MEDAN bukan kota bandit, meskipun konon roman detektif Indonesia dulu bermula dari sana. Tapi penjahat Medan memang dikenal berani. Dan ingin tahu sebabnya? Mereka rajin menenggak minuman keras. Setidaknya, begitulah hasil pengkalan data keahatan yang dilakukan polisi di ibu kota Provinsi Sumatera Utara itu. Begitu mudahnya mendapatkan minuman yang memabukkan itu di sana. Bahkan di pelosok atau di gang sempit, kios-kios kecil yang memang terdapat di mana-mana hampir pasti menjual arak. Merknya kambing putih atau kambing merah, yang biasa disingkat penggemarnya menjadi "kamput" dan "kamer". Ada juga anggur vigour (artinya, kira-kira, "gairah") serta berbagai jenis minuman lokal lain, yang berharga cuma ratusan rupiah sebotol. Murah. Begitulah, Anda mau teler dengan modal Rp 300 pun bisa. Singgah saja ke kedai tuak (pakter tuak) yang menjamur di kota itu. "Kios kecil dan pakter tuak itulah yang selalu mengundang keributan dan kejahatan," kata Letnan Kolonel I K. Ratta, Kapoltabes Medan. Sepanjang tahun 1986, misalnya, di Provinsi Sumatera Utara terjadi 18.000 lebih peristiwa kejahatan. Di Medan, diketahui hampir separuh dari pelaku kejahatan, 42%, menjalankan aksinya dengan lebih dulu menenggak minuman keras. Terutama pada jenis kejahatan penganiayaan dan pencurian. Polisi menyimpulkan data itu dari hasil pemeriksaan kepada para pelaku tindak pidana. Malah seperti dikatakan Ratta, "Sering residivis yang tertangkap mengaku menghabiskan hasil keahatannya dengan minum-minum dan main perempuan." Sebab itulah, sudah sejak tiga bulan yang lalu, atas instruksi Kapolda Sumatera Utara, Brigjen M.H. Ritonga, dibentuk Tim Penyuluhan Terpadu. Anggotanya, selain dari polisi, diambil dari Kanwil Departemen Kesehatan, tokoh-tokoh masyarakat, dan Kanwil Departemen Agama. Tim itu turun ke daerah-daerah kabupaten dan memberi ceramah bahayanya minuman keras kepada masyarakat di Asahan, Langkat, Deli Serdang, Simalungun, selain Medan. "Lima Polres itulah yang dianggap rawan minuman keras," kata Letkol Yusuf Umar, Kadispen Polda Sumatera Utara. Polisi merazia toko dan penjual minuman tanpa izin. Sejak saat itu disita 5.810 botol minuman yang menghanyutkan itu. Memang menurut M. Daud, S.H., dosen kriminologi di USU, korelasi antara minuman keras dan tindak kejahatan sesungguhnya cukup jelas. Kesimpulan itu dari penelitian beberapa mahasiswanya. Rangsangan alkohol sampai kadar tertentu membuat peminumnya nekat melakukan sesuatu. Padahal, sebelumnya, orang itu bukanlah pemberani kalau tidak disebutkan penakut. "Mereka gunakan minuman keras sebagai pemancing keberanian," katanya. Empat tahun yang lalu, Soufani Simanjuntak, salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum USU, sudah meneliti hubungan minuman keras dengan tindak kejahatan. Penelitian untuk penyusunan skripsi itu mengungkapkan: umumnya para residivis mereguk minuman keras terlebih dahulu sebelum beraksi. Juga, sekitar 60% penjahat Medan, ketika ditangkap polisi, sedang berada di bawah pengaruh minuman keras. Soufani mencatat beragam kejahatan yang dilakukan para penjahat menjelang teler itu, mulai dari memeras, merampok, mencuri, berkelahi dan membuat keonaran di tempat umum, sampai memperkosa. Tapi apa mau dibilang, lingkungan sekeliling begitu menggoda. Coba bayangkan: 90% dari kios rokok tepi jalan yang ada di Medan menjual bir, dan 50% menyediakan kamput dan Stevenson, jenis minuman yang menurut penelitian itu dengan mudah membuat orang jadi slebor. Belum lagi pakter tuak yang ada di mana-mana dan selalu menyediakan tuak dalam jumlah banyak. Pakter tuak itu bukan cuma memabukkan langganannya, tapi juga memusingkan kepala para tetangga: biasanya kedai seperti itu berada di daerah permukiman. Soalnya menurut penelitian itu, tempat berleha-leha ini baru tutup setelah tengah malam. Selama itu dari sana selalu terdengar suara ribut, apakah tertawa ngakak ramai-ramai, bertengkar dan lalu berkelahi, atau paling main bergitar dan menyanyi. "Lisoi... Iisoi...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini