Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan Listrik Negara membangun pembangkit listrik tenaga air berteknologi pumped storage pertama yang bakal menjadi PLTA berkapasitas terbesar di Indonesia.
PLTA Upper Cisokan Pumped Storage berkapasitas 1.040 megawatt memiliki dua dam atau bendungan.
Air akan dialirkan dari bendungan atas ke bendungan bawah guna mengisi sistem transmisi listrik 500 kilovolt, sisa pasokan listrik dipakai untuk memompa air dari bendungan bawah ke bendungan atas melalui pipa.
JIKA tak meleset, lima tahun dari sekarang Indonesia akan punya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 1.040 megawatt. PLTA Upper Cisokan Pumped Storage yang tengah dibangun itu bakal menjadi pembangkit terbesar menggantikan PLTA Cirata, Jawa Barat, yang berkapasitas 1.008 megawatt (MW). Sesuai dengan namanya, PLTA Cisokan ini berteknologi pumped storage, yakni kemampuan menyimpan energi dengan memompa kembali air dari dam atau bendungan bawah ke bendungan atas di luar jam sibuk. Pada saat beban puncak, listrik dihasilkan dengan melepaskan air dari bendungan atas melalui terowongan ke empat generator dan dialirkan ke bendungan bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PLTA Upper Cisokan Pumped Storage (UCPS) terletak di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dengan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, di dalam daerah aliran sungai (DAS) Cisokan yang merupakan sub-DAS Citarum. Bendungan atas dengan tinggi dinding 75,5 meter dan luas permukaan waduk 80 hektare terletak di Sungai Cirumamis (anak Sungai Cisokan) pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sedangkan bendungan bawah dengan tinggi dinding 98 meter dan luas permukaan waduk 260 hektare berada di Sungai Cisokan pada ketinggian 460 meter di atas permukaan laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek PLTA Cisokan dibangun oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah 1 (UIP JBT1). General Manager UIP JBT1 Djarot Hutabri mengatakan proyek itu terhitung dimulai pada 6 September 2022 dan peletakan batu pertama (groundbreaking) dilakukan pada 22 September 2022. “Pekerjaan fisik baru bisa dilakukan setelah 6 Juli 2023, sebelumnya dilakukan persiapan,” katanya di kantornya, Selasa, 26 September lalu. Persiapan itu berupa pengadaan lahan sejak 2011 dan pembuatan jalan akses sepanjang 27 kilometer dari daerah Cipari.
Rencana pembangunan, Djarot menambahkan, terbagi menjadi paket 1A berupa pengerjaan bendungan atas dan bawah serta tambang batu dan paket 1B untuk mendirikan saluran pengantar (waterway) sebagai tempat keluar air, rumah pembangkit (power house) bawah tanah, dan gardu induk (switchyard). “Targetnya selesai pada November 2028. Saya sudah pensiun,” ujarnya. Pelaksanaan konstruksi direncanakan berlangsung selama 64 bulan. Luas total PLTA Cisokan yang mencakup bendungan, jalan akses, dan fasilitas pendukungnya mencapai 731,76 hektare.
PLTA Cisokan dirancang sebagai pembangkit listrik tenaga puncak yang akan menyediakan listrik hingga 1.040 MW ke jaringan Jawa-Bali. Teknologi pumped storage, Djarot menuturkan, tergolong baru di Indonesia. Pada saat beban puncak, Djarot menjelaskan, air akan dialirkan dari bendungan atas ke bendungan bawah selama lima jam untuk mengisi sistem transmisi listrik 500 kilovolt. Setelah itu, sisa pasokan listrik dipakai untuk memompa air dari bendungan bawah ke bendungan atas selama delapan jam melalui pipa. “Kira-kira seperti itu prinsipnya. PLTA seperti ini banyak di Jepang, di sepanjang sungainya. Itu sudah lama dipakai,” ucapnya.
Menurut Djarot, pemakaian teknologi pumped storage bertujuan membantu pasokan listrik pada saat beban puncak dengan menggunakan energi baru dan terbarukan. Walau prinsip kerjanya sederhana, ada tantangan karena teknologi UCPS baru bagi PLN. Tantangan lain adalah bagaimana membuat PLTA ini bisa beroperasi secara maksimal dan berjangka panjang. “Tidak bisa hanya karena berkaitan dengan kelestarian alam di sekitar PLTA ini,” ujarnya.
Pendangkalan waduk, Djarot melanjutkan, bisa otomatis mengurangi pasokan listrik. Apalagi UCPS juga diproyeksikan bisa segera menutup pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS yang kurang optimal karena, misalnya, musim hujan. “Ini kita belum berpengalaman,” ucapnya. Misalnya, untuk menyokong dua PLTS, keluaran listrik dari UCPS perlu diselaraskan. Seberapa cepat penyelarasan dan bagaimana kemampuannya masih dikalkulasi. “Praktiknya seperti apa, kedip atau enggak listriknya, itu perlu kita cari solusinya.”
Menurut Ketua Program Studi Sarjana Teknik Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung Arwindra Rizqiawan, PLTA Cisokan berbeda dengan PLTA lain seperti di Waduk Jatiluhur karena memiliki kemampuan pemompaan. Air bisa dipompa untuk mengisi bendungan atas, kemudian disimpan dulu. “Keuntungannya, PLTA Cisokan bisa menyimpan energi dalam bentuk air yang ada di bendungan atas,” katanya, Senin, 2 Oktober lalu.
Perbedaan lain dengan PLTA yang telah beroperasi adalah UCPS menggunakan air yang jumlahnya relatif tetap karena terus diputar. Konsep PLTA ini, Arwindra mengungkapkan, sudah dikenal dan dibuat seabad lalu. Pada awal 1909, sudah ada PLTA pumped storage dalam skala kecil. Kini Amerika Serikat, Cina, dan Jepang telah menggunakannya dengan kapasitas besar. “Prinsipnya sederhana, cuma naik-turun airnya,” tuturnya.
Pengelola PLTA, kata Arwindra, juga bisa mengendalikan air sebagai tenaga pembangkit listrik dengan mudah. “Kalau minusnya seperti PLTA yang lain. Apalagi ini membangun dua bendungan, harga investasinya lebih mahal,” ujarnya. Adapun waktu pengerjaan selama lima tahun ia nilai wajar dan realistis karena masa pembangunan PLTA secara global berkisar tiga-tujuh tahun.
Kepala Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional Cuk Supriyadi Ali Nandar mengatakan teknologi pumped storage adalah jenis teknologi PLTA yang menggunakan prinsip sederhana. “Prinsip kerjanya melibatkan dua reservoir air dengan perbedaan ketinggian untuk mengubah energi potensial gravitasi menjadi listrik,” ucapnya, Rabu, 4 Oktober lalu.
Menurut Cuk, teknologi itu pertama kali dikenal dan digunakan pada pertengahan abad ke-20. PLTA dengan teknologi ini mulai dikembangkan pada 1920-an di Amerika Serikat. Hingga 1960, teknologinya berkembang pesat dan kapasitas listrik yang dihasilkan makin besar. “Sampai 1990 telah menjadi teknologi yang matang dan andal, kemudian kini makin andal dan efisien digunakan untuk menyimpan sumber energi terbarukan.”
Penggunanya yang terbanyak, Cuk menambahkan, adalah Amerika Serikat dengan 56 proyek PLTA dan menghasilkan listrik 25,2 gigawatt. Kemudian Cina, Jepang, Korea Selatan, Norwegia, Swiss, Italia, Spanyol, dan India. Menurut Cuk, kelebihan pumped storage adalah dapat menyimpan energi besar dan mengatasi fluktuasi beban. PLTA dengan teknologi ini juga dapat beroperasi dalam mode pembangkitan cepat saat dibutuhkan serta membantu menjaga kestabilan jaringan listrik. “Umumnya memiliki umur pakai yang panjang,” ujarnya.
Namun, Cuk melanjutkan, ada beberapa catatan kelemahannya, seperti memerlukan lahan luas serta topografi yang sesuai untuk membuat dua reservoir dengan perbedaan ketinggian cukup besar. Pembangunannya membutuhkan investasi awal yang besar. “Efisiensi energi kurang optimal karena terjadi kerugian energi saat proses pemompaan dan pembangkitan kembali,” katanya. PLTA juga akan mengubah lingkungan sekitar dan aliran sungai.
Pembangunan PLTA pumped storage pertama di Indonesia, menurut Cuk, adalah capaian yang signifikan. Proyek senilai Rp 11,79 triliun ini ia nilai akan membantu meningkatkan keandalan dan kestabilan pasokan listrik di Indonesia. Dia pun berpendapat bahwa wajar pembangunan proyek ini memakan waktu lima tahun atau lebih karena memerlukan perencanaan, persiapan, dan pengujian yang cermat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Setrum dari Dam Bertingkat Dua"