Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Galunggung yang "gompel"

Sudah 2 bulan gunung galunggung melakukan kegiatan dan berulang kali terjadi ledakan. menurut prof j.a. katili, ledakan tersebut akan berlangsung beberapa bulan, tapi tak akan sedahsyat dulu. (ilt)

19 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK kesekian kali Gunung Galunggung meledak. Suara gemuruh berkepanjangan hari Kamis awal Juni, mengawali ledakan dahsyat yang menggelegar. Menjelang sore hari itu, tiga kali terjadi ledakan. Seperti Galunggung itu hendak merayakan kegiatannya genap dua bulan. Ledakannya yang pertama berlangsung awal April lalu. Tak salah evaluasi Prof. Dr. J.A. Katili waktu itu. "Ini bisa berlangsung selama beberapa bulan," ucap ahli geologi dan Dirjen Pertambangan Umum itu kepada TEMPO. Selama dua bulan itu Galunggung sudah berulang kali meledak. Juga tak berhenti suara gemuruh yang diselingi ledakan kecil beruntun. Kepulan asap putih silih berganti dengan muncratan asap abu-abu kehitaman yang keluar dari kepundannya bernama G. Jadi itu. Terkadang asap itu menyemprot ratusan meter ke angkasa, mengungkapkan tenaga dahsyat yang masih berkecamuk dalam perut gunung itu. Menurut Dr. Katili, ledakan berulang itu disebabkan penghancuran secara bertahap sumbat lava dalam kawah. Ledakan yang terbesar agaknya terjadi 17-19 Mei. Ini dinilai Dr. Katili sebagai puncak ledakan. "Awas, bukan ledakan puncak!", ujarnya lagi pekan lalu . "Sebab itu maknanya lain ! " Seperti dilaporkan Ir. Adjat Sudradjat, Direktur Vulkanologi, waktu itu sekitar 40-50% materi sumbat itu terlontarkan dalam puncak ledakan itu. Lebih separuh kepala sumbat lava, yang biasanya terlihat dari beberapa pos pengamatan, telah copot dan menghilang. Meski begitu ledakan Galunggung awal Juni lalu tak kalah hebat. Asap tebal membubung, membawa debu dan pasir yang kemudian terhembus angin ke arah barat. Kota-kota Bandung, Garut, Cianjur, bahkan juga Jakarta kebagian selimut debu itu. Tebal debu di Bandung mencapai lebih 1 cm, jauh lebih besar dari hasil hujan debu sebelumnya. Sementara Kota Tasikmalaya, hanya 20 km dari pusat ledakan, relatif bebas dari hujan debu. Ini disebabkan arah angin. Tapi penduduk Tasikmalaya menjadi panik karena lahar dingin mulai merayapi rumah penduduk di tepi Kali Ciloseh yang membelah kota itu. Ini pertama kali setelah kegiatan Galunggung yang cukup lama itu. Di Sungai Cibanjaran, Desa Sinagar, kecepatan lahar mencapai 60 km/jam, membawa batu-batuan bergaris tengah rata-rata 1,5 m. Puluhan rumah hancur, diterjang lahar, antaranya 73 rumah di Kecamatan Cipedes, Kotip Tasikmalaya. Selama beberapa kali ledakan dalam April, sebagian sumbat lava sudah hancur dan keluar. Tapi itu baru sekitar 10% dari seluruh volume sumbat itu, yang diperkirakan 8,6 juta meter kubik. Waktu itu diduga bahwa dalam bulan-bulan mendatang, sisa sumbat itu bakal dilontarkan tahap demi tahap. Kecil kemungkinan ini terjadi sekaligus. "Sebenarnya ledakan yang beruntun itu menunjukkan pada kelemahan relatif energi gunung itu," ujar Dr. Katili. Tapi ia tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu puncak ledakan yang melontarkan seluruh sisa sumbat itu sekaligus. Kalau ini terjadi, bencana yang ditimbulkan bisa cukup besar. Apalagi bila tekanan gas tidak terlalu kuat hingga terbentuk awan panas yang bisa meluncur sampai 15 km ke arah tenggara. Menurut Katili, yang juga ahli gunung api dan gempa bumi, Galunggung merupakan gunung yang sudah ' gompel". Artinya ribuan tahun lalu -- atau ratusan tahun, tak jelas waktunya -- gunung itu pernah meledak secara dahsyat, melontarkan sebagian dinding dan puncaknya sampai puluhan kilometer. Bekasnya masih tampak di sekeliling Kota Tasikmalaya berbentuk ratusan bukit kecil. Ledakan Galunggung di masa silam itu oleh Katili disamakan dengan ledakan Gunung St. Helens di Amerika Serikat tahun 1980. Ledakan Galunggung berikutnya, termasuk rangkaian ledakannya sejak April lalu, tidak akan sedahsyat dulu itu. Sebab puncak ledakan terjadi ribuan tahun lalu itu di awal masa penghancuran. Gunung api itu punya fase membangun dan fase menghancurkan diri. Yang dalam fase membangun itu masih mulus berbentuk kerucut seperti Gunung Ciremai -- kini perlu diawasi -- di Cirebon. Bisa saja sewaktu-waktu G. Ceremai itu meledak dan menghancurkan sebagian lerengnya, menurut Katili. Seperti halnya Galunggung di masa silam atau St. Helens tahun 1980. Apalagi kalau ia meledak sedahsyat Gunung Krakatau atau Gunung Tambora yang juga awal fase penghancurannya. Ledakan seperti itu akan meninggalkan kawah raksasa, bergaris tengah belasan kilometer yang disebut kaldera. Setelah itu ledakan berikutnya akan kecil dibanding yang pertama itu. Secara umum gunung api bisa dibagi dalam dua kategori pokok. Yang terbentuk di tempat dasar samudra menukik ke bawah lempengan benua, misalnya di sekeliling Samudra Pasifik. Kategori lain ialah gunung api yang terbentuk di tempat lava keluar dari "lubang" di permukaan bumi seperti di Hawaii dan Eslandia. Jenis ini menghasilkan lava yang sangat panas dan cair. Sebaliknya gunung api di tepi lempengan samudra menghasilkan lava yang sangat kental dan alirannya mengakibatkan lereng kawah itu umumnya terjal. Ini juga menyebabkan mulut kawah itu mudah tersumbat, menjebak berbagai gas yang berusaha naik ke atas. Tekanan yang semakin meningkat itu bisa menyebabkan akhirnya gunung itu meledak. Semakin besar kandungan silikat dalam lava itu, semakin besar pula kemungkinan terbentuk sumbat semacam itu. Gunung api di Indonesia termasuk kategori ini. Bila semakin besar kandungan silikat, jumlah gas yang terbentuk juga besar, hingga tenaga gas yang tertekan akibat sumbat tadi menimbulkan ledakan dahsyat itu. Itu terjadi, misalnya, ketika Gunung Krakatau dan Gunung Tambora meledak. Waktu itu kadar keasaman Krakatau mencapai 70%. Kadar ini bisa berubah-ubah karena proses alami. Kini Krakatau, misalnya, kadar keasamannya antara 50-53 %. Gunung Galunggung diperkirakan juga rendah kadar keasamannya, yaitu sekitar 50%. Kadar keasaman yang rendah memberi indikasi tentang kadar silikat yang sedikit, hingga magma dalam perut gunung tak banyak mengandung gas. Akibatnya kalaupun terjadi ledakan, ledakannya tidak akan dahsyat betul. Magma hanya keluar berbentuk cair sekali seperti halnya gunung api di Hawaii. Di Indonesia, seperti juga di Jepang dan Filipina, kadar keasaman umumnya sedang-sedang saja. PADA Galunggung terjadi dua jenis erupsi. Rangkaian letusan kecil beruntun merupakan letusan freatik, letusan uap air akibat air tanah tersentuh hawa panas magma. Letusan freatik ini kemudian sering ditingkahi letusan besar yang disertai asap warna abu-abu hingga membubung tinggi. Ini merupakan erupsi magmatik, yang melontarkan banyak material debu dan batuan. Menurut Ir. Adjat, front magma pada Gunung Galunggung tak berapa dalam, hanya 6-7 km dari permukaan bumi. Menjelang ledakan 17-19 Mei, front magma bahkan sangat dangkal, kurang dari 3 km. Karenanya magma itu tetap memanaskan air tanah maupun air danau di kawah. Lain halnya pada Gunung Dieng misalnya, yang magmanya diperkirakan dalam sekali. Di Dieng, pemanasan air tanah oleh magma itu tidak mudah terjadi. Hal yang cukup membahayakan di Galunggung kini bukan lagi ledakan, melainkan aliran lahar dingin yang mungkin dihanyutkan hujan dari lereng gunung. Bahaya ini semakin besar bila musim hujan tiba kelak. Karenanya saat ini upaya terutama ditujukan pada pembangunan tanggul guna mengendalikan aliran lahar itu. Saat ini sudah puluhan kilometer tanggul selesai, meski dalam pembangunannya beberapa bagian sempat hanyut oleh lahar dingin itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus