SUDAH 100 tahun Bapak Teori Evolusi Charles Darwin, meninggal.
Dan kini ada yang menarik di Little Rock, Alkansas, Amerika
Serikat. Sejak Desember tahun kemarin, ada gelombang baru yang
mengutak-atik kembali kerawanan di sekitar teori evolusi. Tapi
kini perkaranya agak lain dari kasus yang sebelumnya juga pernah
menarik perhatian di Dayton, Tenessee, 1925.
Ketika itu seorang guru muda bernama John Scopes diajukan ke
depan pengadilan. Ia dituntut karena nekat mengajarkan teori
evolusi kepada murid-muridnya. Kini situasinya agak lain.
"Terdapat perbedaan penting antara 'kasus monyet' 1925 itu
dengan apa yang terjadi di Little Rock akhir-akhir ini," kata
James Gorman dalam tulisannya di majalah Discover, Februari
lalu.
Secara singkat mungkin bisa dikatakan, persoalannya tak lagi
sekedar "pertempuran antara agama dan ilmu pengetahuan."
Pada jaman dahulu, pemerintahlah yang menuntut guru yang
membicarakan teori evolusi di kelasnya. Sekarang, sejumlah tokoh
penting justru menuntut pemerintah yang telah merasa perlu
mengajarkan "ilmu penciptaan' di sekolah-sekolah -- bersamaan
dengan pelajaran tentang evolusi.
Berbagai tokoh gerejani seakan-akan bangkit membentuk front
menghadapi pemerintah. Mereka datang dari Gereja Katolik Roma,
Gereja Episkopal, uskup-uskup Metodis, gereja Baptis Selatan,
Presbyterian, dan organisasi nasional berbagai sinagog Judaisme
Reformasi.
Secara teknis, tampaknya bukan teori evolusi yang menjadi pusat
perbantahan. Melainkan "ilmu pengetahuan yang menerangkan
penciptaan" itu sendiri.
Tapi dalam kaitan ini, "teori evolusi tetap menjadi
bulan-bulanan dan sasaran yang empuk," kata Gorman.
Para "kreasionis" -- pembela 'ilmu penciptaan' -- itu sendiri
terdiri dari para Kristen fundamentalis. Dengan pelbagai upaya
mereka tampaknya ingin melihat semacam versi lain Kitab Kejadian
(Genesis) diajarkan di sekolah-sekolah umum sebagai ilmu
pengetahuan.
"Dalam kenyataannya, 'ilmu' penciptaan menyerang seluruh sudut
ilmu pengetahuan," kata James Gorman. "Ya biologi, kimia,
geologi, dan kosmologi." Usaha untuk memasukkannya ke dalam
kurikulum dianggap "tidak menghormati pemisahan antara gereja
dan negara," yang dijamin dalam Amandemen Pertama Konstitusi
Amerika Serikat.
Isu paling penting agaknya muncul Maret tahun lalu, tatkala
lembaga legislatif Arkansas mengeluarkan sebuah peraturan yang
segera ditandatangani Gubernur Frank White. la sendiri
belakangan mengaku telah membubuhkan tanda tangan sebelum
membaca peraturan tersebut secara menyeluruh.
Jika evolusi diajarkan di suatu sekolah, demikian peraturan
tersebut, "sebagai imbangannya" harus pula diperkenalkan "ilmu
penciptaan". Dengan kata lain: kalau murid diajari teori Darwin,
mereka harus pula diberi ajaran keagamaan tentang penciptaan
dunia -- yang berlawanan. Bab keempat peraturan itu sendiri
kemudian menjadi pusat perhatian yang mendorong American Civil
Liberties Union (ACLU) mengajukan perkara ke pengadilan.
SECARA tergesa-gesa, Bab IV tersebut mengaitkan "ilmu
penciptaan" dengan "penciptaan mendadak alam semesta, energi,
dan kehidupan dari ketiadaan . . . " la membatasi
perubahan-perubahan pada beberapa jenis tumbuhan dan satwa,
memisahkan garis asal-usul kera dan manusia, menerangkan geologi
dengan gejala bencana, termasuk peristiwa banjir semesta alam
(pada masa Nuh), dan awal dunia baru yang belum terlalu tua
menurut Perjanjian Lama.
Terhadap pandangan evolusioner, ia mengkritik bagian yang
berkenaan dengan "keterbatasan mutasi dan seleksi alam untuk
mendorong pengembangan semua makhluk hidup dari organisme
tunggal belaka." Di lain pihak, kalangan evolusionis sendiri
sudah lama memandang bagian ini sebagai suatu kelemahan.
Dalam sidang yang berlangsung Desember tahun kemarin itu, salah
seorang saksi yang diajukan pemerintah adalah Norman Geisler,
tokoh yang terkenal tulus, dari Seminari Teologi Dallas.
Mengenai peraturan Arkansas itu ia berujar, "terus terang saya
menyimpulkan perencana hukum ini banyak mencontoh Kitab
Kejadian".
Tapi pengakuan ini tidak terlalu memperbaiki keadaan. Pemerintah
sendiri terumbang-ambing antara usaha untuk mencoba
mempertahankan "ilmu penciptaan" sebagai benar-benar ilmu -- dan
bukannya sekedar topeng agama -- dengan kecenderungan
memperdebatkan gagasan-gagasan evolusioner. Strategi terhadap
kedua pilihan itu tampaknya masih jauh dari hasil yang
diharapkan.
Penuntut Umum Clark memang tak mengundang satu pun 'ilmuwan
kreasionis' terkemuka. Mungkin ia terpengaruh oleh pernyataan
pengacara ACLU Jack Novik yang memperkirakan bahwa
"tulisan-tulisan mereka bisa membingungkan bila dihubungkan
benar-benar dengan agama".
Clark sendiri pernah dituduh ikut mempertahankan peraturan yang
diperdebatkan itu, meski secara tidak berterus terang. Ia pernah
mengatakan "secara pribadi sangsi" terhadap peraturan tersebut.
Sementara itu, seorang pemimpin organisasi moral, Jerry Falwell,
menyerang Clark sebagai ikut membiayai makan malam pada sebuah
acara lelang yang diselenggarakan ACLU, hanya dua minggu sebelum
sidang.
la juga menolak permohonan yang diajukan dua pengacara terkemuka
Yayasan Pembelaan Resmi llmu Penciptaan, yang ingin turut
menangani perkara tersebut. Kata Clark, tadinya ia memang
bermaksud mengizinkan mereka. Tapi kedua pengacara itu
memperlihatkan kecenderungan ingin mengangkangi seluruh
persoalan.
SEBAGAI gantinya, Clarl memanggil hanya enam pengacara. ACLU
mengajukan 20 pengacara, termasuk beberapa "sukarelawan" dari
Skadden, Arps, Slate, Meagher, dan Flom -- kantor-kantor
pengacara New York terkemuka.
Sidang dibuka 7 Desember. Ruangan penuh sesak. Sebagai pemimpin
sidang ditunjuk Hakim William Overton, bekas pengacara asuransi
yang terkenal giat bekerja, cepat mengambil keputusan, dan
menaruh hormat pada Amandemen Pertama Konstitusi Amerika
Serikat.
Wakil-wakil ACLU rupanya sudah siap dengan serangan yang ingin
membuktikan peraturan mengenai ilmu penciptaan itu bertentangan
dengan konstitusi. Menurut mereka peraturan itu bukan saja
kabur, melainkan juga "melanggar dan meruntuhkan tembok yang
selama ini memisahkan gereja dan negara." Pada kesempatan lain
mereka menamakan peraturan itu sebagai tindakan memperkosa
kemerdekaan akademis.
Dukungan segera berdatangan, terutama dari kalangan ilmuwan dan
akademisi. Ahli-ahli agama turut menyumbangkan pikiran yang
sangat berguna. Pastor F. Bruce Vawter, seorang ahli Perjanjian
Lama di Universitas De Paul membuktikan betapa Bab IV peraturan
yang diperdebatkan itu menggunakan Alkitab "sebagai referensi,
dcngan cara yang sangat buruk." Langdon Gilkey, teologian
Protestan terkemu ka dari Universitas Chicago menyebut peraturan
itu sendiri "pernyataan keagamaan yang tak perlu dipertanyakan
".
Dalam percobaan menerangkan semangat para kreasionis yang
menggebu-gebu, ahli sejarah agama George Marsden -- dari
Perguruan Calvin di Grand Rapids, Michigan -- berpaling kepada
para Kristen fundamentalis abad ke-19. "Para pembela harfiah
Alkitab," katanya, "adalah pembelapembela pertama yang
berhadapan dengan pemikiran modern".
Kalau begitu, mengapa "pemikiran modern" menjadi demikian
ditakuti? Sosiolog Dorothy Nelkin, dari Universitas Cornell
berusaha mencari jawaban. Ia mewawancarai sejumlah kreasionis.
Kemudian ia mendapat kesan, mereka sangat cemas berhadapan
dengan ketidakpastian dan immoralitas. Sebagai akibatnya, mereka
kerap kali cenderung mencari kambing hitam. "Kaum kreasionis
menghubungkan evolusi dengan segala-galanya," kata Dorothy.
"Mulai dari komunisme sampai kehancuran keluarga".
Para ilmuwan yang diminta ACLU menjadi saksi bahkan lebih
drastis lagi. Mereka terang-terangan ogah menggunakan istilah
"ilmu penciptaan. " Mereka hanya mau memakai istilah itu - dalam
keadaan terpaksa-karena demikianlah tercantum di dalam peraturan
yang diperdebatkan.
Ilmuwan lain yang turut ambil bagian dalam sidang yang banyak
menarik perhatian itu ialah G. Brent Dalrymple, dari Survei
Geologi Amerika. Dia menyerang kepercayaan banyak kreasionis,
yang menyatakan umur bumi baru 10 ribu tahun.
"Perkiraaan ini bukan sekedar meleset," kata Brent. Melainkan
"sangat jauh berbeda dengan taksiran umum kalangan ilmuwan.
Menurut perhitungan yang lazim diterima sekarang ini, umur bumi
sudah mencapai 4,5 milyar tahun !
SEMENTARA para kreasionis mereka-reka dengan metode yang sulit
diandalkan, kalangan geolog mendasarkan perhitungannya pada
pendataan radiometrik, antara lain dengan mengukur kerusakan
radioaktif pada bebatuan. "Radioaktivitas adalah satu-satunya
proses yang kami ketahui, yang secara konstan melaksanakan
tugasnya sekitar milyaran tahun," kata Dalrymple.
Teori "bumi yang muda dari para kreasionis," katanya
melanjutkan, "dapat digolongkan ke dalam teori yang menyatakan
dunia ini datar belaka, bak sebuah pinggan".
Salah seorang yang paling bersemangat menyerang kaum kreasionis
adalah Stephen Jay Gould, guru besar Harvard. Dalam mendukung
pendapatnya Gould lebih suka mengemukakan bukti-bukti fosil.
Secara berhati-hati ia memblejeti alasan yang selalu dikemukakan
para kreasionis, bahwa fosil dan bebatuan yang ditemukan di
mana-mana adalah endapan yang terjadi ribuan tahun lalu, tatkala
'banjir semesta' yang melanda dunia mulai surut.
Menurut keyakinan para kreasioni dalam banjir besar itu hanya
makhluk yang paling cerdas dan sejumlah mamalia berhasil
menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Karena itu fosil
mereka ditemukan pada lapisan bumi paling atas.
Gould tak menerima "tebak-tebakan" ini. Kalau memang demikian,
katanya, "mengapa jenis kerang teirtentu yang biasanya hidup di
perairan dangkal ditemukan baik di lapisan bumi yang bawah
maupun yang atas?" Mungkinkah ada jenis kerang yang lebih
cerdas, sehingga mampu menyelamatkan diri ke dataran yang lebih
tinggi? "Kerang bahkan tak mempunyai kepala," kata Gould.
Harold Morowitz, guru besar biotisika dan biokimia dari
Universitas Yale meminta perhatian para kreasionis terhadap
hukum kedua termodinamika. Di situ dinyatakan, "sistem tertutup"
materi cenderung pada degenerasi, hingga mencapai tingkat
maksimal kebalauan molekular. Untuk para kreasionis hal ini
membuktikan bahwa kehidupan yang merupakan pencapaian tingkat
tertinggi tak mungkin berkembang dari materi inorganik.
Tapi Morowitz juga mengingatkan, materi inorganik sendiri sangat
sukar terisolasi. Matahari telah memancarkan cahaya dan panasnya
ke atas hamparan bumi yang muda, dan menciptakan keterbukaan,
melimpahkan energi bagi bahan bakar kehidupan.
Universitas California dalam sidang ini "diwakili" genetikawan
Francisco Ayala, salah seorang ahli evolusi molekular terpenting
di dunia sekarang ini. Menjawab pertanyaan direktur ACLU Bruce
Ennis tentang usaha pemerintah mengatur pengajaran ilmu, Ayala
menceritakan periode gelap yang pernah melanda dunia genetika
Soviet.
PADA masa itu, gagasan-gagasan agronomis Trofim Denisovich
Lysenko dijadikan doktrin resmi. Lysenko menyetujui sebuah
pendapat lama yang menyatakan ciri-ciri yang dimiliki sebuah
organisme sepanjang hidupnya, misalnya otot-otot yang lebih
kuat, dapat diteruskan mengikuti garis keturunan.
Ketika Stalin mengumumkan "Lysenkoisme" sebagai ortodoksi yang
harus ditaati, kata Ayala, "Soviet menempatkan dirinya beberapa
tahun di belakang." Sampai sekarang pun, ujarnya melanjutkan,
ilmuwan Soviet yang sekarang berada di laboratoriumnya di
California masih belum bisa melepaskan diri sepenuhnya dari
pengaruh periode tersebut.
Ayala secara jeli menggaris bawahi pendapatnya dalam
cross-examination, tatkala deputi penuntut umum mengajukan
pertanyaan apakah pada masa itu teori Lysenko diajarkan. "Ya,
selangkah demi selangkah," jawab Ayala, hampir-hampir tak bisa
menyembunyikan perasaan kegembiraannya.
Pada tingkat pertama, Lysenkoisme diajarkan sebagai alternatif
untuk standar genetika evolusioner. Tapi ketika ia mulai
mencapai "kekuatan politik", ortodoksi Lysenkois memperlihatkan
ambisi mengangkangi segala-galanya.
Kekhawatiran para ilmuwan tercermin pada kesangsian guru-guru
yang dihadapkan ke depan sidang untuk memberikan kesaksian. Ron
Coward, pengajar biologi dan psikologi pada Sekolah Menengah
Jacksonville di Jacksonville, Arkansas, menyatakan kebutuhan
akan penyajian berimbang ilmu penciptaan dan teori evolusi bagi
dia berarti "waktu yang sama, dan kegairahan serta perhatian
yang sama.
Ketika ditanya bagaimana ia menjelaskan teori 'banjir besar' itu
kepada para murid, ia menjawab, "secara ilmiah saya tak dapat
menjelaskannya." Bila ia bebas memilih untuk mencari jalan
keluar dari peraturan yang diperdebatkan itu, kata Coward, ia
bukannya akan mengimbangi pelajaran evolusi dengan ilmw
penciptaan. Melainkan "menghapuskan pelajaran evolusi itu
sendiri. " Tapi "saya tentu tak mungkin mendapat kebebasan itu,"
katanya.
Sebelum Ron Coard tampil ke depan sidang, pihak ACLU sebetulnya
sudah mempersiapkan stratei untuk menyerang para saksi
pemerintah. Anthony Siano misalnya berbicara tentang short
crosses, bentuk pengujian yang lebih gencar ketimbang
cross-examination. Dengan cara ini para saksi sangat mungkin
terjebak karena tak sempat mengumpulkan argumentasi. Strategi
itu berhasil dilaksanakan. Dan pelaksananya yang pertama, tentu
saja, tak lain Siano sendiri.
Saksi pertama yang tampil dari pihak pemerintah adalah teologian
Norman Geisler. Ia membantah bahwa konsep kreator merupakan
konsep keagamaan satu-satunya.
Ia memang mengakui konsep itu sebagai buah kesepakatan berbagai
agama, tapi bukan satu-satunya ciri. Aristoteles sudah berbicara
mengenai semacam unsur asali, "penggerak yang tak bergerak,"
tapi "Aristoteles tak menyembah penemuannya itu." Hampir dalam
garis yang bersamaan, "Setan juga mempercayai adanya Tuhan, tapi
tak pernah bersedia taat."
Siano segera menyambar 'kasus Setan' ini, dan mendesak Geisler
mengemukakan pengalaman pribadi seseorang dalam hubungannya
dengan kepercayaan terhadap Setan. Gekler akhirnya mengaku,
dalam kesaksian sebelum sidang ia berbicara mengenai "Orang yang
dikuasai roh jahat, dan studi terhadap gejala UFO."
Didesak lebih jauh, Geisler akhirnya berkata, "saya percaya akan
eksitensi UFO." la selanjutnya menerangkan di dunia ini memang
terdapat manifestasi kesetanan untuk tujuan pengelabuan." Siano
tampak puas. "Tak ada pertanyaan lagi," katanya.
Cross-examination berikutnya, meski tak terlalu dramatik,
muncul dalam pola yang hampir sama dengan pemeriksaan
sebelumnya. Selama testimoni langsung, para saksi muncul
dalam kasus yang menyangkut penciptaan dalam pandangan
ilmiah. Para penuntut ACLU kemudian menyudutkan mereka, baik
bukti-buktinya maupun saksi itu sendiri.
Sebagian besar yang diajukan pemerintah mengutarakan
kepercayaannya kepada Alkitab secara harfiah. Banyak di antara
mereka, seperti misalnya biolog Wayne Frair dari King's College
di Briarcliff Manor, New York, menandatangani pernyataan
kepercayaan untuk bergabung dengan Lembaga Riset Kreasi. Dalam
salah satu bagian kredo mereka tertulis: "Alkitab adalah sabda
Tuhan yang tertulis. Dan karena kita yakin ia mengilhami
segala-galanya, maka pernyataannya pun derlgan sendirinya benar,
tidak menurut sejarah maupun ilmu pengetahuan."
Garis pokok argumentasi para saksi yang diangkat pemerintah itu
ialah kritik teori evolusi. Di sana-sini mereka membumbui
kesaksiannya dengan kutipan-kutipan dari beberapa evolusionis.
Di pihak pemerintah memang terdapat sikap yang agak lucu.
Menurut mereka, setiap bukti yang membantah evolusi sekaligus
merupakan bukti kebenaran untuk kaum kreasionis. Sikap ini
sering diperolok-olokkan para ilmuwan dari pihak penantang.
Seperti dikemukakan genetikawan Ayala kepada deputi penuntut
umum David Williams, "Tidak menjadi Tuan Williams bukan
sekaligus berarti menjadi Tuan Ayala." Sebagian hadirin tak
dapat menahan senyumnya mendengar perumpamaan yang kocak ini.
KAUM kreasionis memang melakukan juga riset kecil-kecilan.
Umpamanya seperti yang di jelaskan Wayne Frair. Ia menerangkan,
berdasarkan perkiraan evolusionis! sel darah merah tampak
lebih kecil pada binatang bertulang belakang dari jenis yang
lebih maju. Namun ia menemukan, beberapa ampibi -- yang menurut
skala evolusioner lebih tinggi ketimbang ikan -- memiliki sel
darah lebih besar.
Salah seorang saksi pemerintah yang lain ialah Robert Gentry,
ilmuwan tamu dari Laboratorium Nasional Oak Ridge, Tenessee. Ia
mengungkapkan sebuah penyimpangan ilmiah misalnya jejak-jejak
perusakan radioaktif yang prosesnya belum bisa diketahui.
Dalam beberapa batu-batuan purba, ia berhasil menemukan elemen
radioaktif yang bernama polonium semacam produk pembusuk
uranium.
"Padahal di sana tidak ada tanda-tanda uranium," kata Gentry.
Karena umurnya sangat terbatas, polonium sendiri akan segera
sirna tanpa bekas, tatkala batu-batuan purba di sekitarnya
menjadi dingin. Hal yang dapat menerangkan penyimpangan ini,
menurut Gentry, adalah teori penciptaan. "Tuhan telah
meninggalkan bekas tanganNya di sini," katanya.
Tapi pihak ACLU tak serta merta menerima penjelasan itu. Geolog
Darlymple mengemukakan, bahwa masih banyak bukti lain yang lebih
kuat untuk melumpuhkan keterangan Gentry "lebih dari sekedar
misteri kecil."
BINTANG di antara ilmuwan yang diajukan pemerintah sebagai
sakti adalah Chandra Wickramasinghe. Dia ini astronom terkemuka,
dan teman bekeria sama Sir Fred Hoyle. Wickramasinghe
didatangkan dari Universitas College Cardiff, Wales.
Bagian dari argumentasinya didasarkan pada teori bahwa kehidupan
tidak berasal dari bumi ini, melainkan dari angkasa luar.
Mungkin kehadirannya di sini melalui perjalanan komet. Pendapat
ini sampai sekarang bersifat minoritas. Salah seorang yang
cenderung menyetujuinya termasuk pemenang hadiah Nobel Francis
Crick.
Bersama Sir Fred Hoyle, Wickramasingje memandang kehidupan
sebagai sebuah gejala kosmik. Mereka yakin akan adanya unsur
kreator -- pencipta.
Kreator dalam pandangan Wickramasinghe hanya menciptakan
kehidupan, bukan keseluruhan alam semesta. Ia hadir dalam
konteks fisika dan kimiawi bersama alam semesta itu.
Wickramasinghe sendiri mengaku, gagasan ini seperti berada di
luar arus besar pemikiran ilmiah. Ia dan Hoyle menolak untuk
menuliskannya dalam bentuk jurnal, khawatir terhadap prasangka
kalangan evolusionis yang sudah tersebar luas. Tapi tidak
mempedulikan unsur kreator itu, kata Wickramasinghe "berarti
menutup mata terhadap fakta, suatu sikap yang mungkin sulit
dimaafkan."
Ia sendiri sambil lalu melemparkan kritik ke alamat kaum
evolusionis. Terutama pada sikap mereka yang terlalu merasa
pasti. Ia menyatakan bahwa "kepercayaan terhadap lahirnya
kehidupan dari ketiadaan bukanlah merupakan suatu fakta,
melainkan dogma."
Wickramasinghe tampaknya datang ke Litle Rock bukan terutama
untuk membela kaum kreasionis, melainkan menjelaskan gagasan dan
pikirannya sendiri secara lengkap dan terperinci. la tidak
mati-matian membela kaum kreasionis, atau berapi-api mencela
Darwin. Bahkan ia mengatakan semua pendapat para kreasionis
keliru, kecuali dalam satu hal.
Ia menyebut pengecualian itu pada pandangan kaum kreasionis yang
menyatakan mutasi dan seleksi alam tak cukup untuk mendukung
gejala evolusi. Kaum evolusionis sendiri mengakui kebenaran itu.
Mereka sendiri mengakui proses lain, umpamanya rekomendasi
material genetika.
Pada akhir sidang, Hakim Overton mengingatkan hadirin bahwa dia
tak akan memberi keputusan yang membenarkan atau menyalahkan
salah satu pihak. Ia hanya bertugas memelihara jalannya
perdebatan, atau meneruskan persidangan itu ke Mahkamah Agung.
"Tapi keadaan tampaknya tidak menguntungkan para kreasionis,"
kata James Gorman dalam tulisannya.
Yayasan Pembelaan Resmi llmu Penciptaan, lembaga yang sangat
mendukung peraturan yang diperdebatkan itu mengakui kenyataan
ini. Mereka belum melihat hari depan yang menjanjikan kemenangan
gilang-gemilang bagi mereka.
PENUNTUT Umum Clark sendiri menjanjikan naik banding bila ia
sekali ini mengalami kekalahan. Tapi pihak ACLU bukannya surut.
Mungkin keyakinan mereka tercermin dalam pernyataan salah
seorang tokohnya, Bruce Ennis, "saya tak melihat isu lain yang
lebih berbahaya untuk jangka waktu panjang bagi negeri kita,
kecuali perkara ini."
Namun apa pun yang terjadi, kaum kreasionis belum patah
semangat. Di California, pada 1980 mereka berhasil membuat
pengadilan menentukan pengajaran evolusi sebagai teori, bukannya
dogma.
Little Rock mungkin saja baru merupakan medan pertempuran yang
pertama. Dua pengacara kreasionis yang ditolak Clark konon mulai
mendekati pengadilan Louisiana untuk acara yang sama.Di pihak
lain, kalangan ACLU sendiri tidak tinggal berpangku tangan.
Untuk para kreasionis, masalahnya bisa menjadi persoalan hidup
atau mati. Mereka memang tidak bisa disamakan dengan para
agamawan liberal yang mempercayai Alkitab dari sudut kerohanian,
dan membiarkan kemungkinan mempersoalkan segi ilmiahnya tetap
sebagai teka-teki. Mereka tampak berpantang menyerah. Seperti
dikatakan Duane Gish, wakil ketua Lembaga Riset Penciptaan,
"Percayalah, suatu saat kami akan didengarkan."
Syahdan Charles Darwin, Bapa Teori Evolusi yang oleh kaum
fundamentalis Kristen sedang diusahakan dilawan itu, meninggal
sudah. Ia dimakamkan di samping Isaac Newton di Westminster
Abbey.
Manakala petimati diusung memasuki bangsal yang luas itu, paduan
suara mengalunkan lagu yang diciptakan khusus untuk kesempatan
tersebut. Liriknya, dikutip dari Buku Pepatah, dianggap
mencerminkan kebesaran Darwin. Bunyinya, "Berbahagialah orang
yang menemukan kebijaksanaan dan diberkahi pengertian. Kedua
nilai itu jauh lebih berharga dari permata merah delima, dan
tidak bisa dibandingkan dengan benda-benda apa pun yang pernah
diinginkan manusia".
Kebesaran Darwin? Ya, dan terutama kemasyhurannya yang tidak
hanya terpatri pada keyakinannya tentang evolusi, tapi bahwa
teori itu menyediakan bukti-bukti berlimpah -- di samping
sugesti langsung agar riset dilaksanakan. Tak diingkari bahwa
Darwin memberi tugas pada ilmu untuk mengerjakan sesuatu yang
praktis. Semua ini termaktub dalam bukunya yang amat terkenal On
the Origin of Species. Tentang makhluk yang bernama manusia, di
situ ia hanya berkata, "Cahaya akan dipancarkan menyinari
asal-usul manusia dan sejarahnya"
Dan sinar memang terpancar lebih terang dalam bukunya yang
terbit kemudian, The Descent of Man. Dalam buku ini ia misalnya
mengutarakan, tubuh manusia diacu oleh kekuatan kekuatan yang
terpendam dalam seleksi alam. Akhirnya, dalam The Expression of
the Emotions in Man and Animals (1872), Darwin berani
mengemukakan bahwa perilaku manusia yang paling khas dan paling
halus, yakni ekspresi, justru mencerminkan masa lalu yang
berevolusi.
Contoh: manusia mengepresikan rasa jijik dengan gerak muka yang
mengingatkan kita pada mimik orang muntah. Kita mengerutkan
bibir dengan gusar hingga tertarik ke arah posisi gigi taring
yang biasanya menonjol. Bagi nenekmoyang manusia, gigi-gigi
taring itu tak lain senjata tajam dan panjang. Dalam jiwa dan
raga manusia menurut Darwin, jelas diperagakan "contoh hina yang
diturunkan oleh asal-usul yang rendah".
DARWIN bukan seorang atheis. Setidaknya demikianlah pandangan
Stephen Jay Gould, ahli purbakala terkemuka Amerika dewasa ini
yang juga mengajar geologi di Harvard. "Kemungkinan besar Darwin
percaya akan adanya tuhan tertentu," tulis Hould dalam Discover
Februari lalu. "Tapi ketuhanan ini tidak diberinya peran
langsung dan berkelanjutan dalam proses evolusi."
Gould sendiri berpendapat, kepercayaan semacam itu "positif dan
menggembirakan." la mengajarkan, makna hidup tidak mungkin
dibaca secara pasif dari kerja alam semesta. Sebaliknya kita
harus berjuang, berpikir dan membangun makna itu untukdiri kita.
Gould juga mengingatkan, Darwin mempertahankan kerendahan hati
yang amat dalam untuk tugas 'membangun' makna tersebut. Katanya:
"Dia mengerti keterbatasan ilmu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini