Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK melestarikan keanekaragaman hayati yang ada di sekitar proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan Pumped Storage (UCPS), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) melakukan studi pada 2009. Menurut Asep Irman, Manajer Kesehatan dan Keselamatan Kerja Lingkungan dan Keamanan PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah 1, perusahaannya kemudian melanjutkan proyek dengan studi tematik flora dan fauna pada 2012, kemudian kajian Biodiversity Management Plan (BMP) pada 2015 yang dimutakhirkan pada 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil studi itu digunakan PLN untuk menyusun program pelestarian lingkungan, bekerja sama dengan berbagai instansi seperti Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau Perhutani dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) serta perguruan tinggi dan masyarakat sekitar hutan. Selain itu, kata Asep, kontraktor pelaksana konstruksi PLTA UCPS menyusun dokumen Contractor Environmental and Social Management Plan. “Sebagai panduan dan standar operasi pelaksanaan konstruksi yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial,” tuturnya, Rabu, 27 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengelolaan keanekaragaman hayati itu dilakukan melalui pendekatan pengelolaan daerah tangkapan air yang terintegrasi. Caranya adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas hutan bersama Perhutani dan BKSDA dalam penanganan satwa liar jika terjadi konflik. PLN telah menetapkan 15 titik Biodiversity Important Area (BIA) dengan total luas sekitar 425 hektare yang tersebar di area sekitar proyek PLTA UCPS di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur, Jawa Barat.
Area itu menjadi habitat 36 spesies mamalia darat, 114 spesies burung, 48 spesies reptil, dan 17 spesies ikan. Beberapa satwa liar di antaranya masuk Daftar Merah Spesies Terancam Punah dari Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). “Seperti tenggiling, surili, dan kukang Jawa,” ujar Asep.
Mengantisipasi terpecahnya habitat satwa liar dan ekosistemnya menjadi fragmen kecil, PLN membuat koridor dan reforestasi. Tujuannya adalah habitat yang terpecah akibat pembangunan konstruksi bisa terhubung dan menjadi lebih luas serta layak huni bagi satwa yang ada. Koridor dibangun di lokasi jalan akses PLTA Cisokan. “Di antaranya gorong-gorong hewan sebagai akses tenggiling dan jembatan tali bagi mamalia,” katanya.
Profesor riset bidang konservasi keanekaragaman hayati Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Hendra Gunawan, mengatakan fragmentasi hutan yang merupakan pemecahan habitat, ekosistem, atau tipe penggunaan lahan menjadi bidang-bidang yang lebih kecil ibarat "pembunuh senyap" yang mengakibatkan kepunahan satwa.
Hasil fragmentasi adalah kantong-kantong atau pulau habitat. “Beberapa jenis satwa mungkin hanya bisa bertahan di pulau habitat yang besar, sementara pulau habitat kecil mungkin ditinggalkan atau kosong,” tutur Hendra, Jumat, 29 September lalu. Fragmentasi juga mengubah populasi besar menjadi beberapa kelompok kecil alias metapopulasi.
Tindakan mitigasinya antara lain meminimalkan kehilangan habitat serta menghindari fragmentasi, misalnya dengan membuat jalan yang mengikuti tepi hutan. Selain itu, menjaga konektivitas antarhabitat yang terpecah dengan cara seperti mempertahankan sabuk hijau tepi sungai atau membuat koridor ekologi. Manfaat koridor termasuk meningkatkan imigrasi populasi, memelihara keberagaman dan ukuran populasi, serta menghindari perkawinan sedarah.
Sebelum ada pembangunan PLTA, menurut anggota tim konsultan kajian BMP dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Teguh Husodo, kondisi biodiversitas di lokasi pembangunan PLTA Cisokan dan sekitarnya sudah dihadapkan pada ancaman dari berbagai aktivitas manusia. Kelangsungan hidup berbagai satwa liar, khususnya yang berstatus langka, terancam, endemis, dan spesies dilindungi (REEPS), penuh ketidakpastian. “Karena habitat satwa liar berada di luar kawasan konservasi,” ucapnya, Senin, 2 Oktober lalu.
Faktor lain adalah persistensi populasi berbagai satwa liar tidak diketahui. Satwa seperti macan tutul (Panthera pardus melas), misalnya, kini disebut sebagai “living dead”. Kewajiban PLTA UCPS membuat BMP diharapkan dapat memberi jaminan yang lebih baik kepada satwa REEPS di lokasi proyek. Jaminan itu diberikan melalui peningkatan kualitas habitat dan pelindungan dari perburuan dan perambahan hutan serta upaya lain, seperti pengelolaan konflik antara satwa liar dan penduduk.
Menurut Teguh, di wilayah BIA yang dikaji seluas 3.850 hektare tercatat sepuluh spesies yang tergolong berstatus REEPS. Catatan itu diperoleh berdasarkan hasil pemantauan berulang di lokasi. Satwa REEPS itu adalah macan tutul, kucing hutan (Prionailurus bengalensis), owa Jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Trachypithecus auratus), kukang Jawa (Nycticebus javanicus), tenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix javanica), berang-berang cakar kecil (Aonyx cinerea), dan elang Jawa (Nisaetus bartelsi).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Koridor Pencegah Fragmentasi Habitat"