Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Hubungan darah brunei-mataram

Seorang sejarawan kerajaan brunei darussalam menyebut raja brunei dan mataram punya hubungan darah. dalam sejarah kerajaan jawa, nama brunei tak pernah disebut-sebut.

15 Mei 1993 | 00.00 WIB

Hubungan darah brunei-mataram
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JANGAN heran kalau di Brunei Darussalam ada sejumlah tokoh yang disebut sebagai Pangiran Dipanegara. Di sana sebutan itu menjadi gelar resmi bagi kerabat kerajaan yang dianggap mengharumkan nama negara. Dan ini diakui paling tidak oleh Prof. Dr. Haji Awang bin Mohammad Jamil Al-Sufri, 72 tahun, ahli sejarah di Istana Brunei. Sebutan itu merupakan sisa pengaruh Jawa di negeri petrodolar itu. Bukan hanya itu. Haji Awang punya catatan bahwa Sultan Hassanul Bolkiah punya hubungan darah dengan keturunan Raja Mataram, seperti Sultan Hamengkubuwono X dari Yogya. Titik temu silsilah kedua sultan ini, menurut Haji Awang, ada pada diri Sunan Giri Muhammad Ainul Yaqqin Sahibul Qairi, penyebar agama Islam di Jawa Timur tahun 1500-an. Pendapat kontroversial versi Haji Awang ini dikemukakan dalam simposium sejarah di Kampus UGM Yogya dua pekan lalu. Dalam forum ini, Haji Awang membawakan makalah yang mengulas hubungan Brunei dengan Jawa beradad-abad lalu. Dan tak tanggung- tanggung, ia membawa pula skema silsilah yang mempertautkan dinasti Brunei dan Mataram. Syahdan, menurut Haji Awang, Sunan Giri punya cicit bernama Raden Mas Ayu Siti Aisyah. Ketika dewasa, Aisyah disunting oleh Sultan Abdul Jalilul Akbar. Pasangan inilah yang kemudian menurunkan Sultan Bolkiah, Sultan Brunei Darussalam saat ini. Dari istri yang lain, Sunan Giri juga menurunkan cicit yang disunting oleh Panembahan Senopati, perintis dinasti Mataram. Dari pasangan ini kemudian lahir Panembahan Seda Krapyak. Sang Panembahan melahirkan Sultan Agung. Selajutnya, lahirlah penguasa Mataram yang kini menyisakan empat keraton, dua di Yogya dan dua di Solo. Kalau cuma sampai di situ, silsilah yang dibawa Haji Awang ke Yogya itu tak cukup spektakuler. Kalau direntang lagi ke belakang, lewat garis yang rumit, silsilah ini mengatakan hal yang luar biasa: dinasti Brunei dan Mataram sama-sama punya hubungan darah dengan dinasti Majapahit sekaligus Sayidina Husin, cucu Nabi Besar Muhammad SAW. Asal tahu saja, silsilah itu diterbitkan oleh Jabatan Pusat Sejarah Kementrian Kebudayaan-Belia dan Sukan Brunei Darussalam. Simpulnya lagi-lagi Sunan Giri. Oleh Haji Awang, Sunan Giri disebut lahir dari Sunan Ampel, tokoh syiar Islam di Jawa Timur yang menikahi Putri Sekardadu, cicit Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk. Sunan Ampel sendiri, menurut catatannya, adalah keturunan ke-21 dari Sayidina Husin. Namun, jalur Sultan Bolkiah ke Nabi Muhammad tak hanya lewat Sunan Giri. Sultan Abdul Jalilul Akbar, katanya, punya garis silsilah sendiri ke Nabi Muhammad, dari jalur ayahnya. Kerajaan Brunei sendiri, menurut Haji Awang, sudah lahir tahun 500 Masehi. Brunei menjadi negara Islam, katanya, sejak zaman pra-Majapahit. Alkisah, seorang Raja Brunei, yang oleh profesor sepuh ini disebut sebagai Raja Chermin, berlayar ke Jawa. Ia membawa putrinya, Siti Fatimah. Misinya adalah mengislamkan Raja Jenggala yang ketika itu bergelar Prabu Angka Wijaya. Bila mau masuk Islam, sang Prabu akan dihadiahi putrinya. Tapi Angka Wijaya menolak. Raja Chermin kecewa. Ia dan rombongannya meninggalkan istana. Sebelum pulang, mereka beristirahat di Desa Leran, dekat Gresik. Malang, Siti Fatimah dan beberapa pengikutnya meninggal, lalu dimakamkan di situ. Kompleks pemakaman itu kemudian diurus Maulana Malik Ibrahim, sepupu Raja Chermin, yang telah menjadi penyebar Islam di Jawa Timur. Kebesaran Majapahit sempat membuat Brunei surut. Ekspansi Gajahmada menjadikan Brunei kerajaan jajahan. Tapi identitasnya tak terganggu: tetap kerajaan Islam. Sepeninggalnya Gajahmada, Brunei kembali merdeka. Sepintas, cerita Haji Awang itu memukau. Makam Siti Fatimah di Leran itu memang benar adanya dan sekarang dikenal sebagai situs sejarah Islam tertua di Indonesia. Di kalangan arkeolog, situs ini dikenal sebagai Makam Fatimah dengan sederet keterangan dalam tulisan Arab. Ahli sejarah dari UGM, Abady Darban, mengatakan bahwa tulisan itu mencatat Fatima Binti Maimunah meninggal tahun 475 H, atau 1082 Masehi. Maka sungguh aneh kalau Siti Fatimah dikatakan sebagai keponakan Malik Ibrahim. Sebab, makam Malik Ibrahim sendiri, juga di Gresik, berangka tahun 1419 M. Jadi, klaim bahwa Siti Fatimah itu anak Chermin sangat diragukan. Hubungan politik antara Brunei dan Jawa yang dikemukakan Haji Awang itu ditanggapi Joko Dwianto, sejarawan lain di UGM, de- ngan mengangkat bahu. Peninggalan sejarah kerajaan Jawa, prasasti, arsip, dan naskah kuno semacam Babat Tanah Jawa, Babat Mataram, dan Negara Kertagama tak pernah menyebut Brunei atau kata lain yang bisa ditafsirkan sebagai Brunei. ''Padahal ada prasasti yang menyebut Pulau Mindanau Filipina,'' ujarnya. Abady mengkritik sumber acuan penulisan sejarah versi Haji Awang itu, yang cenderung cuma dari kategori sahibulhikayat. Sumber semacam ini mencampuradukkan fakta dan fiksi. Tapi itu memang kecenderungan histografi tradisional: menghubungkan seorang tokoh dengan tokoh lain yang lebih besar, untuk legitimasi sebagai pemimpin politik atau agama. Putut Trihusodo dan R. Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus