendalikan aliran lahar itu.
Saat ini sudah puluhan kilometer tanggul selesai, meski dalam
pembangunannya beberapa bagian sempat hanyut oleh lahar dingin
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini