HAMPIR segala pekerjaan kasar pernah dilakoni Agus Gunarso. Sepanjang hidupnya yang susah, ia menjadi tukang batu, sopir angkutan kota, berjualan roti, sampai mencuci mobil. Namun, siapa sangka, pria berusia 44 tahun itu belum lama ini duduk bersama para profesor sedunia untuk berebut penghargaan bergengsi di bidang teknologi.
Ternyata, di kompetisi World Technology Award 2001, awal Juli 2001, di Museum Imperial College London, Inggris, Agus meraih penghargaan tertinggi untuk teknologi ber-kategori social entrepreneurship. Rupanya, septik tank gotong-royong karya Agus dinilai para juri sebagai solusi termurah dan ramah lingkungan untuk menanggulangi limbah di kota besar.
Anehnya, Agus menolak tawaran pemerintah Swedia untuk mematenkan teknologi septik tank gotong royong. Padahal, bila teknologi itu dipatenkan, Agus bisa memanen royalti begitu karyanya diterapkan orang lain di negara mana pun. Agus lebih memilih menyebarluaskan teknologi septik tank itu ke masyarakat Indonesia secara gratis.
Apa mau dikata, hilanglah kesempatan penting Agus menjadi jutawan. Padahal, karyawan Dinas Kebersihan di Kota Malang, Jawa Timur, itu selama hayatnya berjuang keras menafkahi istri dan tiga anaknya.
Lembaran hidup Agus memang penuh duka. Sejak lulus dari sekolah menengah ekonomi atas pada tahun 1975, ia menjadi kuli batu di Proyek Daerah Aliran Sungai Brantas. Enam tahun kemudian, ia kuliah pada sore hari di Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka, Malang. Untuk membiayai kuliah, ia mencuci mobil orang Cina. Sepulang kuliah, ia berjualan roti.
Agus tinggal di kawasan kumuh di pinggiran Sungai Brantas. Sebagai ketua rukun tetangga, ia merasa prihatin melihat kebiasaan warganya membuang hajat. Mereka akan langsung melepaskan tinja ke sungai terbesar di Malang itu. Mungkin wajar. Soalnya, kakus yang memenuhi syarat tak mungkin dibangun, karena tak murah.
Itulah yang membuat Agus segera merancang septik tank gotong-royong. Namun, rancangan itu baru terwujud konkret setelah ia rampung kuliah, tahun 1986.
Hasilnya sederhana. Kakus di tiap rumah dipasangi pipa yang dihubungkan ke pipa induk. Jaringan pipa berbentuk tulang ikan, yang menghubungkan 60 rumah dan berujung ke tiga septik tank dengan panjang 4-8 meter.
Tangki AG—singkatan dari Agus Gunarso—pertama berfungsi sebagai bak pengendap cairan padat. Dari tangki itu, air dialirkan ke bak kedua sebagai penyaring. Dari sini air kemudian digiring ke bak terakhir.
Di bak terakhir, disebar ikan dan ditanam eceng gondok. Perlakuan ini ternyata membuat air di kolam penampungan itu jernih dan tak berbau sehingga bisa langsung dibuang ke sungai. Air ini pun terbukti memenuhi standar mutu nasional.
Ternyata, dengan karya itu, Agus memanen pelbagai berkah. Ia pernah memperoleh Kalpataru, tahun 1997, sampai-sampai Menteri Lingkungan Hidup, saat itu Sarwono Kusumaatmaja, berseloroh mem-beri nama Agus TAI. Dan, yang pa-ling berarti, Agus diangkat sebagai pegawai negeri di Pemerintah Daerah Kota Madya Malang. Ia juga diberi satu sepeda motor.
Di tingkat internasional, Agus memperoleh penghargaan Asian Innovation Award dari majalah Far Eastern Economic Review serta penghargaan Heroes of Today dari majalah Readers Digest. Dan belakangan, ya, penghargaan dari Word Technology Award 2001.
Selain septik tank, Agus juga menemukan cairan bio-fund pada tahun 2000. Cairan dari rempah-rempah ini menghasilkan mikroba yang mempercepat pembuatan kompos dan menghilangkan aroma tak sedap pada kompos.
Tak lama setelah meraih World Techno-logy Award 2001, Agus memperoleh tawaran menarik dari Jepang. Rupanya, Jepang mau membeli tinja dari proyek septik tank gotong-royong untuk pupuk. Satu ton tinja diminta setiap bulan, dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Tapi, lagi-lagi Agus menolak. Soalnya, limbah tinja dari proyek itu sekarang baru sebanyak dua kuintal. Itu pun sudah digunakan sebagai kompos di beberapa kampus di Malang.
Kini, sistem tangki AG sudah diterapkan di empat kelurahan di Malang. Rumah sakit di Malang dan Jombang juga ada yang mengadopsinya. Agaknya, septik tank itu cocok untuk kawasan padat yang tak berlahan lebih.
Problem nyatanya sekarang di lapangan, konstruksi tangki AG masih dirasa mahal karena membutuhkan biaya sekitar Rp 30 juta. Selain itu, jaringan pipanya rentan mampet. Mungkin itu lantaran kemiringan pipa harus lebih dari 20 derajat dan tak boleh ada limbah padat serta plastik.
Johar Syamsi, ahli lingkungan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, juga berharap agar teknologi tangki AG bisa disempurnakan. Misalnya, dilengkapi dengan alat untuk memonitor hasil pengolahan tinja yang lebih akurat dan kontinu.
Agung Rulianto, Isra Ramli (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini