Penyusunan Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi sedang terhadang perdebatan sengit. Masalahnya, terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam merancang cyberlaw ini. Yang pertama datang dari Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKHT FHUI). Gagasan yang didukung Departemen Perindustrian dan Perdagangan ini melihat kegiatan dunia maya sepatutnya diatur melalui ketentuan yang bersifat khusus dan spesifik. Misalkan undang-undang yang khusus mengatur transaksi elektronik dengan menggunakan tanda tangan digital. "Bila dibuat umum, cyberlaw akan mengesampingkan semua peraturan yang sudah ada," kata Edmond Makarim, Ketua Harian LKHT FHUI.
Sebaliknya, tim dari Universitas Padjadjaran, Bandung, berpendapat bahwa Indonesia harus membuat cyberlaw yang umum atau mencakup keseluruhan. Alasan mereka, ketimbang mengamandemen sekian banyak undang-undang, lebih baik dibuat satu peraturan khusus dan sifatnya komprehensif.
Naskah akademik Unpad ini disusun atas permintaan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan, bersama Kelompok Kerja Perundang-undangan Tim Koordinator Telematika Indonesia (TKTI).
Perbedaan kedua kubu ini membuat penyusunan draf RUU itu belum dapat dituntaskan. Padahal, kebutuhan akan cyberlaw sudah mendesak, karena beberapa kasus pelanggaran hukum dunia maya ternyata tak dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum konvensional. Contoh yang terkenal adalah kesulitan penegak hukum di Filipina untuk menindak pembuat virus "I Love You", yang menimbulkan kerugian besar bagi jutaan pemakai komputer di dunia.
Untuk mengatasi kebuntuan yang berbahaya ini, pemerintah sudah mengeluarkan Keppres No. 50 Tahun 2000. Isinya mengamanatkan kepada TKTI untuk melakukan koordinasi dalam upaya pengembangan telematika di Indonesia, termasuk perangkat hukumnya.
Menurut Ketua Tim Cyberlaw Unpad, Ahmad Ramli, draf RUU, yang dikerjakan bersama tim peneliti, diharapkan pasal-pasalnya selesai akhir tahun ini. Cyberlaw ini ditujukan untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat serta mencegah penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi. Selain itu, undang-undang ini dirancang agar tidak berekses memasung kreativitas para pendekar dunia maya.
J.B. Kristiadi, sekretaris TKTI, menyatakan RUU ini diharapkan akan menutup kelemahan peraturan yang ada seperti Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Masalahnya, masih banyak hal yang belum terangkum dalam undang-undang ini. Misalnya, soal hubungan antarpemerintah (G2G), atau antara pemerintah dan konsumen (G2C) tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pengaturan hak dan kewajiban masing-masing. Kristiadi berharap, dengan hadirnya cyberlaw, akan ada alat pengendali dan pengawasan bagi pemerintah dalam upaya melindungi masyarakat, baik sebagai operator maupun sebagai pengguna jasa telematika.
Sementara itu, sampai cyberlaw diundangkan, hukum rimbalah yang berlaku di dunia maya. Setidaknya, di cyberjungle.
Agung Rulianto, Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini