Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sepekan Herna P. Danuningrat puyeng tujuh keliling. Kabar buruk soal pembatalan kunjungan wisatawan ke Indonesia saban hari mampir ke telinganya. ”Ancaman ini berdampak negatif, khususnya bagi pariwisata Indonesia,” kata Ketua Umum Dewan Perwakilan Daerah Asosiasi Perjalanan Wisata dan Travel Indonesia (ASITA) DKI Jakarta ini.
Yang dimaksudnya tak lain adalah larangan bagi maskapai penerbangan Indonesia untuk terbang di langit Eropa yang dikeluarkan Uni Eropa, akhir Juni lalu. Larangan ini, sialnya, malah tidak akan memukul dunia penerbangan Indonesia karena kini tak satu pun pesawat Indonesia yang terbang ke sana. Daftar hitam itu justru bakal menjadi momok bagi jagat wisata Indonesia.
Panorama Tours and Travel termasuk satu dari 1.047 biro perjalanan anggota ASITA yang sedang ketiban sial itu. Menurut Presiden Direktur Panorama, Dharma Tirtawisata, sekitar 1.000 orang wisatawan asal Eropa membatalkan paket Hoping Island, yaitu paket wisata kombinasi ke beberapa daerah, sepanjang Juli ini yang telah dipesan. Ini jelas pukulan serius buat para pebisnis biro perjalanan. ”Larangan ini bisa mengurangi 40 persen wisatawan Eropa ke Indonesia,” katanya.
Bagi negara, dampaknya pun cukup signifikan. Pemasukan dari sektor pariwisata sedikit-banyak bakal tergerus. Lihat saja kalkulasi Dharma. Jika setiap tahun ada 700–800 ribu wisatawan Eropa berkunjung ke Indonesia dengan masa tinggal rata-rata satu sampai dua minggu dan membelanjakan duit sekitar US$ 1.500 per minggu, berarti potensi kerugian yang diderita mencapai Rp 4,3 triliun setahun.
Celakanya, dampak kerugian ini bisa jadi belum akan tumpas tahun depan. Sebab, kata Herna, jika larangan itu tidak segera dicabut, besar kemungkinan Indonesia tak akan masuk katalog pariwisata internasional yang akan terbit September mendatang. Padahal, saat itu Indonesia akan punya ”hajatan besar” pencanangan program pariwisata ”Visit Indonesia Year 2008”.
Lebih mengerikan lagi jika larangan Uni Eropa menjadi acuan negara lain. Bisa-bisa, sejumlah biro perjalanan domestik terpaksa gulung tikar. Tanda-tanda ke arah itu sudah ada. Selang sehari setelah larangan diumumkan, sebuah biro perjalanan asal Jepang membatalkan kunjungan 30–40 orang wisatawannya ke Indonesia. Padahal, Negeri Sakura terbilang sebagai penyumbang turis terbesar buat Indonesia.
Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Badung, Bali, Fery Markus, hingga pekan lalu memang belum ada pembatalan kedatangan turis. Namun, para turis Eropa sudah mulai mempertanyakan soal keamanan penerbangan jika mereka bepergian dari Pulau Dewata ke daerah lain atau juga dari satu kota ke kota lain di Indonesia.
Bahkan Panorama Tours sudah mengalami kejadian aneh. Mereka terpaksa memberangkatkan rombongan turis asal Belanda dari Jakarta ke Padang, Sumatera Barat, menggunakan maskapai internasional memutar dulu lewat Kuala Lumpur, Malaysia. ”Rugi, sih,” kata Dharma. Karena itu, ”Ke depan, lebih baik batal.”
Sejumlah perusahaan internasional pun sudah membuat ancang-ancang untuk tidak menggunakan maskapai lokal. Perwakilan perusahaan seluler Sony Ericsson, misalnya, memutuskan akan meninggalkan moda transportasi udara untuk perjalanan para pejabatnya dari kantor pusat Swedia ke seluruh penjuru nusantara. ”Transportasi laut dan darat bisa jadi pilihan, walau perjalanan lebih lama,” kata Vice President Communications Ericsson Indonesia, Dewi Widiyanti.
Jika begitu, industri penerbangan nasional jelas bakal terpukul. Namun, Direktur Operasi Garuda Indonesia, Ari Sapari, tak sependapat. Menurut dia, hingga pekan lalu tak ada penurunan penumpang dan tidak ada pembatalan pembelian tiket pesawat Garuda secara besar-besaran. ”Dampaknya ke image penerbangan nasional saja,” katanya.
Kerugian materi mungkin memang belum terasa, Tapi, kata Rusdi Kirana, Ketua Umum Asosiasi Penerbangan Sipil Indonesia (INACA), reputasi Indonesia dipertaruhkan dengan keluarnya keputusan Uni Eropa itu. ”Kita sangat rugi,” ujarnya.
DA Candraningrum, Cheta Nilawaty, Y. Tomi Aryanto, Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo