RATUSAN penduduk mengepung warung itu. Sebagian besar -- terutama ibu-ibu -- bersenjata batu, kayu, dan pasir dicampur cabai. Suara beduk ditabuh bertalu-talu dan lonceng pos keamanan kampung yang berdentang-dentang menambah galau suasana. Yang menjadi sasaran kemarahan massa rupanya berkurung di dalam warung dengan kawalan pagar betis sejumlah petugas keamanan kampung. Mereka adalah para ninik mamak alias tokoh masyarakat setempat: Muslim Datuak Majo Labiah, 50 tahun, dari persukuan Sikumbang, Ayam Datuak Tan Magedan, 72 tahun, dari persukuan Guci, dan Muhammad Nur Datuak Malako Basa, 50 tahun, dari persukuan Pisang. Di pinggan orang-orang tua itu terselip pisau dan kelewang, tapi kemudian disita petugas keamanan. Akhirnya huru-hara di Kelurahan Panorama Baru, di pinggiran utara Kota Mady. Bukittinggi, itu meletus juga. Massa berhasi menerobos pagar betis. Maka, terjadilah adegan yang sebelumnya sulit dibayangkan itu: ninik mamak, sebagai orang yang berwibawa dalam lembaga adat Sumatera Bara selama ini, siang hari 6 Agustus itu diuber-uber seperti maling. Muhammad Nur Datuak Malako Basa kebetulan pendekar silat. Ia berhasil meloloskan diri dari kepungan dan membonceng sebuah sepeda motor yang kebetulan melintas. Selamat. Tapi wajah orang tua itu bengkak memar karena rupanya sempat terkena pentungan kayu. "Mereka mau membunuh kami," katanya dengan mata kiri yang lebam. Lebih sial lagi nasib dua pengetua lainnya. Mereka babak-belur dikerubuti oleh amai amai (ibu-ibu). Gigi Ayam Datuak Ta Magedan sampai goyang. Keduanya kemudian dibawa ke rumah sakit umun Bukittinggi. Wali Kota Madya Bukittinggi, Haji Burhanuddin, terpaksa turun tangan. Dua pekara silam ia meminta kepada para pemuka adat dan masyarakat Panorama Baru agar tenang karena soal itu akan diselesaikan Pemda. Ia melihat soal ini peristiwa kriminal biasa dan bukan petunjuk telah terjadi pergeseran nilai di negeri yang adatnya konon tak lapuk disiram hujan dan tak lekang ditimpa panas. Polisi sempat menahan sejumlah orang yang diduga turut menganiaya ninik mamak. Tapi kini semua yang ditahan sudah dibebaskan. Kata seorang perwira polisi di Polres Bukittinggi, "Pelakunya banyak, sulit diketahul siapa yang memukul." Cerita bermula dari rencana Pemda Bukittinggi untuk memindahkan kebun binatang yang ada di pusat kota ke kawasan Kelurahan Panorama Baru. Tempat itu memang ideal: sebuah ngarai yang indah dengan kedalaman 50 meter. Sejak enam tahun lampau sebenarnya Pemda sudah melirik areal seluas 50 ha di tepi ngarai yang tampaknya bukanlah lahan yang terlalu produktif. Ada pohon jeruk manis dan pisang tapi sebagian besar merupakan tanah tandus yang ditumbuhi semak belukar. Penduduk yang berjumlah sekitar 120 keluarga sudah turun-temurun mengusahakan kawasan itu sebagai tanah adat (ulayat) mereka dari suku Kurai. Entah bagaimana belakangan pecah kabar, ninik mamak sudah menyerahkan tanah seluas 50 ha itu kepada Pemda untuk lokasi kebun binatang. "Semua terjadi tanpa musyawarah dengan penduduk," kata Buastami Angku Rumah Panang, seorang tua di kampung itu. Yang menjadi sponsor menyerahkan tanah ternyata Nurdin Datuak Sati, 82 tahun, ninik mamak yang paling teras di Panorama Baru. Kepada TEMPO tokoh adat itu mengaku sebagai pemilik hak ulayat atas tanah itu. "Sebab, satu-satunya penghulu yang berulayat di sini adalah Datuk Sati," kata ayah 14 anak dari empat istri itu. Mengapa penduduk menuntut? "Mereka tak tahu adat, menumpang di rumah kita tapi merasa berhak di dalam rumah," jawabnya. Itu dibenarkan Wali Kota Burhanuddin. "Mereka itu penggarap, tapi karena sudah lama di sana merasa tanah itu miliknya," ujarnya menyesalkan peristiwa. Pada hari itu, Datuk Sati bersama tiga pemimpin adat tadi datang bersama petugas kantor kota untuk mengukur tanah tapi rupanya penduduk sudah siap menanti. Keributan pun meletus. Untung, Nurdin Datuk Sati cuma menunggu di tepi jalan. Kalau dia turut menemui penduduk, mungkin nasibnya lebih parah dari ninik mamak yang tiga tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini