Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair), Ernawaty, mengatakan kebijakan soal larangan promosi susu formula masih harus diawasi secara ketat. “Tantangan dalam implementasi masih ada,” ucapnya melalui keterangan tertulis, Jumat, 9 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, regulator belakangan melarang iklan untuk pemasaran susu formula iklan. Pasal 33 aturan baru ini berbunyi “Produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu (ASI) lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif.” Produsen juga dilarang memberikan diskon atau potongan harga kepada konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erna, sapaan akrab Ernawaty, optimistis penerbitan PP Nomor 28 Tahun 2024 bisa mengurangi dominasi susu formula di pasar yang dianggap mengganggu keputusan para ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya. Untuk kebutuhan pemasaran selama ini, kata Erna, produsen susu formula cenderung memberikan persepsi bahwa susu formula adalah alternatif setara ASI.
Masalahnya, menurut dia, produsen susu formula masih mencari cara lain untuk mempromosikan produknya secara tidak langsung, misalnya lewat pemengaruh maupun lewat aplikasi digital. “Pengawasan perlu diperketat. Pemerintah harus siap menghadapi kemungkinan pelanggaran kebijakan ini,” tutur dia,
Menurut Erna, larangan itu cocok untuk mendukung program pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan bayi. Kebijakan anyar ini juga sudah disesuaikan dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sebelumnya menerbitkan kode internasional ihwal larangan promosi produk pengganti ASI, termasuk susu formula.
Dia juga menekankan soal pentingnya edukasi terhadap masyarakat mengenai pemberian ASI eksklusif. “Tanpa edukasi yang memadai, kebijakan ini mungkin tidak akan mencapai tujuannya secara maksimal,” kata dia.
Erna merekomendasikan pengembangan program yang mendukung ibu menyusui. Bentuknya bisa fisik dan non fisik, contohnya berupa penyediaan fasilitas menyusui di tempat kerja dan ruang publik, atau bisa juga berupa perluasan informasi terkait manfaat ASI.