VONIS yang satu ini bukan hanya membingungkan pencari keadilan, tetapi juga bikin pusing penegak hukum di lapangan. Sampai pekan ini, Ketua Pengadilan Negeri Jember, Sumiwardani, kesulitan mengeksekusi vonis peninjauan kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) pada perkara tanah seluas 9.910 meter persegi di perumahan BTN Bumi Kaliwates di Jember, Jawa Timur. Soalnya, di atas tanah itu kini sudah berdiri 14 rumah warga perumahan yang dibangun PT Gunung Batu Utama.
Niscaya, PT Gunung Batu Utama dan 14 warga BTN tadi merasa resah lantaran mereka terancam digusur. "Putusan itu sangat tidak adil. Kami sudah membebaskan dan memberi ganti rugi yang pantas atas tanah tersebut sesuai hukum," ujar Direktur PT Gunung Batu Utama, F.X. Andoyo Nusa Putra. Karena itu, Andoyo meminta fatwa kepada MA agar merevisi sikapnya, kendati vonis PK tak bisa diusik lagi. Untungnya, 14 warga tadi ikut mendukung sikap Andoyo.
Mungkinkah MA mengubah pendiriannya? Semula, Gunung Batu membebaskan tanah seluas 10 hektare dari 30 orang penduduk untuk pembangunan perumahan Bumi Kaliwates. Dari 30 warga itu, tinggal Hanulus Toddy Hariyento yang tak kunjung mau melepaskan tiga persil tanahnya yang seluas 9.910 meter persegi. Belakangan, pada Februari 1990, lewat adik kandung Toddy, Chandra Gunawan, dan sudah disetujui Toddy, Gunung Batu menyerahkan cek senilai Rp 163 juta sebagai ganti rugi tanah Toddy.
Namun, sampai Gunung Batu menggugat Toddy ke pengadilan, pengusaha swasta itu tak jua menyerahkan surat-surat tanahnya kepada Gunung Batu. Dari pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi di MA, pada 30 Mei 1995, tindakan Toddy dipersalahkan pengadilan. MA juga memerintahkan Gunung Batu untuk membayar ganti rugi tanah kepada Toddy, dengan menaikkan jumlah ganti rugi menjadi Rp 222.975.000. Untuk itu, Gunung Batu menitipkan uang ganti rugi tersebut ke pengadilan.
Toddy tetap tak terima. Ia mengajukan PK ke MA. Ternyata, vonis kasasi MA yang sudah cukup seimbang itu diubah total oleh majelis PK yang diketuai German Hoediarto, pada 29 April 1998. Menurut majelis PK, pemberian ganti rugi tanah harus langsung kepada pemilik tanah, tak boleh melalui orang lain. Karena itu, MA berpendapat bahwa antara Gunung Batu dan Toddy belum terjadi hubungan hukum. Berdasarkan itu, MA memerintahkan Gunung Batu mengembalikan tanah Toddy dalam keadaan kosong.
Tentu saja vonis itu tak bisa dilaksanakan karena Gunung Batu, yang merasa telah membayar ganti rugi, sudah membangun 14 rumah BTN di atas tanah tersebut. Jadi? "Ya, kami berharap kedua pihak mau berdamai, merundingkan kembali masalah itu," kata hakim Sumiwardani.
Toddy sendiri bersikeras menuntut pelaksanaan vonis PK. Artinya, Gunung Batu harus mengembalikan tanahnya. Atau, kalau mau damai, "Sesuai dengan harga pasaran tanah di situ, bayar saya Rp 2 miliar," ujar Toddy.
Giliran Gunung Batu berang. "Kalau minta Rp 2 miliar, itu pemerasan namanya," ucap Andoyo. Ia juga menawarkan kemungkinan lain, yakni mengganti tanah Toddy dengan tanah berluas sama di lokasi itu. Namun, karena di atas tanah calon pengganti sudah ada bangunannya, Toddy mesti memperhitungkan biaya pembangunannya.
Masih panjang tampaknya masalah tanah Toddy. Yang jelas, Robert Sudjasmin di Jakarta juga tak kunjung bisa memperoleh kembali tanahnya, meski ia telah menempuh upaya hukum ke pengadilan.
Pada Maret 1990, melalui Kantor Lelang Negara, Robert membeli tanah seluas 8.320 meter persegi di Jakarta Utara. Ia juga sudah mengantongi sertifikat tanahnya. Ternyata, tanah itu diklaim PT Summarecon Agung sebagai bagian dari perumahan Kelapa Gading Permai. Separo tanah itu kemudian dijadikan Jalan Kelapa Gading Boulevard.
Sampai ke tingkat kasasi di pengadilan, pada 28 Januari 1997, Robert kalah. Bahkan, MA menganggap tanah milik Robert tak jelas letaknya. Kalau upaya ke pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan nyatanya tak memuaskan, dengan cara apa sengketa tanah mesti diselesaikan?
Hp. S., Ma’ruf Samudra (Jakarta), dan Munib Rofiqi (Jember)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini