Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terik mentari tidak menyurutkan semangat Nadirman Haska. Ia terus berjalan mengantar tamunya. Mereka menyusuri kebun percobaan tanaman jarak yang ada di kawasan Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi (Puspitek) Serpong, Tangerang. Area seluas 25 hektare di barat Jakarta ini memang milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Ibarat ”sales” yang sedang menjajak-an dagangannya, Kepala Balai Peng-kajian Bioteknologi BPPT yang berpredikat doktor ini terus nyerocos tentang keunggulan minyak jarak. Sambil berjalan, ia menenteng bibit jarak setinggi- 20 sentimeter. Dia menunjukkan 100 ribu bibit yang tersusun rapi di kebun se-luas setengah lapangan sepak bola. Sebagian di antara bibit seharga Rp 1.000 per batang itu digeletakkan di luar kebun yang tertutup kawat.
Bibit di dalam kantong plastik berwarna hitam itu sudah dipesan sejumlah- per-usahaan. ”Bahkan ada yang indent bi-bit untuk tiga bulan ke depan,” kata ahli peneliti utama BPPT itu, tiga pekan lalu. Kepada tamunya yang berasal- dari pe-ngurus Organisasi Angkutan Jalan Raya (Organda), pengusaha, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan wartawan, Nadir-man menyebutkan nama pembeli dari Jawa hingga Kalimantan.
Banyaknya permintaan bibit jarak membuat pimpinan BPPT menyulap la-han- kosong di sepanjang jalan kawasan Puspitek menjadi kebun jarak. ”Jarak pagar kini memang ngetop seperti Inul Daratista,” kata Soni Silawan, peneliti di BPPT. Para peneliti juga melakukan uji coba guna mendapatkan bibit unggul- melalui teknologi penembakan sinar gamma dan DNA.
Memang, kepopuleran jarak pagar (Jatropha curcas) menular dari mulut ke mulut. Akhir tahun lalu, situs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dibanjiri ratusan netter yang bertanya tentang biji jarak dan cara pemrosesannya. Ada pula yang menawarkan kerja sama di bidang minyak nabati ini. Misal-nya seorang warga yang menawarkan lahannya di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, untuk ditanami.
Selain itu, beberapa lembaga juga berdiri seperti Asosiasi Kelompok Tani Jarak Indonesia, Bioindustry, dan Insti-tut Biodiesel Indonesia. Beberapa artis- sinetron pun ada yang banting setir terjun ke bisnis ini. Bahkan kini juga marak kursus menanam jarak dan meng-olahnya sebagai biodiesel. Harga kursus-nya hingga Rp 3 juta untuk lima hari pertemuan.
Ketidaktahuan warga bisa dimengerti-. Maklum, selama ini tanaman jarak, yang bisa tumbuh di seluruh daerah di Indonesia, kurang diperhatikan. ”Kami baru setahun ini melakukan riset,” kata Nadirman. Karena itu, lembaganya meng-ambil jalan pintas penyediaan bi-bit- melalui stek pucuk.
Di kompleks Puspitek, BPPT juga memiliki laboratorium yang memproses biji jarak, kelapa, dan kelapa sawit menjadi biodiesel. Sejak 1999, mereka sudah melakukannya terhadap kelapa sawit yang minyaknya digunakan untuk sejumlah bus dan kendaraan bermotor milik lembaga penelitian ini. ”Emisinya jauh lebih rendah dibanding solar,” kata Rizfon Fajar, Kepala Laboratorium Bahan Bakar dan Pelumas BPPT.
Tidak hanya itu, bengkel di Puspitek juga membuat mesin yang memproses- tumbuh-tumbuhan itu menjadi bio-diesel-. Menurut Martin Jamin, prototipe biodiesel BPPT kini memproduksi 1.500 liter per hari dengan dana pembuatan mesin Rp 800 juta. Untuk mesin yang mampu memproduksi 3 ton per hari, biaya-nya menjadi Rp 2 miliar sampai 3 miliar. ”Karena katup kontrol mesin ini dari luar negeri,” kata Jamin, yang menjadi staf ahli Menteri Negara Riset dan Teknologi.
Di Riau, BPPT juga membuat proyek percontohan yang memproduksi delapan- ton biodiesel per hari. Menurut Jamin, BPPT memperkirakan kebutuhan dana US$ 9 juta untuk menghasilkan 100 ribu ton per tahun. Mereka juga berhasil- membuat mesin pemrosesan skala industri kecil seharga sekitar Rp 50 juta.
Langkah serupa juga dilakukan Toto Suwito, yang sejak delapan bulan lalu banting setir menjadi pengusaha biodiesel-. Bengkel perusahaannya di Bintaro, Tangerang, yang semula meng-olah makanan, berganti haluan. Perjuangannya mulai terlihat setelah akhir- tahun lalu teknisinya mengirim tujuh reaktor pengolah biodiesel ke Kabupaten- Bireuen, Aceh. ”Di Aceh, Yayasan Perisai Laut bekerja sama dengan Departemen Sosial menanam jarak di lahan 600 hektare,” kata Toto, yang menjadi peng-urus di yayasan ini.
Di Cirebon, Yayasan Perisai Laut me-nanami puluhan hektare lahan dengan jarak pagar. ”Biodiesel yang dihasilkan khusus bagi nelayan yang tidak bisa melaut karena tingginya harga solar,” kata Rokhmin Dahuri, ketua yayasan yang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Dua bulan lalu, bengkel di Bintaro juga mengirim mesin pengolah biodiesel ke Cirebon.
Institut Teknologi Bandung dan beberapa lembaga lainnya juga sudah mengembangkan pabrik biodiesel. Bisa jadi, besarnya minat masyarakat timbul setelah mengetahui cetak biru kebijakan energi menggantikan bahan bakar- minyak- (BBM) dengan biofuel atau bahan bakar dari energi terbarukan pada 2025. ”Pada tahun itu, biofue-l akan menggantikan BBM sekitar lima persen. Sebab, kalau sekarang, harganya- masih belum mampu bersaing dengan BBM yang ada,” kata Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman. Ada tiga jenis biofuel, yakni biodiesel, gasohol (gas alkohol), dan biomassa.
Untuk memproduksi gasohol atau bioetanol, dibutuhkan tebu, sagu, ubi kayu, ubi jalar, atau sorgum. Sejumlah perusahaan kini mulai melirik bioetanol yang di Brasil mendominasi peredaran bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Mereka menggandeng PT Perkebun-an menanam komoditas tersebut untuk- bahan baku gasohol. Dalam cetak biru itu, pada tahun 2006 akan dibangun 17 pabrik gasohol dengan kapasitas 60 kiloliter per hari. Dua tahun kemudi-an ditargetkan pembangunan delapan- pabrik, dan tahun 2016 dibangun 25 pabrik. Seperti halnya biodiesel, untuk- sementara pemakaian gasohol ini akan di-campur dengan bahan bakar asli. Kom-posisinya bervariasi, 10 persen alkohol, 90 persen bensin.
Toto Suwito dan pengusaha yang bergerak di bidang biofuel menyambut baik keluarnya Instruksi Pre-siden Nomor 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati- (biofuel) dan Instruksi Presiden No. 5 Tahun- 2006 mengenai Energi Terbarukan. Dalam aturan baru tersebut, setiap departemen mempunyai tugas pokok mempercepat penyediaan dan memanfaatkan biofuel sebagai bahan bakar lain (BBL).
Namun, inpres itu belum mengantisipasi persoalan yang bakal timbul. Soal tata niaga biodiesel, contohnya, siapa yang boleh menjualnya? Maklum, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, diatur soal sanksi pidana enam tahun dan denda Rp 60 miliar bagi setiap orang yang meniru dan memalsukan BBM serta olahan tertentu. Kalau aturan itu diterapkan serampangan pada biofuel, salah-salah pemasok biodiesel bisa dituduh memalsukan BBM.
Menurut Ketua Dewan Gubernur OPEC, Maizar Rahman, sanksi tersebut- ber-tujuan melindungi konsumen agar kendaraannya tidak rusak karena menggunakan BBM sembarangan. ”Kini pe-merintah dan lembaga penelitian harus- bersinergi agar biofuel memenuhi standar dan mutu,” kata Maizar, yang menjadi Ketua Dewan Gubernur OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak).
Maizar menjelaskan, selama ini BBM dijual melalui stasiun pompa bensin. Karena itu, menurut dia, kelak Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta pemerintah daerah harus memberi izin pendirian stasiun pengisian biofuel. ”Stasiun ini milik rakyat sehingga izinnya tidak boleh berbelit-belit,” ujarnya.
Selama ini Indonesia dalam setahun menghabiskan 16 juta kiloliter solar. Dari jumlah itu, 30 persen di antaranya- diperoleh dari impor. Bayangkan bila impian Kusmayanto mengganti solar dengan biodiesel sebanyak lima persen saja diwujudkan, itu artinya sudah 800 ribu kiloliter.
Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo