Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stephen Hawking mematahkan semua prediksi tentang berapa lama dia dapat bertahan hidup. Selama 55 tahun, ahli fisika asal Inggris itu bergulat dengan penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS), yang membuat sekujur tubuhnya lumpuh. Ilmuwan yang dikenal humoris itu bahkan harus bergantung pada mesin -untuk membantunya bernapas dan berbicara.
Hawking menjadi orang yang paling lama bertahan menghadapi penyakit degeneratif saraf itu. Setelah divonis men-derita ALS pada usia 21 tahun, Hawking diprediksi bertahan hidup hanya dua tahun. Ternyata dia bisa terus meneliti dan mengajar meski fungsi tubuhnya terus merosot. A Brief History of Time, buku yang ditulisnya selama empat tahun dan terbit pada 1988, menjadi bacaan populer dan salah satu referensi utama dalam studi fisika dan jagat raya. Hawking meninggal pada 14 Maret 2018 pada usia 76 tahun.
Selama ini ALS dikenali sebagai penyakit kelumpuhan akibat gangguan motorik pada otak dan saraf tulang belakang. Penyebab penyakit ini belum diketahui. Faktor genetika, paparan lingkungan, atau pola hidup termasuk pemicu yang dipertimbangkan. Yang terbaru, hasil studi tim peneliti gabungan menemukan fakta lain. “Ada hubungan infeksi mikroba di usus dengan ALS,” ujar Taruna Ikrar, peneliti International School of Biomedical Sciences, Pacific Health Sciences University, Amerika Serikat.
Riset itu berawal ketika Taruna Ikrar dan para koleganya menyadari ada yang menarik saat melayani sejumlah pasien ALS di klinik. Para pasien ternyata menunjukkan gejala yang mirip, berupa gangguan pencernaan. Para dokter pun melanjutkan pemeriksaan tinja dan darah lengkap. “Ada penanda yang menunjukkan para pasien mengalami infeksi,” kata Ikrar dalam surat elektronik kepada Tempo, Kamis, 2 Mei lalu.
Penelitian ini merupakan kolaborasi Ikrar dengan David A. Steenblock dari Steenblock Research Institute serta Andrew S. San Antonio, Elfi Wardaningsih, dan Masoud J. Azizi dari Pacific Health Sciences University (PHSU). Hasil riset itu dipublikasikan dalam International Journal of Neurodegenerative Disorders pada September tahun lalu.
Mereka menghabiskan waktu sekitar lima tahun untuk merampungkan studi dan uji klinis tersebut. Faktor pasien dan perjalanan penyakit berpengaruh besar pada penelitian mereka. ALS merupakan penyakit kronis yang memakan waktu lama. “Salah satu parameter dari pasien adalah five year survival time,” ucap Ikrar, yang juga menjabat Dekan International School of Biomedical Sciences di PHSU.
Studi ini melibatkan 82 orang berusia di atas 18 tahun, 54 di antaranya pasien yang didiagnosis terkena ALS. Laporan studi itu menyebutkan para penderita ALS terindikasi memiliki konsentrasi spesies bakteri patogen yang lebih tinggi di dalam usus mereka. “Yang paling sering dan tinggi insidennya adalah infeksi bakteri Pseudomonas dan Salmonella,” kata Ikrar.
Pada populasi manusia yang sehat, prevalensi bakteri patogen Pseudomonas aeruginosa dan Salmonella spp. dalam feses hanya 8,2 persen dan 2-3 persen. Sedangkan pada populasi pasien ALS dalam studi ini, prevalensinya meningkat hingga 83 persen dan 66 persen. Para peneliti menyimpulkan ada peningkatan kerentanan pada usus pasien ALS dalam menyimpan bakteri.
Selain pada figur Stephen Hawking, penyakit ini dikenal sebagai penyakit Lou Gehrig—merujuk pada nama pemain bisbol populer di Amerika. Kelumpuhan memaksa Gehrig pensiun bermain pada 1939 di usia 36 tahun. Fungsi tubuhnya terus merosot dan dia meninggal dua tahun kemudian. ALS akan terus menggerogoti tubuh penderitanya. Dampaknya adalah lumpuhnya fungsi tubuh yang berujung pada kematian, sebagian besar karena kegagalan sistem pernapasan, dalam tiga-lima tahun sejak penyakit muncul.
Premana W. Premadi, astronom Institut Teknologi Bandung yang didiagnosis menderita ALS sejak 2010, mengatakan kelumpuhan berlangsung bertahap tapi progresif alias terus berkembang. Kondisi ini berbeda dengan stroke, yang datang tiba-tiba. “Butuh waktu panjang untuk mengenali penyakit ini,” ujar Premana, Kamis, 2 Mei lalu.
Penyakit ini sangat sulit didiagnosis karena kemunculannya yang perlahan. Lokasi kelumpuhan pun berbeda-beda. Akibatnya, banyak pasien bertemu dengan beragam dokter sebelum akhirnya mendapat diagnosis kuat terkena ALS. Premana, misalnya, pertama kali berkonsultasi dengan spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan karena mengalami masalah dalam berbicara. “Yang kena duluan ternyata pita suara saya,” kata Premana, yang kini bergantung pada kruk atau kursi roda untuk beraktivitas.
Infeksi Usus Berujung Lumpuh/Tempo
Belum ada cara atau metode untuk mengalahkan ALS. Sejauh ini hanya ada dua obat, yaitu riluzole dan edaravone, yang disetujui Badan Obat dan Pangan Amerika Serikat (FDA) untuk pengobatan ALS. Namun obat-obat itu hanya memperlambat laju perkembangan ALS. “Dalam kasus pasien dengan laju ALS cepat, obat itu hanya menambah harapan hidup sekitar tiga bulan,” tutur Premana.
Dia mengatakan kian banyak perhatian publik dan dunia medis dalam penanganan ALS. Bulan Mei juga ditetapkan sebagai Bulan Kesadaran ALS. Meski tak bisa disembuhkan, menurut Premana, pasien ALS tak boleh menyerah begitu saja. “Penyakit ALS memang berdampak pada saraf motorik dan otot, tapi bukan pada kemampuan kita untuk berpikir,” kata Premana, yang masih aktif mengajar di Departemen Astronomi ITB.
Keberadaan lembaga seperti Yayasan ALS Indonesia dapat membantu para pasien untuk berbagi cerita dan pengalaman menghadapi penyakit tersebut. Sejauh ini, ada sekitar 40 pasien ALS yang masih bertahan hidup tercatat dalam daftar Yayasan dengan rata-rata usia 60 tahun. “Setiap tahun ada tujuh-delapan pasien baru mendaftar, tapi laju kematian pasien juga tinggi,” ujar Premana. “Ada yang didiagnosis ALS pada usia 20 tahun dan prosesnya berlangsung cepat. Tahun lalu, 13 kawan kami meninggal.”
Hingga saat ini, belum ada satu pun ilmuwan yang mampu menjawab mengapa Stephen Hawking bisa bertahan hidup begitu lama. Salah satu dugaan pasien ALS bisa bertahan adalah faktor genetika. Hasil studi yang dilakukan Anthony Geraci, Direktur Neuromuscular Center di Neuroscience Institute, Amerika, menunjukkan ada 20 gen berbeda dari semua penderita ALS. Di situs Live Science, ahli ALS itu menyebut ada gen yang kuat dan lemah. “Itu mempengaruhi penderitanya,” katanya.
Menurut Premana, terbuka kemungkinan penyakit ALS diawali oleh inflamasi akibat mikroba seperti yang disebutkan dalam riset Taruna Ikrar. Meski demikian, masih diperlukan riset lebih intensif untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam dan lengkap. Makin banyak riset dilakukan, maka peta informasi tentang ALS akan makin jelas. Hal ini bakal berdampak besar pada penanganan penyakit tersebut. “Tentu akan sangat membantu para pasien ALS,” ujar Ketua Yayasan ALS Indonesia itu.
Menurut Taruna Ikrar, hasil riset tentang korelasi infeksi usus dan ALS dapat berimplikasi pada manajemen pengobatan penyakit tersebut. Selama ini, penanganan ALS lebih difokuskan pada pengobatan gejala yang muncul dan dilanjutkan dengan pencegahan proses degeneratif. “Penanganan terbaru harus diberikan antibakteri atau antifungi, tergantung apa yang mencetuskannya,” katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo