Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Ganja Bukan Lagi Zat Adiktif Berbahaya, Ini Cerita Pra dan Pasca Voting di PBB

WHO telah mengungkap enam rekomendasi baru soal ganja dalam aturan pengendalian obat PBB sejak awal 2019.

4 Desember 2020 | 02.44 WIB

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian Tommy Nugraha dalam keterangannya pada akhir Agustus lalu menjelaskan, ganja tergolong jenis tanaman obat psikotropika. Karena itu, sejak 2006, pemerintah telah memusnahkan ganja yang ditanam petani. REUTERS
Perbesar
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian Tommy Nugraha dalam keterangannya pada akhir Agustus lalu menjelaskan, ganja tergolong jenis tanaman obat psikotropika. Karena itu, sejak 2006, pemerintah telah memusnahkan ganja yang ditanam petani. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dalam kajiannya terhadap sejumlah rekomendasi WHO atas penggunaan mariyuana atau ganja dan turunannya, Komisi PBB untuk Narkotika dan Obat-obatan Terlarang (CND) memutuskan mencabut zat psikoaktif itu dari Lampiran IV, Konvensi 1961 tentang Narkotika dan Obat-obatan. Selama 59 tahun sebelum rapat voting itu dilakukan pada Rabu, 3 Desember 2020, ganja masih digolongkan dalam jenis opium adiktif berbahaya, termasuk heroin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ke-53 negara anggota CND mengambil suara terbanyak setelah isi lampiran itu bahkan melarang penggunaan ramuan bunga kering jenis tanaman Cannabis sativa ini untuk tujuan medis. Hasil voting lalu ke luar dengan 27 anggota setuju pencabutan, 25 menolak dan satu abstain. Dengan hasil itu CND membuka pintu untuk negara-negara mengakui potensi terapi dan medis dari zat yang masih luas digunakan namun secara ilegal sebagai obat rekreasi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Lebih jauh, keputusan terbaru bisa mendorong riset ilmiah tambahan terhadap khasiat medis yang selama ini dikenal dari tanaman ganja. Riset akan berperan sebagai katalis untuk negara-negara melegalisasi obatnya untuk medis, dan mengkaji ulang hukumnya tentang fungsi rekreasional dari ganja atau mariyuana.

Pada Januari 2019, WHO telah mengungkap enam rekomendasi baru seputar lampiran soal ganja dalam aturan pengendalian obat PBB. Awalnya, rekomendasi-rekomendasi itu hendak dibawa ke dalam voting pada rapat CND Maret 2019, tapi banyak negara anggota meminta waktu tambahan untuk mempelajari dorongan buat voting itu dan menegaskan terlebih dahulu posisi mereka.

Di antara banyak poin baru WHO, mereka mengklarifikasi kalau cannabidiol (CBD) –sebuah senyawa nonracun–bukanlah subyek kontrol internasional. CBD sebaliknya disebut telah berperan besar dalam terapi pemulihan beberapa tahun terakhir, dan melahirkan sebuah industri baru bernilai miliaran dollar.

Belum lama ini, lebih dari 50 negara telah mengadopsi program ganja untuk medis. Beberapa negara seperti Kanada, Uruguay, dan 15 negara bagian di Amerika Serikat sudah langsung melegalkannya untuk kegunaan rekreasional. Meksiko dan Luxembourg sepertinya akan menjadi negara ketiga dan empat yang mendukungnya pula.

Petugas menata barang bukti paket ganja kering dalam rilis kasus penyelundupan 301 kilogram ganja di Serang, Banten, Rabu, 30 September 2020. ANTARA/Asep Fathulrahman

Setelah voting Rabu lalu, beberapa negara langsung mengutarakan posisinya. Ekuador, misalnya, mendukung seluruh rekomendasi terbaru WHO. Negara ini termasuk yang mendesak produksi, penjualan dan penggunaan ganja segera memiliki kerangka kerja regulasi. "Yang menjamin praktik baik, kualitas, serta pengembangan inovasi dan risetnya."

Sementara itu, Amerika Serikat memberi suaranya setuju mencabut ganja dari Schedule IV of the Single Convention tersebut, namun mempertahankan isi Lampiran I. Bagian ini menyatakan cannabis atau ganja memberi ancaman risiko kesehatan publik dan karenanya seharusnya terus dikendalikan di bawah konvensi kontrol obat internasional.

Voting itu melawan, di antaranya, pendapat Cile bahwa ada hubungan langsung antara penggunaan ganja dan meningkatnya peluang depresi, defisit kognitif, rasa cemas, gejala psikotik. Sedang Jepang menyatakan penggunaan non medis dari ganja, "Mungkin akan melambungkan dampak negatif untuk kesehatan dan sosial, terutama di antara anak muda."

UN.NEWS

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus