JARANG-JARANG acara peresmian sebuah proyek membuat berang presiden. Namun, itulah yang terjadi pada proyek pemipaan gas Grissik-Duri di Muaraenim, Sumatra Selatan. Gara-gara dibelit sengketa ganti rugi tanah, peresmian proyek senilai US$ 246,3 juta yang menurut rencana akan dilakukan secara simbolis di Bina Graha itu, Kamis dua pekan lalu, dibatalkan Presiden B.J. Habibie. Sebagai gantinya, proyek itu hanya diresmikan Gubernur Jambi, Abdurachman.
Dengan pembatalan itu, boleh jadi Presiden Habibie secara tidak langsung ingin menunjukkan keberpihakannya pada upaya penegakan hukum. Lagi pula, sehari sebelumnya, Pengadilan Negeri Sekayu di Sumatra Selatan mengeluarkan putusan provisi--sebelum vonis perkara--yang memerintahkan agar proyek tadi dihentikan sampai kasus penggantian tanah dan perkebunan PT Sentosa Mulia Bahagia diselesaikan.
Proyek pembangunan pipa transmisi gas itu dikelola Pertamina, PT Asamera Oil, dan PT Gulf Resources. Panjangnya 536 kilometer, melalui tiga provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau.
Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan Djoko Darmono, proyek yang dirancang untuk menyalurkan gas ke PT Caltex Pacific Indonesia di Riau itu menjadi pengganti penyaluran minyak mentah, sehingga bisa menghemat devisa Rp 6,3 miliar sehari. Kelak, gas itu akan dialirkan ke Singapura melalui Batam.
Ternyata, proyek bergengsi itu diperkarakan oleh Halim, Direktur PT Sentosa Mulia Bahagia. Ia menuntut ganti rugi sekitar Rp 16 miliar lantaran sekitar 16 ribu pohon karet dan sekitar 4.000 pohon kelapa sawit yang tumbuh di atas lahan perkebunannya, dan dalam kondisi siap panen, rusak terkena proyek tersebut.
PT Gulf Resources, melalui manajer administrasi lapangannya, Fachrul A. Siregar, menyatakan bahwa ganti rugi tanah seluas 57,5 hektare milik PT Sentosa sudah dibayarkan pada 1996 melalui dua karyawan perusahaan itu. "Kenapa sekarang mereka menggugat kami? Kalau dari dulu mereka bilang tanahnya tak bisa diganggu, kami bisa mencari lokasi lain," kata Siregar.
Tapi kuasa hukum Halim, Dahlan Kadir, menganggap kliennya sama sekali belum menerima ganti rugi tanah. "Hanya Direktur PT Sentosa yang berwenang menerima ganti rugi. Itu pun besar ganti ruginya mesti disetujui rapat umum pemegang saham," Dahlan menegaskan.
Yang jelas, Presiden membatalkan peresmiannya. Bahkan Departemen Pertambangan dan Energi kini memerintahkan agar para pengelola proyek segera menyelesaikan masalah ganti rugi tanah PT Sentosa.
Sementara itu, Gubernur Jakarta Sutiyoso kini juga direpotkan oleh setidaknya dua kasus ganti rugi tanah. Yang pertama adalah kasus tanah seluas 24 hektare milik 500 kepala keluarga yang terkena proyek pembangunan jalur kedua Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, sejak 1974.
Dulu, semasa Gubernur Ali Sadikin, selain warga yang tanahnya terkena proyek itu akan diberi ganti rugi sebesar Rp 30 ribu per meter persegi, mereka akan diberi lokasi penampungan. Ternyata kini, setelah 20 tahun, urusannya jadi semakin ruwet.
Sebanyak 43 kepala keluarga akhirnya memerkarakannya ke pengadilan. Melalui vonis kasasi dari Mahkamah Agung, pada Januari silam, warga dimenangkan dan Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta diharuskan membayar ganti rugi sekitar Rp 21 miliar kepada 43 penggugat. Namun, Pemda mengajukan peninjauan kembali.
Kasus kedua menyangkut tanah seluas 1,4 hektare milik Said di Jakarta Utara. Pada 1983, PT Pembangunan Jaya, yang mengambil alih tanah itu, sepakat memberikan ganti rugi sebesar Rp 2,24 miliar kepada Said. Ternyata, sampai sekarang, persoalannya belum beres dan berlika-liku. Malah Said sempat dianggap berstatus sebagai penggarap tanah belaka, bukan pemilik.
Untuk kasus tanah Said, memang Gubernur Sutiyoso sudah meminta PT Pembangunan Jaya segera mengklarifikasinya. "Kalau persoalannya sudah jelas, tak ada alasan bagi Pembangunan Jaya untuk tidak membayarnya," ujar Sutiyoso di sela-sela acara sidang MPR kepada Arif A. Kuswardono dari TEMPO.
Namun, untuk kasus tanah warga Daan Mogot, Sutiyoso mengaku kesulitan. "Kasus lama seperti itu kan banyak sekali. Lagi pula, saya tidak mengerti bagaimana membayar ganti rugi Rp 21 miliar itu. Di zaman begini, mau cari dari mana dana sebesar itu?" Sutiyoso balik bertanya.
Hp. S., I G.G. Maha S. Adi, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini