Ada "kemeriahan" di Kantor Polisi Khusus Kereta Api Kompleks Daop V Purwokerto. Belasan gitar, ketipung, ecek-ecek, dan beberapa alat musik berbagai jenis buatan sendiri memenuhi ruangan kantor. Ada juga beberapa ayam bangkok dan burung merpati, bahkan cincin emas dan telepon seluler.
Ini bukan perhelatan menyambut 17 Agustus. Barang-barang itu adalah pampasan penumpang gelap kereta api. Alat-alat musiknya milik para pengamen yang menumpang cari uang di kereta api tapi ogah beli karcis. Sedangkan barang-barang lainnya merupakan alat bayar para penumpang tak berkarcis yang tidak mampu membayar denda saat ketahuan oleh tim penyapu. "Bila para pengamen ingin mengambil kembali alat musik yang kita sita, mereka harus menebus denda suplesi yang ditentukan," kata Sujono, Komandan Peleton Polsuska Daop V Purwokerto.
Memang, sejak April 2001 lalu, Daerah Operasi V Purwokerto melakukan sweeping terhadap penumpang gelap untuk kereta api kelas ekonomi hingga eksekutif yang melewati kota itu. Menurut Supriyadi, Kepala Humas Daop V Purwokerto, operasi itu dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan bagi para pengguna jasa kereta api sekaligus untuk menertibkan para penumpang. Ya, supaya para penumpang tidak selalu terganggu oleh pedagang asongan, pengamen, dan pengemis.
Hasilnya, tim penyapu berhasil menjaring tidak kurang dari 1.400 penumpang liar. Daop Purwokerto juga mendapat uang Rp 71 juta, hasil uang suplesi atau denda kereta api. Dan apabila ada penumpang yang tak mampu membayar denda, mereka meninggalkan beraneka barang, mulai cincin emas hingga burung merpati dan ayam bangkok. Sedangkan para pengamen, pengemis, dan pedagang asongan menyerahkan surat pernyataan yang berisi janji tidak akan beroperasi di atas kereta api lagi.
Usaha yang dilakukan oleh tim penyapu—terdiri dari 90 orang, termasuk dari anggota TNI dan Polri—memang terhitung sukses. Mereka melakukan operasi dua kali seminggu secara tegas. Bila ada penumpang yang main umpet-umpetan di kamar kecil atau berpindah-pindah tempat duduk, para petugas dengan sabar menunggu para penumpang "belut" itu. Bila ada penumpang yang tak bisa bayar denda, ya, diturunkan di stasiun terdekat.
Nah, yang sulit, bila ada penumpang anggota TNI dan Polri yang tidak berkarcis. Mereka memang tidak lari ke sana kemari, tapi malah "merayu" petugas sweeping agar tidak usah bayar dengan alasan pendapatan yang pas-pasan. "Ini yang repot. Makanya, kami membawa anggota TNI dan Polri untuk menangani mereka," kata Supriyadi. Jalan tengahnya: mereka membayar suplesi dengan cara urunan berdua.
Memang, setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, dan kompromi adalah cara yang terbaik. Kompromi gaya penumpang gelap kereta api ini layak ditiru karena tetap ada sikap tegas dan mematuhi aturan.
Bina Bektiati, Syaiful Amin, Wahyu Dhyatmika (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini