Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Proyek light rail train Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi atau LRT Jabodebek sempat dihujani kontroversi dan kritik sejak masa persiapan hingga diluncurkan secara komersial pada pertengahan 2023. Setelah dioperasikan secara berbayar pun, kereta rel ringan ini masih tersangkut beberapa masalah, misalnya pada sistem persinyalan maupun pada roda rolling stock atau gerbongnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan sepur jarak jauh maupun kereta commuter line yang sudah lama berkembang di Indonesia, LRT Jabodebek sebelumnya merupakan konsep baru bagi para punggawa perkeretaapian domestik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak inovasi teknologi yang membuat kereta non masinis ini lebih modern dibanding angkutan rel pada umumnya. Kecanggihannya hanya setara dengan beberapa infrastruktur yang juga tergolong baru, seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung, serta Mass Rapid Transit (MRT).
Berikut beberapa teknologi unik yang menyokong LRT Jabodebek:
Grade of Automtion (GoA) level 3
Sistem ini memungkinkan LRT dioperasikan dari depo secara otomatis. Namun. teknologi tanpa masinis ini masih mensyaratkan penempatan train attendant atau petugas operasi untuk menangani kondisi darurat. Sistem ini setingkat lebih canggih di atas GoA level 2 yang dipakai oleh MRT.
Dengan GoA 3, pengoperasian kereta disesuaikan dengan jadwal yang telah diunggah ke sistem persinyalan di pusat kendali operasi atau Operation Control Center (OCC). Seluruh operasional LRT Jabodebek kemudian berjalan secara otomatis dengan mengikuti jadwal yang telah diatur melalui ruang kendali.
Karena otomatis, GoA 3 dianggap bisa meminimalisir potensi kecelakaan akibat kesalahan manusia. Teknologi pengoperasian kereta berbasis sinyal listrik ini sudah dipakai di berbagai negara maju, mulai dari Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Inggris, Cina, dan sebagainya.
Girder U-Shaped
Beberapa bagian jalur layang LRT Jabodebek ditopang oleh grider atau balok gelagar berbentuk U. Balok bantalan rel berskema U-shaped itu berfungsi sebagai fitur anti derailment atau pencegahan kereta api keluar dari relnya.
Pemakaian girder berbentuk U juga menekan potensi tabrakan kereta dengan pagar atau dinding gelagar. Struktur kuat dari balok tersebut mampu menahan kecepatan tinggi dan massa kereta. Desainnya yang ramping juga disesuaikan dengan ketersediaan ruang di Jakarta dan sekitarnya.
Sebelum diterapkan di jalur LRT Jabodebek, girder U-shaped duluan dipakai Cina untuk jalur Shanghai Metro. Terdapat 59 kilometer dari total jalur Shanghai Metro yang ditopang oleh struktur U-shaped—memecahkan rekor jalur layang U-shaped terpanjang di dunia.
Sandwich Panel
Sandwich Panel merupakan dua lapisan logam pengapit lapisan inti yang banyak dipakai untuk rangka atap stasiun LRT Jadodebek. Bahan bakunya diklaim ramah lingkungan dan disesuaikan dengan prinsip keamanan ekologis.
Dari sisi ongkos, pemakaian panel itu lebih ekonomis dibandingkan dengan bahan konstruksi tradisional seperti bata dan beton. Pengembang stasiun LRT juga bisa menghemat waktu konstruksi karena struktur panel tersebut nyaris tidak memerlukan finishing tambahan. Lapisannya juga bisa meredam sebagian suara bising kereta.
Lead Rubber Bearing (LRB)
Alat bantu anti gempa berbasis karet dan baja ini merupakan inovasi elastomeric bearing. Terpasang di bawah struktur jalur layang, LRB berfungsi untuk mengikis dampak gempa bumi terhadap jembatan penopang rel LRT.
Bantalan karet LRB bertugas menyerap getaran dengan konsep pegas. Di dalamnya terdapat pelat baja yang berfungsi untuk menahan beban vertikal saat kereta melintas. Selain untuk jalur layang LRT Jabodebek, LRB juga dipakai untuk jalan tol berstruktur jembatan atau elevated, seperti Tol Wiyoto Wiyono, Tol Lingkar Luar Bogor, serta Tol Jakarta-CIkampek Elevated.
Pilihan Editor: Infinix Kenalkan CoolMax, Alat Pendingin Chipset Ponsel Gaming