Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketika berada di ruang terbuka dan menatap ke atas, Anda akan menatap langit yang berwarna biru. Memang tak selalu biru, tapi langit lebih sering berwarna biru. Begitu pula lautan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Langit, dilansir dari laman McGill University, Jumat, 31 Januari 2020, berwarna biru karena fenomena 'hamburan Raleigh'. Fenomena ini mengacu pada hamburan radiasi elektromagnetik, yang merupakan bentuk cahaya, oleh partikel dengan panjang gelombang yang lebih kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Cahaya matahari dihamburkan oleh partikel-partikel atmosfer. Meski hanya sekitar sepertiga cahaya yang dihamburkan, panjang gelombang cahaya terkecil cenderung lebih mudah menyebar.
Panjang gelombang yang lebih pendek ini sesuai dengan warna biru. Karena inilah ketika melihat langit, kita melihatnya berwarna biru.
Lalu, mengapa ketika subuh, sore, dan malam warna langit tidak lagi biru? Saat matahari terbit dan terbenam, sudut masuk sinar matahari berubah secara signifikan.
Sebagian besar panjang gelombang cahaya biru tersebar bahkan sebelum mencapai atmosfer. Jadilah kita melihat lebih banyak berwarna oranye dan merah di langit.
Bagaimana dengan lautan? Mengapa ia terlihat berwarna biru? Air lautan sebenarnya terlihat berwarna biru karena penyerapan cahaya merah.
Ketika cahaya mengenai air, molekul air akan menyerap beberapa foton dari cahaya. Molekul-molekul air lautan ini menyerap semua panjang gelombang merah dari cahaya, lalu memantulkan warna biru.
Perairan yang lebih dangkal kurang menyerap foton, sehingga refleksinya juga kurang. Warnanya pun terlihat biru cerah.
Lain halnya dengan gelas minum. Air di dalam gelas minum tidak akan terlihat berwarna biru. Ini karena tidak ada cukup air untuk menyerap foton.
AMELIA RAHIMA SARI