APA yang dioerikan oleh konsep Komisi Pembaruan Pendidikan
Nasional, yang selesai akhir bulan kemarin? Lebih tampak sebagai
hal-hal teknis Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Ketua II KPPN
yang memberi konpercnsi pers Jumat minggu lalu, memang menyebut
telah disusunnya satu struktur pendidikan. Dalam satu kalimat
bagai untuk dihafal, struktur itu disebut bersifat "semesta,
menyeluruh dan terpadu". Yang terasa ialah, komisi yang dibentuk
Menteri P&K Agustus 1978 dan bermasa kerja 18 bulan ini
menawarkan beberapa perubahan yang lebih bersifat fisik.
Pendidikan dasar yang selama ini berlangsung 6 tahun misalnya,
diubah menjadi 8 tahun -- dibagi dalam 5 tahun tahap pertama dan
3 tahun tahap berikutnya. Dan 5 tahun itulah yang diprogramkan
untuk wajib belajar. Lantas pendidikan menengahnya 4 tahun.
Jumlahnya sama dengan yang sekarang: 12 tahun (SD, SLP, SLA).
Lama pendidikan guru SD, ditambah dari 12 atau 13 tahun (SD, SLP
dan sekolah guru) menjadi 14 atau 15 tahun (pendidikan dasar 8
tahun, menengah 4 tahun dan Institut Pendidikan Guru 2 tahun
atau IKIP 3 tahun).
Para pengajar perguruan tinggi pun dltuntut menambah masa
pendidikannya tidak cukup hanya dengan sarjana, tapi harus
lulusan pendidikan pasca sarjana ataupun doktor.
IPS dan IPA
Yang termasuk "revolusioner" barangkali masalah kepangkatan
guru. Berbeda dari yang sekarang berlaku, seorang guru
pendidikan dasar (PD) berdasar ijazah dan kemampuannya bisa saja
mencapai pangkat sama dengan, misalnya, direktur pendidikan
menengah (PM). "Dengan itu diharap minat guru akan lebih besar,"
kata Pranarka Sekretaris I KPPN kepada TEMPO. Sebab tak ada lagi
"pangkat maksimum". Sekarang ini seorang kepala sekolah SD
apabila telah mencapai pangkat maksimum, tak mungkin naik
pangkat lagi, terkecuali pindah mengajar di SLP.
Tapi memang ada usulan perubahan yang lebih mendasar dari
sekedar teknis. Pembeda-bedaan materi kurikulum, di semua
sekolah, dihapuskan. Tak ada pelajaran "pokok", "penting" maupun
"pelengkap". Gunanya memungkinkan perpindahan misalnya dari
pendidikan menengah umum ke PM kejuruan (selama ini misalnya:
SMA dan STM), meskipun tentu ada penyesuaian.
Konsep lantas membagi pelajaran ke dalam lima kelompok yang
sederajat yang berkenaan dengan sikap dan nilai hidup, berkenaan
dengan pengetahuan, dengan ketrampilan, dengan humaniora (seni,
olah raga dan filsafat) dan dengan kewarganegaraan.
Contoh sistem yang disebut "terpadu" itu, yang berarti
mobilitas, juga dilanjutkan dengan penghapusan (atau
pelonggaran) pembagian kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) seperti yang ada di SMA selama ini.
Setidak-tidaknya, bila pembagian seperti itu akan dipertahankan,
"diskriminasi" haruslah dilenyapkan dengan jalan melonggarkan
dinding. Alasan utama bagi penyamarataan ini: karena pendidikan
menengah merupakan persiapan ke perguruan tinggi, maka mereka
diberi hak mendapat pelajaran yang sama.
Tak berarti kursus-kursus di luar seolah formal, yang tak
menjuruskan siswanya ke perguruan tinggi, tak diakui. Bahkan
konse yang disehut "menyeluruh" itu memberi kesempatan siswa
kursus meneruskan ke sekolah formal -- dengan penyesuaian, bila
memang sama standarnya.
Akibat sistem itu ialah diberikannya sertifikat -- bagi yang tak
melanjutkan ke kelas lebih tinggi -- yang menyatakan apa saja
yang telah diperolehnya dalam pendidikan selama itu. Misalnya Si
Badu berhasil naik ke kelas lima pendidikan dasar, tapi karena
harus membantu orang tuanya ia berhenti. Ia akan mendapat
sertifikat yang menyatakan apa saja yang telah diperolehnya di
kelas 4. Dan nanti, kapan saja, dia boleh melanjutkan ke kelas
5.
Tapi itu semua tentu saja belum memecahkan masalah paling
menonjol: peledakan anak usia sekolah. "Karena itu pendidikan
kemasyarakatan punya peranan penting," kata Pranarka.
"Kursus-kursus itu pun akan diharuskan memberikan sertifikat
yang menyatakan apa saja yang diperoleh siswanya."
Ada keinginan melibatkan dunia usaha. Mereka diharapkan ikut
membuka pendidikan dengan jalan melaksanakan sistem magang. Atau
membentuk satu badan yang mengumpulkan dana, atau hanya
menyediakan fasilitas praktek. Atau kerjasama dengan
sekolah-sekolah. Peraturannya bagaimana, itu nanti.
Kelompok Riset
Puncak sistem yang dikonsepkan ini ialah: perencanaan sekolah
akan disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya. Contoh yang
sudah ada barangkali bisa disebut Sekolah Farming Menengah Atas
di Ungaran (didirikan oleh Sarino Mangunpranoto) dan beberapa
kota lagi, yang membuka kesempatan bagi petani sekitar untuk
menanyakan soal-soal pertanian (TEMPO 19 Mei 1979).
Sampai di sini satu pertanyaan muncul: dari mana biaya untuk itu
semua? Diharap pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan dan
dana masyarakat -- dari perusahaan misalnya.
Lalu, konsep ini dijanjikan tidak akan berlaku "abadi". Akan ada
peninjauan kembali, mungkin setelah 10 tahun. Dan itulah salah
satu tugas sebuah badan yang disebut Dewan Pendidikan Nasional
dan Dewan Pendidikan Daerah. Dewan ini yang menampung
perkembangan di masyarakat, sebab salah satu tugasnya
terpenting: menentukan relevansi pendidikan terhadap
perkembangan dan lingkungan sosialnya.
Cuma, sebagaimana konsep pada umumnya, yang tercantum dalam buku
setebal 71 halaman itu memang hanya pemecahan dasar. "Komisi ini
bukan kelompok riset," kata Sumitro: masih perlu studi lanjutan
hal-hal yang bersifat lebih praktis.
Itu semua dimaksud sebagai bahan bagi pemerintah untuk menyusun
UU Pokok Pendidikan dan Kebudayaan, yang sampai hari ini belum
ada. Tentu sedikit atau banyak bisa berubah, bila disetujui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini