Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kelam malam, kompleks pabrik pesawat PT Dirgantara Indonesia di Bandung biasanya membisu. Itu terjadi sejak resesi membalut perusahaan itu empat tahun lalu. Denyut kerja di pabrik itu makin lemah setelah ribuan karya-wan dirumahkan. Tapi malam itu, 18 Ja-nuari 2005, ada yang berbeda di ruang Aerostructure yang dikomandani Budiman Saleh. Di ruangan yang bentuknya mirip hanggar itu suasananya ramai.
Puluhan pasang mata tampak berbinar-binar. Mereka merubung sebuah televisi. Yang mereka pelototi, tak lain, adalah sebuah berita yang terjadi di Toulouse Prancis, ribuan kilometer jauhnya dari Bandung. Para insinyur itu terpesona karena malam itu u-ntuk pertama kalinya pesawat terbaru Airbus A380 diperkenalkan kepada dunia. Itu adalah proyek pembuatan pesawat penumpang paling ambisius yang pernah ada, sebab pesawat itu superbesar dan supercanggih. “Bersama Airbus, Eropa menorehkan tinta emas sejarah,” kata Noel Forgeard, presiden yang se-karang menjabat sebagai co-Chief Executive Officer Airbus, waktu itu.
Pidato itu segera mengguncang ruang Aerostructure. Budiman dan anak buahnya mendadak-sontak bersorak gembira. Ada yang berpelukan sa-mbil menahan tangis bahagia. Ada yang cu-ma bersalaman. Ada tawa gembira yang dibumbui tepuk tangan membahana bergema di pabrik yang sedang murung itu. Meskipun terpisah ribuan kilometer jauhnya dari Toulouse, insi-nyur-insinyur itu ikut mengukir seja-rah. Pemandangan yang sama terulang 27 April lalu ketika si burung besi A380 itu mengangkasa untuk pertama kalinya. “Ya, karena ini juga kebanggaan kami, PT Dirgantara Indonesia, dan kebanggaan bangsa Indonesia,” kata Budiman.
Dirgantara Indonesia—dulu dik-enal dengan nama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)—memang punya peran dalam mencetak sejarah baru A380. Ceritanya bermula pada 2001. Saat itu pabrik pesawat yang sering dicemooh sebagai pabrik pembikin panci itu menerima pesanan dari Bri-tish Aerospace (BAe). British Aero-space adalah salah satu kontraktor besar dalam proyek Airbus A380. Di-r-gantara Indonesia diminta membikin komponen pangkal sayap bagian depan (inboard outboard fixed leading edge)
“Ketiak” sayap ini adalah salah satu komponen yang paling rumit pada pe-sawat karena fungsinya menyambungkan sayap dengan badan pesawat. Apalagi, sayap Airbus A380 ini adalah sayap terpanjang dibanding rival ter-dekatnya, Boeing 747-400. Panjang “ketiak” ini hampir separuh dari sayap si superjumbo yang mencapai 30 meter itu. Dirgantara Indonesia ditunjuk menjadi subkontraktor British Aerospace bersama tiga perusahaan lain asal Malaysia, Jerman, dan Prancis. Ketiga produsen ini sudah menyisihkan pesaing-pesaingnya dalam tender yang diikuti sembilan pabrik dari berbagai negara.
Dengan kepercayaan itu, bahkan Indonesia menjadi pemasok terbesar Airbus A380 di luar konsorsium negara-negara Eropa. Indonesia mengalahkan Amerika Serikat, Rusia, Jepang, Cina, Korea, dan Malaysia. “PT DI kebagian proyek membuat 300 unit komponen untuk jangka waktu 10 tahun,” tutur Budiman. Seluruh komponen untuk 150 pesawat itu ditaksirnya bernilai lebih dari US$ 24 juta (sekitar Rp 235 miliar).
Sejak itulah kesibukan di Unit Aerostructure menggeliat luar biasa diban-dingkan unit-unit lainnya. Sekitar 200 karyawan dan puluhan mesin p-otong dan cetak pelat baja dipaksa terus beroperasi. Nyaris tak pernah berhenti selama 24 jam, seperti pada 18 Januari lalu. Mesin-mesin besar bermerek Cincinatti menderu-deru melahap pelat-pelat baja setebal 90 milimeter. Potong-an-potongan baja ini lalu di dicetak dan dirakit menjadi semacam rangka berukuran panjang 15 meter, lebar 7 me-ter, dan tinggi 2 meter.
Meski semua bahan baku serta desainnya didatangkan langsung dari British Aerospace, Inggris, membuat sambungan sayap itu bukan perkara enteng. “Tingkat kesulitannya sangat tinggi,” kata Kornel M. Sihombing, Manajer Program di British Aerospace. “Untuk mengukur ketepatan dimensi setiap bagian komponen dengan mesin, harus bolak-balik sampai tiga, bahkan lima kali, mengukur.”
Seorang staf mekanik pesawat di Garuda Maintenance Facility, bengkel pesawat milik Garuda, di Bandara Soekarno-Hatta, Daniel Martono, menuturkan, “ketiak” pesawat adalah bagian yang sensitif. Pembuatannya harus cermat. Di bengkel, ini adalah bagian yang tidak bisa diutak-atik, kalaupun ada yang harus diperbaiki, walau hanya untuk menyetel kembali baut-bautnya, “Semuanya harus diserahkan ke pabriknya,” ujar Martono.
Sampai saat ini, Budiman dan anak buahnya telah menyelesaikan 24 unit pesanan “ketiak” itu dan telah mengirimnya ke markas BAe di Inggris. Hasilnya, tidak ada keluhan, bahkan British Aerospace mengacungkan jempol buat Dirgantara Indonesia. Pabrik yang melempem sejak krisis melanda Indonesia pada 1997 itu bahkan menjadi subkontraktor terbaik dalam hal ketepatan waktu pengiriman maupun kualitas. “Key Performance Indicator-nya mencapai 97 persen. Mendekati sempurna,” kata Kornel.
Pujian itu bukan basa-basi karena British Aerospace per Juni lalu meli-patgandakan pesanannya. Pabrik pesa-wat van Bandung itu juga diminta membuat sayap pesawat yang lebih kecil, yakni Airbus A320, A321, dan A330. Kontrak selama tujuh tahun itu bernilai Rp 220 sampai Rp 270 miliar.
Untuk urusan sayap pesawat, kata John Catterall, salah seorang petinggi di Airbus, Dirgantara adalah salah sa-tu jagonya. “Kami sudah keliling melihat di beberapa negara, PT DI terma-suk yang punya permesinan dan sumber daya manusia yang memadai,” katanya.
Kini, dunia menanti penerbang-an komersial Airbus A380 perdana yang dijadwalkan November 2006. Maskapai Singapore Airlines akan mendapat kesempatan pertama untuk terbang dengan rute Sydney-London. Burung besi berdimensi panjang 70,40 meter, lebar rentang sayap 79,50 meter, dan tinggi 24,19 meter yang dibanderol dengan harga Rp 2,8 triliun per unit ini menjadi simbol tumbangnya dominasi jumbo Boeing 747-400, pesaing dari Amerika Serikat.
Pada saat itu juga rasa bangga dan bahagia mengalir ke sudut-sudut ruang-an Aerostructure di Bandung, meresap ke insinyur-insinyur pembuat sayap pesawat ini. Dan mungkin mereka akan berteriak, “PT Dirgantara Indonesia belum mati!”
Wuragil, Rini Srihartini
Keroyokan Demi si Jumbo
November 2006 nanti, Airbus A380 resmi menjadi burung besi komersial terbesar di angkasa. Pesaingnya, Boeing 747-400, kalah telak. Sayap Airbus A380 15 meter lebih lebar, 4 meter lebih tinggi, dan ruang kabin yang 49 persen lebih lapang. Pesawat jumbo itu dikerjakan secara keroyokan oleh negara-negara maju. PT Dirgantara Indonesia (dulu IPTN) juga ikut serta. Mereka mendapat pesanan komponen sayap untuk 300 pesawat hingga 2010. Berikut ini negara-negara yang gotong-royong membuat si jumbo.
Indonesia Suplai bagian penyambung sayap dan badan pesawat dari PT Dirgantara Indonesia.
Jerman Bagian bahan bakar, stabilisator vertikal, kelengkapan sayap dan interior.
Prancis Kokpit dan bagian bahan bakar yang menuju atau sekitar kokpit
Inggris Komponen-komponen sayap.
Spanyol Stabilisator horizontal
Spesifikasi
Wuragil (Airbus, Graphic News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo