Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI sudah kita duga, bursa karbon sepi peminat sejak dibuka Presiden Joko Widodo pada 26 September 2023. Jumlah emiten hanya hitungan jari. Perusahaan penjual ataupun pembeli unit karbon belum bisa masuk bursa karena pemerintah belum memiliki sistem verifikasi unit karbon sebagai basis transaksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bursa karbon adalah mekanisme pasar yang mempertemukan entitas bisnis yang menghasilkan emisi dengan mereka yang melakukan bisnis dengan lebih ramah lingkungan. Bursa karbon bagian dari proposal mitigasi krisis iklim pemerintah yang dikirim ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia punya target menurunkan emisi 31,89 persen dari perkiraan emisi karbon 2,87 miliar ton setara dengan CO2 pada 2030.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bursa karbon masuk skema pasar wajib dalam perdagangan karbon. Tiap unit karbon yang diperdagangkan harus tercatat dalam Sistem Registrasi Nasional (SRN) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. SRN menjadi sumber klaim pemerintah dalam janji ikut mencegah pemanasan global.
Karena sifatnya wajib, ukuran, verifikasi, dan monitoring penurunan emisi tak cukup disepakati oleh penjual dan pembeli emisi, tapi juga harus kredibel di mata pemerintah. Masalahnya, seperti banyak proyek infrastruktur di era Jokowi yang terburu-buru, pendirian bursa karbon pun tak menghitung kesiapan sarana pendukungnya. Pernyataan Jokowi yang menyebutkan potensi perdagangan karbon tembus Rp 3.000 triliun juga menunjukkan pemerintah lebih mengejar potensi ekonomi, bukan esensi perdagangan karbon.
Bursa karbon adalah sistem pemberian insentif kepada mereka yang mempraktikkan hidup ramah lingkungan sekaligus disinsentif bagi mereka yang merusak lingkungan. Tujuan utama perdagangan karbon adalah menurunkan emisi sebagai biang pemanasan global. Kalaupun transaksinya menghasilkan nilai ekonomi, itu hanya bonus. Karena itu, bila ukurannya semata omzet, bursa karbon bakal melenceng dari tujuan utamanya.
Baca liputannya:
Dengan kata lain, bila hanya dilihat dari kacamata ekonomi, perdagangan karbon bisa terjerumus dalam greenwashing. Para pengusaha akan ikut perdagangan karbon semata untuk mencari cuan, seraya terus memproduksi emisi karena tak memahami esensi mitigasi krisis iklim.
Maka, dalam perdagangan karbon, kesuksesan transisi energi dan pengelolaan hutan lestari—yang di dalamnya mencakup pelindungan hak asasi manusia—seharusnya menjadi target kebijakan utama. Keuntungan ekonomi tak boleh mengalahkan kepentingan sosial dan pelestarian lingkungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gagal Paham Esensi Perdagangan Karbon"