Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Megaburung Penyambung Ponsel

Indonesia kini punya satelit untuk telepon seluler GSM. Daya pancarnya paling kuat dan tarifnya, mudah-mudahan, lebih murah.


27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADI Rahman Adiwoso mungkin bukan seorang perokok. Tapi, Sabtu siang itu, ia kelihatan gembira sembari menyalakan cerutu. Tentu itu bukan lantaran Adi kini menjadi penggemar tembakau atau gara-gara angin yang kelewat dingin menerkam kulit sehingga ia perlu cerutu. Rupanya, Adi sedang bersyukur karena satelit Garuda-1 berhasil meluncur dari landasan Baikonur Cosmodrome, Kazakstan.

Suka cita Chief Executive Officer (CEO) Asia Cellular Satellite (ACeS)—perusahaan multinasional pemilik Garuda-1—itu agaknya beralasan. Sebab, sudah tiga bulan lebih ia menantikan momen peluncuran tersebut. Rencananya, Garuda-1 meluncur pada Oktober 1999. Namun, roket peluncurnya, Proton D-1 buatan Rusia, meledak. Walhasil, baru pada 12 Februari silam itulah, tepat pada pukul 14.10 waktu setempat (pukul 16.10 waktu Indonesia bagian barat), Garuda-1 mengangkasa di atas roket Proton/Block DM.

Garuda-1 merupakan satelit komunikasi seluler global system for mobile communication (GSM) buatan Lockheed Martin, Amerika, dari generasi A2100AXX. Ia tergolong satelit geostasioner, berada di atas putaran orbit berketinggian 200 kilometer dengan inklinasi 51,6 derajat. Satelit yang didesain sanggup bertahan sampai 15 tahun itu akan melayani lalu lintas komunikasi suara, data, dan internet. Jangkauan liputannya mencakup kawasan Asia-Pasifik, dari Papua Nugini sampai India-Pakistan, dan dari Jepang sampai Indonesia.

Dengan berat sekitar 4,6 ton, Garuda-1 terhitung sebagai satelit komersial terbesar. Bandingkan dengan satelit-satelit komunikasi milik Inmarsat dan GlobalStar, yang beratnya berkisar antara 2 dan 2,5 ton, atau dengan satelit Palapa C (semua generasi), yang berbobot rata-rata 3 ton, serta Telkom-1, yang cuma seberat 2,8 ton. Karena itu, Garuda-1 membutuhkan roket pendorong berkekuatan ekstrabesar, yakni Proton/Block DM buatan Rusia, yang tingginya 61 meter dan berat 691.500 kilogram.

Dibandingkan dengan satelit komersial lainnya, daya pancar Garuda-1 pun paling kuat. Ia berdaya pancar 10 kilowatt, dengan dua antena berbentuk payung kembar sepanjang 12 meter. Sementara itu, daya pancar Palapa sekitar 6 kilowatt dan Telkom 1 hanya 5,6 kilowatt. Garuda-1 juga mampu menangani 2 juta pelanggan telepon seluler GSM via satelit dan lalu lintas komunikasi 11 ribu percakapan. Di dalam tubuhnya terdapat prosesor yang berfungsi sebagai switching untuk mengatur proses sambungan pembicaraan dan lalu lintas data pengguna telepon seluler.

Sebagai satelit komunikasi, Garuda-1 didesain tak punya transponder. Sebagai gantinya, ada 140 spot beam. Semua spot beam melayani komunikasi untuk kawasan Asia-Pasifik. Diameter satu spot beam mampu mencakup area seluas 400 kilometer persegi. Untuk kawasan Jawa Barat, dengan area seluas 600 kilometer persegi, contohnya, dibutuhkan 1,5 spot beam.

Untuk bisa memanfaatkan keunggulan megaburung itu dibutuhkan telepon genggam (handset) berkemasan khusus. Sayangnya, sampai sekarang, dari berbagai macam telepon seluler (ponsel) seperti Nokia ataupun Motorola, baru Ericsson yang menyediakan perangkat untuk keperluan itu. Jenis yang diandalkan Ericsson adalah R190, sebuah ponsel berfasilitas pilihan ganda (dual mode) yang memungkinkan pemakainya memilih jaringan GSM 900 atau hubungan langsung (link up) dengan satelit. Bentuknya mirip dengan telepon seluler biasa, tapi gagang antenanya lebih panjang dan besar.

Cara kerja telepon seluler dengan satelit itu juga sederhana. Misalkan Anda sebagai pelanggan ACeS di Jakarta ingin mengontak seorang kerabat di Bangkok, percakapan Anda akan terkoneksi langsung secara vertikal (up-link) ke Garuda-1. Selanjutnya, panggilan itu akan diteruskan ke bawah (down link) menuju gateway di Bangkok yang dikontrol oleh sebuah operator lokal. Dari gateway itulah percakapan lalu disambungkan ke rumah kerabat Anda melalui pusat switching perusahaan telepon setempat.

Tinggal kini soal hitung-hitungan tarifnya. Adi memperkirakan, tarif percakapannya sekitar US$ 3 semenit. Tapi harga itu pun masih bisa dikompromikan sampai sebesar 50 sen dolar per menit. Tentu saja taksiran tarif itu terhitung lebih murah ketimbang tarif Inmarsat ataupun GlobalStar, yang mematok US$ 3 per menit. Memang, pemerintah belum memutuskan besarnya tarif bagi ACeS. Untuk itu, agaknya Adi mesti menunda cerutu keduanya, setidaknya sampai AceS beroperasi secara komersial pada Agustus nanti.

Wicaksono (Moskow)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum