Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH perusahaan rintisan berbasis teknologi di Sukabumi, Jawa Barat, mengembangkan inovasi alas kaki berkonsep ramah lingkungan. Sepatu dan sandalnya dibuat dari 100 persen bahan alam. "Ini sepatu buatan Indonesia yang semuanya memakai bahan lokal," ujar inovatornya, David Chrisnaldi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepatu bikinan David ini juga dijadwalkan mengikuti World Fashion Week 2021 di Paris, Prancis. "Seleksinya Mei dan penyelenggaraannya Oktober nanti," kata Davis. Dia dan tim kerjanya menyiapkan dua pasang sepatu bertema khusus untuk dikirimkan ke panitia. Bermodel sepatu kets selop atau slip on sneakers, sepatu itu bertema Chlorophyll karena diwarnai dengan ekstrak daun kelor (Moringa oleifera). Adapun warna sepatu bertema Spices berasal dari ekstrak bumbu dapur, yaitu kunyit dan cabai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panitia acara dalam suratnya menyatakan sneakers yang dikirim harus dibuat dari 100 persen kain organik, biotekstil, atau berbahan daur ulang. Nantinya karya yang lolos akan dipamerkan dan dilelang untuk pemberdayaan wanita dan pemuda di Afrika, sesuai dengan tema tahun ini: "Give Your Light to the World-Africa is NOW".
Sepatu berbahan alam karya David ini merupakan hasil pengembangan sekaligus penyempurnaan dari sepatu buatannya yang mengandung 93 persen bahan alam. Sol luar sepatu memakai 14 komponen dari tanaman seperti karet, biosilika dari limbah sekam padi, dan minyak kelapa sawit. Bagian atas sepatu yang menutup kaki memakai bahan katun, serat bambu, dan rami. Tali dan benangnya menggunakan serat kenaf(Hibiscus cannabinus).
David memberi label Node pada sepatu yang diluncurkan pada medio November 2020 itu. Nama itu merupakan akronim dari "No Deforestation". Harapannya, produk itu bisa mengurangi jumlah penebangan hutan untuk perluasan lahan perkebunan atau pertanian karena hasil tanamannya diserap menjadi bahan sepatu. Adapun sandal berbahan alam dibuat pertama kali pada 2019.
Capaian sepatu dari bahan tanaman itu buah hasil riset dan uji coba selama 3,5 tahun bersama Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Kementerian Pertanian. Utamanya hal ini terkait dengan sol luar sepatu yang terbuat dari karet dengan campuran biosilika serta belasan komponen bahan tanaman lainnya. Penyesuaian bahan dan karakteristiknya ibarat membuat kue. "Bagaimana membuat komposisi makanan tapi yang fungsional seperti sepatu," tutur David.
David awalnya membangun pabrik karet berskala kecil, PT Tri Angkasa Lestari Utama, pada 2008 di Sukabumi. Dia belajar sendiri dari awal soal bahan dan sifat tanaman hingga uji coba reaksinya ketika dicampur karet. Dengan cara lama, industri komposit terbiasa dengan bahan kimia pendukung yang lebih tahan minyak daripada air. "Sementara kalau bahan alam sebaliknya. Itu bikin pusing mengikat unsurnya pakai apa," ucapnya.
Dia kepincut oleh biosilika dari sekam padi setelah mendengarkan paparan Hoerudin, peneliti ahli madya di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Saat itu David ikut acara lembaga itu di sebuah mal di Bogor, Jawa Barat, pada 2017. "Saya pikir biosilika ini bisa juga untuk karet," katanya.
Gagasannya kemudian berkembang ke sepatu ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan pemakaian unsur tanaman yang tinggi. Acuannya standar Eropa EN 16785 yang mematok 90 persen bahan alami untuk sebuah produk. "Dengan biosilika persyaratan itu bisa dicapai," ujarnya.
Ada beberapa keunggulan sepatu dari bahan tanaman. Di antaranya solnya yang membal dapat mencengkeram kuat di lantai basah dan berminyak, tahan tegangan tinggi listrik, nyaman dipakai, dan bagian dalam sepatunya diberi bahan antibakteri untuk menumpas bau. Hanya, karena berasal dari bahan alam, masa pakai sepatu itu terbatas tiga tahun. "Sol setelah lima tahun akan sobek," ujar David. Namun limbah sepatu itu bisa ditanam pemakai untuk menyuburkan tanah.
Hoerudin mengatakan sepatu ini dapat terdekomposisi atau terurai dalam tanah. Kandungan biosilika dari limbah sepatu itu dapat berfungsi sebagai zat hara esensial, khususnya untuk mendukung pertumbuhan dan produksi aneka tanaman yang membutuhkan silika, seperti padi, jagung, dan tebu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo