Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dituduh provokator dan penyebar kecemasan tidak menyurutkan langkah Patra Rina Dewi untuk tetap mengetuk setiap pintu rumah di kawasan Gunung Pangilun, Padang, Sumatera Barat. Perempuan berusia 32 tahun ini pada awal Mei lalu terus saja bersemangat mengabarkan kepada warga kota di kawasan pinggir pantai barat Sumatera perihal kemungkinan bakal menjadi sasaran gempa dan tsunami berikutnya.
Tentu saja, warga yang baru pulih dari trauma guncangan gempa 7,4 pada skala Richter, 10 April lalu, cukup marah mendengar berita pahit tersebut. ”Apa lagi ini? Angkat-angkat cerita tsunami, nanti datang pula benar-benar,” kata Patra menirukan keluhan seorang ibu yang ditemuinya.
Relawan sekaligus juru bicara Komunitas Siaga Tsunami ini mengatakan, pekerjaannya mensosialisasi kesiapan publik menghadapi gempa dan tsunami memang tidak mudah. ”Ini perjuangan agar masyarakat Padang tidak mengalami nasib sebagaimana masyarakat Aceh,” kata Patra.
Kenyataannya, warga Padang memang harus waspada. Para pakar gempa dari Amerika, Jepang, Jerman, Taiwan, dan Prancis yang berkumpul di Padang dalam konferensi internasional The Sumateran Earthquake Challenge pada akhir Agustus lalu memprediksi akan adanya gempa besar di bawah Kepulauan Mentawai.
”Tak ada yang dapat memprediksi secara ilmiah mengenai hari, pekan, atau bahkan tahun gempa dan tsunami besar di Sumatera Barat akan menerjang,” begitu kesimpulan konferensi lima hari itu. Yang pasti, gempa akan diikuti oleh naiknya gelombang air laut yang menyapu daratan kota tersebut. Padahal, lebih dari separuh penduduknya atau 400 ribu warga bermukim di wilayah pantai.
Deputi Bidang Ilmu Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jan Sopaheluwakan, menyatakan, peringatan itu bukan menakuti-nakuti warga. Ada bukti bahwa siklus gempa akibat interaksi dua lempeng India-Australia dan Eurasia terjadi setiap dua abad. ”Gempa terakhir terjadi 172 dan 208 tahun lampau,” katanya.
Tekanan yang kini terakumulasi akan memuncak, menghasilkan gempa raksasa di Sumatera Barat. Jika itu terjadi, Kepulauan Mentawai bakal mengalami nasib serupa Pulau Nias dan Simeulue, yakni terangkat secara tiba-tiba setinggi satu meter atau lebih. Daerah pantai Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu akan tenggelam setengah sampai satu meter, sama dengan yang terjadi di pantai barat Aceh dan Sumatera Utara.
Dalam pemodelan genangan, tsunami akan melanda Kota Padang dan Bengkulu dalam waktu 40 menit. Inilah pedoman bagi proses evakuasi warga kota. Jika gempa terjadi lebih dari satu menit dan air laut surut, mereka harus naik ke bukit dengan berjalan kaki atau menuju gedung tinggi terdekat.
Bahkan bukan hanya Padang dan Bengkulu yang harus waspada. Para pakar gempa internasional juga mengingatkan, Banda Aceh belum aman. Gempa besar dari Patahan Sumatera (Sumatera Fault) masih mengintai.
Dalam rekomendasinya, para pakar gempa meminta pemerintah dan penduduk Sumatera tidak mengabaikan risiko patahan besar yang membelah dua Pulau Sumatera sepanjang 1.600 kilometer, mulai dari Teluk Semangko, Lampung, sampai Banda Aceh. ”Kota Banda Aceh lebih berisiko terkena gempa dari Patahan Sumatera daripada tsunami,” kata Jan. ”Dari seluruh Sesar (Patahan) Sumatera, yang belum rilis (melepaskan) energi (gempa) hanya segmen Aceh.”
Kerry Sieh, pakar geologi dari California Institute of Technology, menambahkan, selama 150 sampai 200 tahun terakhir tidak ada gempa besar di segmen Aceh. Padahal, dari data seismik dan penampakan geologisnya, segmen itu sangat aktif.
Banda Aceh memang memiliki posisi tidak menguntungkan. Berada tepat di tengah jalur Sesar Sumatera, patahan ini bisa menghasilkan kerusakan yang luar biasa. ”Terutama bagi rekonstruksi Aceh saat ini—bila ada konstruksi bangunan yang dibangun tepat di atas jalur patahan itu, bisa terbelah dua,” kata Sieh.
Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Danny Hilman Natawidjaja, menjelaskan, bahaya gempa di darat adalah getarannya. Makin dekat ke jalur patahan, getaran makin kuat dan bisa merobek bangunan karena gerakan patahan yang saling berlawanan. Bagaimana jika setiap bangunan menggunakan konstruksi tahan gempa? ”Tetap roboh, karena bukan hanya diguncang, tapi juga disobek,” kata Danny.
Pada 1994, Danny melihat gempa membelah jalan lewat sebuah rumah. Yang terjadi adalah separuh bagian utuh, sementara bagian lainnya hancur. ”Sebenarnya asal tahu jalur gempanya, bangunan digeser lima sampai 20 meter biar tidak kena,” kata Danny.
Untuk menghindari rusak dan robohnya bangunan publik seperti sekolah dan rumah sakit, Danny menyarankan, pemerintah pusat dan daerah menggunakan peta Sesar Sumatera sebagai pedoman pembangunan tata ruang dan wilayah, terutama membangun kembali Aceh pascatsunami 26 Desember 2004. LIPI telah memiliki peta Sesar Sumatera berskala 1:50.000 sehingga dapat menentukan posisi sesar dengan tepat.
Sampai saat ini, proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh memang belum menggunakan peta Patahan Sumatera sebagai pedoman. Deputi Komunikasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh, Sudirman Said, menyatakan, acuan yang mereka gunakan adalah master plan dari Bappenas, serta studi dan dialog dengan dinas tata kota setempat. ”Tapi kami sangat welcome kalau bisa mendapatkan peta itu,” kata Sudirman.
Walau telah didukung banyak pakar geologi dan tata ruang di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh, Sudirman menyambut semua referensi yang dapat dijadikan pedoman dalam membangun Aceh. ”Ini daerah yang tidak stabil dalam waktu yang cukup panjang sehingga perlu penanganan teknologi tahan gempa,” katanya.
Untuk menjamin rekomendasi ini mendapat perhatian dari pemerintah, LIPI akan menyampaikannya kepada menteri terkait, Bappenas, dan DPR. ”Bisa menjadi pertimbangan, termasuk dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Penanganan Bencana,” kata Jan.
Danny mengatakan, ancaman ini harus diwaspadai. Apalagi, studi tentang Patahan Sumatera masih kurang meski disinyalir memiliki risiko cukup besar dengan gempa berskala antara 6,5 sampai 7,7 pada skala Richter. Saat ini, LIPI baru berhasil memetakan jalurnya.
Untuk mengetahui karakteristik dan frekuensi gempa masih perlu penelitian lebih detail tiap segmen. ”Ada indikasi perulangan gempa bumi di segmen-segmen Sumatera bervariasi kira-kira sekitar 100 tahunan kalau melihat dari sejarah dan karakteristik kinematiknya (kecepatan gerak),” ujarnya.
Tjandra Dewi
Patahan Sumatera itu
Patahan atau Sesar Sumatera dari Selat Sunda, Teluk Semangko, Kota Liwa, membelah Danau Ranau, melewati kota Kepahiang (Bengkulu), Danau Di Atas, Danau Di Bawah, Danau Singkarak, Ngarai Sihanok, memecah dua ke Sorik Marapi (Sumatera Utara) dan ke timurnya. Patahan menyatu lagi ke Tarutung, sebelah barat Danau Toba, Lembah Alas, memecah ke Banda Aceh dan Gunung Seulawah Agam dan membelah Pulau Weh (Persis di Kota Sabang).
Patahan ini terjadi akibat penghunjaman aktif Lempeng Hindia di bawah lempeng Eurasia. Penghunjaman yang relatif miring ini membentuk patahan aktif di daratan Sumatera berupa Sesar Sumatera, yang cukup tinggi intensitas gempanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo