Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN gapah Adhi Agus Oktaviana menggesekkan telunjuknya pada touchpad laptop untuk mengarahkan kursor di platform Google Arts & Culture. Kandidat doktor di School of Humanities, Languages and Social Science Griffith University, Australia, itu menunjukkan detail gambar cadas di lelangit Leang Karampuang di Desa Jenetaesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Penelitian Adhi dan tim menyimpulkan lukisan gua tersebut sebagai gambar cadas bercerita tertua di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dari gambar ini, kita bisa melihat hubungan manusia dengan hewan. Figur manusia kedua ini tangan kirinya memegang tongkat yang ujungnya menyentuh leher babi,” kata Adhi di kantornya, Pusat Riset Arkeometri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Kawasan Sains RP Soejono, Jakarta Selatan, Kamis, 11 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Adhi, citra tiga figur mirip manusia dan seekor babi hutan yang terbuat dari oker—cat lukisan gua–itu mengandung cerita. “Mungkin itu adegan berburu,” ujarnya.
Penelitian Adhi dan tim, yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 3 Juli 2024, mendapati gambar cadas di Leang Karampuang tersebut dibuat sekitar 51.200 tahun yang lalu. Angka ini diperoleh dari penanggalan seri uranium dengan metode ablasi laser (LA-U-series) terhadap lapisan tipis kalsium karbonat yang terbentuk di atas oker. Metode ini dikembangkan oleh kolega Adhi, Maxime Aubert dari di Griffith Centre of Social and Cultural Research dan Renaud Joannes-Boyau dari Southern Cross University, Australia.
Rekor gambar cadas bercerita tertua sedunia sebelumnya dipegang lukisan gua di Leang Bulu’ Sipong 4 di Kelurahan Bontoa, Minasatene, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Gambar cadas dengan ukuran panel 4,5 x 3 meter itu bercerita tentang perburuan dua ekor babi hutan oleh dua sosok manusia setengah hewan (therianthrope) dan perburuan empat ekor anoa oleh enam therianthrope. Gambar cadas ini juga pernah diteliti Adhi bersama Aubert dan kawan-kawan, yang diterbitkan di Nature pada 11 Desember 2019.
Adhi membandingkan gambar cadas Leang Karampuang dengan gambar Leang Bulu’ Sipong 4. “Berbeda dengan gambar cadas di Leang Bulu’ Sipong 4, komposisi yang menampilkan figur mirip manusia dan hewan ini tampaknya tidak secara eksplisit menggambarkan aktivitas berburu,” tulis Adhi dalam makalah berjudul “Narrative cave art in Indonesia by 51,200 years ago”.
Penggambaran teknik perburuan dalam gambar cadas di Leang Bulu’ Sipong 4 memang lebih detail. Alat berburu, misalnya, digambarkan cukup jelas, seperti tombak dan tali tambang. “Pemburu yang digambarkan adalah sosok sederhana dengan tubuh seperti manusia dengan kepala atau bagian tubuh lain berasal dari burung, reptil, dan spesies endemis Sulawesi lain,” kata Adhi, yang juga menyebutkan penelitian ini merupakan satu dari tiga draf disertasinya.
Hal menarik lain dari gambar cadas bercerita Leang Bulu’ Sipong 4, Adhi menambahkan, adalah adanya dua model perburuan. “Kita lihat therianthrope nomor satu ini berburu babi hutan sendirian. Sementara itu, ada sekelompok therianthrope yang berburu anoa,” ucap Adhi sembari menunjukkan gambar cadas tersebut dari laptopnya. “Babi bisa diburu sendiri, tapi kalau anoa harus ramai-ramai karena lebih agresif.”
Peneliti BRIN Adhi Agus Oktaviana memaparkan temuan usia gambar cadas Leang Karampuang, di Jakarta, 4 Juli 2024. Dok. BRIN
Adam Brumm dari Australian Research Centre for Human Evolution Griffith University, yang juga terlibat dalam penelitian ini, mengatakan gambar cadas Leang Karampuang dan Leang Bulu’ Sipong 4 memberi pemahaman baru terhadap budaya bercerita. “Gambar cadas ini memiliki beberapa adegan yang bisa dikenali. Penggambaran interaksi manusia-hewan bisa ditafsirkan bahwa pembuatnya berusaha berkomunikasi secara naratif,” tuturnya di kantor BRIN pada Kamis, 4 Juli 2024.
Menurut Brumm, gambar cadas Leang Karampuang dan Leang Bulu’ Sipong 4 merupakan temuan mutakhir dalam seni cadas prasejarah. Pasalnya, pandangan akademikus selama ini menunjukkan lukisan gua figuratif awal hanya terdiri atas panel individual tanpa memperlihatkan adegan yang jelas. Dalam seni hias Eropa, dia melanjutkan, representasi gambar yang memiliki cerita baru muncul kemudian.
Adhi memberikan contoh yang memperjelas argumen Brumm itu. Gambar cadas di Eropa yang berumur di atas 30 ribu tahun kebanyakan adalah gambar hewan. Gambar cadas di Gua Altamira, Santillana del Mar, Cantabria, Spanyol, misalnya, menampilkan gambar bison, kuda, dan rusa secara individual. “Sangat jarang yang ada gambar manusia berinteraksi dengan hewan,” kata pria yang lahir di Pandeglang, Banten, 2 Oktober 1984, ini.
Dalam artikel yang berjudul “Earliest hunting scene in prehistoric art” yang terbit di Nature, 11 Desember 2019, Adhi dan Aubert hanya memberi satu contoh dari sedikit komposisi naratif di Eropa, yakni gambar seorang pria berkepala burung yang diserang bison yang terluka. Lukisan gua itu berada di Gua Lascaux di Montignac, Dordogne, Prancis barat daya. Gambar cadas bercerita itu diperkirakan berumur 14-21 ribu ribu tahun.
“Hasil yang kami peroleh ini sangat mengejutkan karena belum ada karya seni dari Zaman Es Eropa yang terkenal yang umurnya mendekati umur lukisan gua Sulawesi ini,” ujar Adhi, yang meraih Penghargaan Achmad Bakrie 2022.
Menurut Adhi, memang ada gambar cadas bertanggal 64.800 tahun yang lalu. Gambar yang diduga dibuat oleh Neanderthal itu ditemukan di Gua La Pasiega di Puente Viesgo, Spanyol. Namun, menurut dia, klaim itu dipertanyakan banyak ilmuwan.
Berdasarkan penanggalan seri uranium berbasis larutan yang dilakukan Aubert pada 2019, gambar cadas Leang Bulu’ Sipong 4 dibuat sekitar 43.900 tahun yang lalu. Tim kemudian melakukan penanggalan ulang bersamaan dengan penanggalan gambar cadas Leang Karampuang. Dengan metode LA-U-series, diperoleh hasil yang mengesankan karena gambar tersebut berumur 4.100 tahun lebih tua atau 48 ribu tahun.
“Teknik LA-U-series ini menghasilkan data yang lebih akurat karena mampu mendeteksi umur lapisan kalsium karbonat dengan sangat rinci hingga mendekati masa pembuatan gambar cadas tersebut,” ucap Aubert, yang juga peneliti di Geoarchaeology and Archaeometry Research Group Southern Cross University, Australia. “Penemuan ini akan merevolusi metode analisis penanggalan seni cadas.”
•••
PENGETAHUAN Oki Amrullah mengenai jalur dan gugusan karst membuatnya direkrut oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Selatan—kini Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Makassar. Pria 45 tahun itu menjadi pendamping tim survei penyelamatan situs gua prasejarah di Kabupaten Maros pada 24-29 Mei 2017. Pada hari pertama, tim menelusuri karst dari Desa Samangki hingga ke Bukit Karampuang.
Tim menelusuri beberapa gua di Bukit Karampuang. Namun mereka tak menemukan gambar cadas yang dicari. Memasuki sore, tim memutuskan beristirahat di Leang Karampuang dan berencana melanjutkan kegiatan esoknya. “Saya lihat ke langit-langit gua, seperti ada bercak merah kayak gambar telapak tangan,” kata Oki menceritakan pengalamannya kepada Tempo pada Rabu, 17 Juli 2024.
Oki pun melapor kepada ketua tim yang langsung memerintahkan gambar tersebut diperiksa. Ia memanjat menggunakan tali setinggi hampir 10 meter ke lantai kedua untuk memastikan itu lukisan telapak tangan. Hasilnya seperti yang Oki duga. Walau begitu, Oki tidak sempat masuk ke bagian dalam untuk menelusuri gambar-gambar lain karena tim harus pulang.
Foto aerial Bukit Karampuang, 2024. Dok. BRIN
Esoknya, tim yang beranggotakan 11 orang itu kembali untuk menelusuri interior Leang Karampuang dengan lebih cermat. Ternyata banyak gambar cadas di sana. Bukan hanya gambar telapak tangan, ada juga gambar babi hutan dan sosok mirip manusia. Namun gambar-gambar tersebut sudah pudar atau kurang jelas.
Oki, yang tinggal di depan Taman Arkeologi Leang-Leang di Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, pernah menjadi juru pelihara situs arkeologi. Kini ia menjadi polisi khusus cagar budaya pada Balai Pelestarian Kebudayaan XIX Makassar. Selepas penemuan gambar cadas bercerita itu, tim survei dari polisi khusus cagar budaya terus mengontrol hingga datang tim arkeolog untuk meneliti pada 2019.
Basran Burhan, yang ikut tergabung dalam tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional-Griffith University, membenarkan ihwal kondisi gambar cadas di Leang Karampuang yang telah pudar dan tidak utuh karena terkelupas. Menurut dia, tim harus mengolah rekaman gambar-gambar tersebut di komputer dengan program khusus agar bisa mengangkat warnanya.
“Kondisinya memprihatinkan, banyak bagian (gambar) terkelupas dan tertutup koraloid,” tutur Basran, alumnus Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, yang kini menjadi kandidat doktor di Australian Research Centre for Human Evolution Griffith University.
Menurut dia, salah satu cara tim mengidentifikasi gambar adalah melihat fitur khas, misalnya anoa dikenali dari tanduknya yang lurus. “Kalau tidak ditunjukkan, kita susah mengidentifikasi gambarnya,” ucap Basran.
Adhi Agus Oktaviana membandingkan pengamanan gua-gua prasejarah di Indonesia dengan di Prancis, tempat ia pertama kali mengunjungi situs seni cadas. Tiga situs seni cadas di Prancis, yakni Abri Pataud, Font-de-Gaume, dan Les Combarelles, tidak boleh difoto. “Gua-gua itu kan sebenarnya cerukan, tapi dikasih dinding batu dan pintu. Orang tidak boleh masuk,” ujar Adhi.
Adhi mengungkapkan, banyak situs arkeologi di Sulawesi yang mengalami vandalisme. Salah satunya Liang Kabori di Muna, Sulawesi Tenggara. “Ada yang sepertinya menghapus gambar cadas dua perahu, karena gambarnya berbeda antara tahun 1990-an dan 2015,” tuturnya. “Padahal itu bagus sekali, menunjukkan perahu kita sudah menerapkan teknologi modern, yaitu kemudi ganda dan layar.”
Agar gua-gua prasejarah yang memiliki gambar cadas terjaga dan tidak didatangi orang, Adhi menambahkan, para peneliti biasanya tidak menunjukkan titik koordinat geografisnya. Penjagaan memang bisa dilakukan juru pelihara. “Tapi tidak setiap saat mereka ada di situ. Makanya ada beberapa situs saja yang ‘dikorbankan’ untuk pariwisata,” ucapnya. Di luar situs-situs yang dikorbankan itu, orang yang ingin berkunjung harus mengajukan permohonan izin tertulis kepada balai pelestarian kebudayaan.
Basran menambahkan, Kawasan Karst Maros-Pangkep memang merupakan tempat yang paling sering dieksplorasi secara intensif. “Karena masih banyak yang harus diteliti,” ujarnya. Berdasarkan hasil survei Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Makassar pada 2023, terdapat lebih dari 650 gua situs arkeologi di kawasan tersebut. Hampir 400 gua di antaranya mempunyai gambar cadas.
Menurut Basran, salah satu pekerjaan rumah bagi para peneliti dalam memahami gambar cadas di Kawasan Karst Maros-Pangkep adalah mencari tahu cairan yang dicampurkan ke dalam oker. Sejauh ini, peneliti hanya mengetahui bahan utama cat gambar tersebut adalah oker, mineral berwarna merah dari tanah liat yang mengandung besi tinggi. “Kenapa lukisan itu bisa bertahan lama? Karena bahan pencampur ini mengikat ke pigmen di atas lapisan gamping,” katanya.
Yang juga masih menjadi misteri adalah siapa pembuat gambar cadas di gua-gua Kawasan Karst Maros-Pangkep tersebut. Sampai saat ini, belum ada penemuan sisa-sisa manusia di gua yang semasa dengan gambar cadas.
Adhi mengungkapkan, sangat sulit menemukan sisa-sisa manusia di gua-gua yang memiliki gambar cadas. “Sebetulnya itu untung-untungan. Makanya lebih mudah dan lebih murah meneliti gambar cadas ketimbang melakukan ekskavasi,” ujarnya.
Sayangnya, Kawasan Karst Maros-Pangkep yang seluas 462 kilometer persegi sejak 2009 hingga saat ini masih bertengger di Daftar Tentatif Situs Warisan Budaya Dunia Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Gua-gua prasejarah Maros-Pangkep yang menyimpan gambar-gambar cadas tertua dunia justru kalah dibanding gua prasejarah di Eropa, seperti Gua Altamira di Spanyol dan Gua Lascaux di Prancis yang sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Didit Hariyadi dari Maros berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cerita Gambar Cadas Tertua"