Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kota terkubur pada sebuah siang. Saat itu orang sedang minum kopi, berdagang di lorong pa-sar, atau sedang rebahan di dipan. Itu terjadi 191 tahun silam, ketika Gunung Tambora di Pulau Sumbawa menyiramkan laharnya dan mengubur kota itu. Sejarah mencatat, lebih dari 100 ribu orang tewas saat letusan dahsyat yang terasa sampai ke Maluku dan Jawa itu terjadi. Orang pun lupa ada sebuah kota yang terkubur.
Tapi kota kuno yang hilang ini pekan lalu tersibak. Beberapa kantor berita luar- negeri seperti BBC melansir kisah kota yang hilang ini. Penggalian di sebuah hutan di Sumbawa telah menemukan kembali kota ini. Adalah ilmuwan dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, dan Direktorat Vulkanologi Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia, yang menemukan kota ini. Mereka selama enam pekan pada- pertengahan tahun 2004 me-lakukan pencarian di sana- setelah penduduk setempat sering menemukan benda kuno di sekitar lokasi penggalian.
Temuan awal penggalian ada-lah barang tembikar, fosil kayu, dan fragmen tulang. Melalui radar mereka menemukan sebuah rumah yang tertimbun tiga meter di bawah tanah. Setelah digali, di rumah itu mereka menemukan dua rangka manusia. Di sekitarnya ada sejumlah benda keramik, mangkuk perunggu, dan artefak lainnya.
”Tambora bisa jadi Pompeii dari -Ti-mur,” kata Profesor Haraldur Sigur-d-s-son- dari Universitas Rhode Island kepada BBC. Pompeii adalah sebuah kota Romawi yang terkubur akibat letusan Gunung Vesuvius pada 79 Masehi. Profesor yang sudah meneliti Tambora selama 20 tahun itu berjanji kembali ke Tambora tahun depan, karena yakin ada sebuah istana besar yang terkubur di sekitar rumah itu.
Pemisah Ikan dan Tulang
Pemilik kapal pukat udang di Laut Arafura, Papua, sering membuang ikan yang terjaring. Mereka menganggap ikan tak- bernilai- ekonomi dan cuma- memenuhi palka kapal. Tim peneliti dari Departemen Pemanfaatan Sumber Daya- Perikanan, Fakultas Per-ikanan dan Ilmu Kelaut-an Institut Pertanian Bogor (IPB), memperkirakan dalam setahun ada 332 ribu ton ikan tangkapan sampingan yang dibuang kembali ke laut.
Ikan-ikan yang dibuang percuma itulah yang menge-tuk otak para ilmuwan IPB. Mereka lalu menciptakan me-sin pengolah ikan instan. Namanya Arius Meat Bone Separator. Menurut Ari Purbayanto, ketua tim peneliti proyek ini, mesin tersebut berfungsi memisahkan daging- dan tulang ikan yang kemudian menghasilkan surimi atau lumatan daging ikan. Surimi itu merupa-kan produk antara yang bisa diolah menjadi bakso ikan, otak-otak, nugget ikan, dan pempek.
Cara kerja mesin ini sederhana. Ikan akan diberi tekanan hingga daging keluar terpisah dari tulang. Dengan mesin ini, pemilik kapal tak perlu membuang ikannya. Sebab, surimi yang dihasilkan mesin ini cukup mahal, Rp 12 ribu per kilogram, dua kali lipat harga ikan segar seperti selar dan kembung. Selain itu, tulang sisa hasil pengolahan juga punya nilai ekonomis karena menjadi bahan pembuat tepung ikan bagi pakan ternak. ”Jadi, konsep pengolahan tanpa limbah benar-benar diterapkan dari mesin ini,” kata Ari, yang sudah mengirimkan mesin ini ke Papua. Lumayan.
Merekam Gempa Dasar Laut
Ada ratusan gempa bumi tiap hari. Dan keba-nyakan itu terjadi di da-sar laut. Namun tak semua gerakan bumi itu bisa direkam, karena hampir semua seismometer (alat perekam gempa) yang ada saat ini justru ditempatkan di daratan.
Terinspirasi dengan pola gempa itu, Institut Oseanografi Woods Hole di Massachusetts, Amerika Serikat, men-ciptakan seismometer yang khusus ditempatkan di dasar laut. Perekam gempa- bawah laut itu menggunakan sepasang seismometer. Ber-beda dengan seismometer bawah laut sebelumnya, seismometer generasi baru ini mampu merekam gempa utama dan susulannya.
Jeff McGuire, ilmuwan dari institut tersebut, mengatakan bahwa seismometer- jenis baru akan diuji coba pada akhir- tahun ini. Setelah itu 40 seismometer akan dipasang di kedalaman 3.500 meter sampai 4.000 meter di timur Samudra Pasifik pada awal- 2007. Di wilayah ini kerap- terjadi gempa berkekuatan lebih dari 5,0 skala Richter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo