Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Hujan Api di Cakrawala

Hujan meteor tiba seperti pesta kembang api di angkasa raya. Tapi "atraksi" ini bisa merusak satelit dan sistem komunikasi. Operator satelit dan pilot supaya hati-hati.

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAN ini warga dunia akan menyaksikan fenomena alam yang luar biasa indah menakjubkan. Fenomena itu akan mirip dengan pergelaran kembang api, tapi jauh lebih dahsyat dari kembang api buatan manusia. Soalnya, yang terlihat bak kembang api itu sebenarnya hujan meteor.

Nah, bila Anda melihat ke atas pada tanggal 14-24 November ini, hujan meteor akan tampak bagaikan atraksi di angkasa luas. Puncaknya akan terjadi pada 18 November pukul tiga dini hari. Selama satu jam, paling sedikit 20 ribu meteor mendekati bumi dan terbakar pada ketinggian 60 sampai 100 kilometer dari permukaan tanah. Pada saat itu cakrawala akan terang benderang, bersimbah cahaya.

Sebagai tontonan, boleh jadi hujan meteor yang terjadi setiap 33 tahun sekali itu memang menakjubkan. Tapi, patut juga dicatat, hujan meteor yang berasal dari ekor komet Tempel Tuttle itu tak sepenuhnya aman. Sewaktu bebatuan ruang angkasa itu jatuh di Siberia, 33 tahun silam, terjadi malapetaka. Hutan seluas 40 kilometer persegi terbakar. Letusannya terdengar sampai ke London. Kawah Barringer selebar 900 meter di Arizona juga tercipta oleh meteor yang menembus salah satu bagian perut bumi di Amerika Utara. Hal itu terjadi karena sang meteor tak habis terbakar di lapisan langit ionosfer.

Dr. Mezak Ratag, Kepala Bidang Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung, memperkirakan meteorid yang jatuh kali ini relatif kecil, lebih kurang berdiameter satu sentimeter, atau paling banter sebesar kelereng. Begitu menembus ketinggian 100 kilometer dari bumi, batuan bersuhu 700 derajat Celsius itu langsung terbakar. Jadi, tak sampai menyentuh wilayah sepanjang garis lintang 22 seperti India, Cina, atau Thailand yang menjadi daerah "tujuan" meteor.

Kendati demikian, kehadiran meteor ini perlu dicermati. Sebab, asap yang ditinggalkan meteor akan memadati ruang ionosfer dan membentuk lapisan E-sporadis. Biarpun cuma asap, diperkirakan bisa mengganggu sistem komunikasi, terutama komunikasi berfrekuensi tinggi. Akibatnya, gelombang radio yang dipantulkan bisa tak sampai. Komunikasi pun terganggu.

Akibatnya, "Suara yang dihasilkan komunikasi radio jadi terputus-putus atau hilang sama sekali," kata Mezak. Mungkin juga terjadi gangguan komunikasi yang lain, misalnya kerusakan satelit akibat diterjang meteor. Bila itu terjadi, saluran komunikasi bisa macet. Pemirsa televisi tak bisa melihat gambar dan pengguna radio kehilangan kontak.

Kemungkinan buruk itu, seperti diakui Dodi Amarudin, sudah diantisipasi perusahaannya. Wakil Presiden Direktur PT Telkom ini mengatakan, risiko tertabrak meteor tak bisa dihindari. Namun, ia menjamin, tak ada wilayah yang akan total lost. Artinya, tak semua benda bakal tertabrak meteor secara fatal. Karena itu, satelit B-2R dan B4 milik Telkom telah dibuat sinergi. Artinya, bila B-2R terkena musibah, misalnya rusak lantaran tertabrak meteor, transmisinya langsung beralih ke satelit B4. Demikian sebaliknya.

Namun, disayangkan, informasi tentang ancaman meteor kurang tersebar ke masyarakat. Padahal, menurut Widya Sawitar, staf Planetarium dan Observatorium Jakarta, kehadiran Leonid Shower--julukan yang diberikan para ahli untuk hujan meteor--mendapat tanggapan serius di luar negeri. Sebab, "Ia bisa merusak satelit," ujarnya.

Bahwa informasi bahaya meteor kurang disebarluaskan, itu tak lain karena tidak pula jelas instansi mana yang mesti bertanggung jawab dalam hal itu. Sampai saat ini, masih simpang siur dan tak pasti instansi mana yang harus memberikan semacam peringatan tentang bahaya hujan meteor. Hal itu dibenarkan oleh Bambang Hidayat, ahli astronomi dari Institut Teknologi Bandung. "Belum jelas garis hierarkisnya, siapa yang sebetulnya berhak memberikan informasi," kata Bambang Hidayat, yang juga Kepala Planetarium Boscha, Bandung.

Widya Sawitar hanya mengatakan bahwa kalangan ahli astronomilah yang berperan menginformasikan hal tersebut kepada instansi penting, seperti stasiun komunikasi ABRI atau bandar udara. Sedangkan Suwignyo, Kepala Stasiun Meteorologi Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, mengaku baru mengetahui kehadiran hujan meteor dari media massa. Lukman Hutagalung, Kepala Subdirektorat Penataan Frekuensi, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Departemen Perhubungan RI, mendengar informasi itu dari Kantor Lapan Bandung sepekan sebelum Leonid Shower tiba.

Sebab itu, Lukman mengatakan, instansinya tak punya persiapan khusus dan juga tidak mengantisipasi kemungkinan putusnya komunikasi dari pengontrol bandar udara dengan pilot pesawat. Begitu pula kemungkinan putusnya komunikasi pada transportasi laut. Jadi, bila gejala alam menunjukkan indikasi "darurat", Lukman mengatakan, instansinya akan menunda seluruh rute penerbangan dan perjalanan maritim, sampai kondisi betul-betul aman.

Ma’ruf Samudra, Dwi Wiyana (Jakarta), Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum