Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), M. Ridwan Effendi, mengatakan layanan Starlink masih dihantui sejumlah kelemahan. Jaringan internet berbasis satelit milik Elon Musk itu resmi diluncurkan di Indonesia sejak Ahad, 19 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Satelit akan mengalami gerhana satelit, juga terdampak badai matahari,” ujarnya pada hari peluncuran Starlink di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerhana satelit merupakan istilah ketika satelit tertutupi oleh bumi, sehingga panel suryanya tidak bisa menyerap energi dari paparan matahari. Dalam kondisi terhalang, satelit akan memakai energi cadangan yang tersimpan di baterai.
Ridwan yang adalah dosen dari Kelompok Keahlian Teknik Telekomunikasi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB menyebut kemampuan satelit menurun ketika mengandalkankan tenaga dari sel baterai. Saat itu pancaran internetnya ikut melemah.
“Dalam sehari gangguannya paling lama satu jam, alamiahnya begitu,” tutur Ridwan.
Layanan Starlink disokong satelit berorbit rendah atau Low Earth Orbit (LEO). Sama halnya dengan yang dipakai OneWeb, pesaing Starlink, ketinggian satelit itu berkisar 800-1.000 kilometer (Km) dari bumi, jauh lebih rendah dibanding satelit geostationer yang tingginya menembus 36.000 Km.
Jenis satelit LEO harus bergerak cepat agar tidak mudah jatuh ke bumi karena tarikan gravitasi. Satelit internet itu umumnya bergerak melawan arah rotasi bumi.
Orbit yang rendah dan pita frekuensi Ka (Ka Band), menurut Ridwan, membuat satelit Starlink rawan terganggu badai matahari. “Badai kosmisnya banyak di daerah frekuensi tinggi. Gangguannya cukup besar di angkasa,” ucap dia.
Fenomena badai surya pekan lalu juga sempat mengusik fungsi satelit Starlink. Badai matahari ekstrem itu dipicu bintik hitam matahari atau sunspot raksasa yang menghasilkan flare matahari dan lontaran massa korona atau coronal mass ejection (CME).
Permukaan matahari yang mengalami sunspot tepat mengarah ke bumi. Selain sunspot raksasa, peneliti juga menemukan 156 sunspot lain. Bintik hitam bermunculan karena matahari sedang tengah mencapai puncak siklus aktivitas yang terhadi setiap 11 tahun. Gangguan yang sama, menurut Ridwan, masih akan berulang hingga beberapa tahun ke depan.
Dari sisi teknis, menurut Ridwan, satelit LEO lebih cocok untuk area penggunaan Internet yang luas dan tersebar, bukan yang terkonsentrasi seperti di kota. Layanan internet berbasis satelit cocok untuk penggunaan di daerah pelosok, puncak gunung, atau di tengah laut. Adapun internet perkotaan lebih cocok dengan broadband, fiber optic, atau jaringan selular.
“Kalau di perkotaan banyak yang pakai dan berdekatan. Kecepatan akan menurun dan delay semakin tinggi,” ujar Ridwan yang merupakan mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) tersebut.
Pilihan Editor: Jaga Kelancaran World Water Forum, BNPB Modifikasi Cuaca di Bali