Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari Hotel Mulia ke Meja Hijau

Joko Tjandra diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa pertama kasus cessie Bank Bali. Baramuli dan Syahril Sabirin segera menyusul?


27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS cessie Bank Bali (BB), yang selama hampir setahun mengharu biru panggung politik—dan sekaligus memojokkan Partai Golkar—akhirnya bermuara di pengadilan. Tak salah lagi, inilah tempat paling tepat untuk skandal besar yang menghebohkan itu. Joko S. Tjandra, bos kelompok bisnis Mulia merangkap Direktur PT Era Giat Prima (EGP), ditampilkan sebagai terdakwa pertama dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berlangsung sejak Rabu pekan silam.

Oleh Jaksa Ridwan Moekiat, Joko, yang dulu suka sesumbar itu, dituduh telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 904 miliar lewat kas Bank Indonesia (BI). Berdasarkan Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1971, pengusaha yang semula terkesan "kebal hukum" ini bisa diancam hukuman seumur hidup plus ganti rugi dan denda Rp 30 juta.

Mungkin karena kedekatan Joko dengan penguasa, sulit bagi penegak hukum untuk menggiring pengusaha ini ke pengadilan. Padahal, ia telah mencairkan piutang BB senilai Rp 904 miliar ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sementara Direktur Utama BB sendiri tak berhasil melakukannya. Pada kasus cessie (pengalihan hak menagih piutang), Joko—seperti dinyatakan oleh jaksa—telah bekerja sama dengan banyak pejabat, politisi, dan pengusaha. Untuk mencairkan tagihan Rp 904 miliar, mitra kerjanya tak tanggung-tanggung. Ada mantan Ketua Dewan Pertimbangan Agung A.A. Baramuli, mantan Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, Gubernur BI Syahril Sabirin, mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto, mantan Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli, pengusaha Marimutu Manimaren, serta Direktur Utama PT EGP Setya Novanto. Menurut jaksa, para penggede itu akan dituntut secara terpisah pada pengadilan berikutnya.

Meski menghadapi tuduhan seram, di persidangan yang padat pengunjung, Joko tampak tenang dan air mukanya tak sedikit pun mengguratkan kekhawatiran. Ia mengenakan kemeja putih, sesuai dengan saran pembelanya, O.C. Kaligis, yang menganggap hem putih akan mendatangkan ketenangan. Seperti diketahui, Joko, 49 tahun, sempat ditahan Kejaksaan Agung pada 26 Oktober 1999 dan 14 Januari 2000, tapi ia kemudian mempraperadilankan Kejaksaan Agung dan menang. Maka, sejak 11 Februari lalu, ia hanya berstatus tahanan kota.

Selain merugikan negara, Joko dituduh telah membobol uang BI lewat perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT EGP. Dengan modus itu, PT EGP berhasil menagih piutang Bank Bali (Rp 904 miliar) di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dibayarkan oleh BI. Sebagai imbalannya, PT EGP memperoleh komisi Rp 546 miliar. Uang imbalan yang pada dasarnya hasil jarahan itu kemudian dibagi-bagi kepada para tokoh tadi, sebagaimana terungkap dalam laporan panjang Pricewaterhouse Coopers.

Jaksa Ridwan juga memaparkan konspirasi yang ada di balik kasus korupsi tersebut. Rangkaian kisah itu, kata jaksa, antara lain diawali dengan upaya Joko meminta bantuan Tanri Abeng, Baramuli, Wakil Ketua BPPN, Pande Lubis, Syahril Sabirin, serta Bambang Subianto. Bantuan itu diperlukan agar piutang Bank Bali pada BDNI bisa segera dicairkan. Soalnya, sudah 76 kali penagihan dilakukan, tapi selalu ditolak oleh BI dan BPPN.

Konspirasi dijalin dalam berbagai pertemuan: ada rapat di Hotel Mulia pada 11 Februari 1999—peristiwa ini paling ramai diberitakan—dan sedikitnya 10 kali pertemuan serupa di rumah Tanri Abeng. Tanri diduga berperan sebagai pengatur strategi sekaligus pembagi tugas. Joko sendiri diminta memengaruhi orang-orang BI dan BPPN. Selain itu, ada dua pertemuan di rumah Baramuli dan di kediaman Joko.

Ternyata, konspirasi itu berhasil membuat BI dan BPPN pada 14 Mei 1999 menelurkan surat keputusan bersama yang isinya merevisi keputusan mereka sebelumnya, pada 6 Maret 1998, tentang pencairan tagihan antarbank. Berdasarkan surat keputusan itulah, pada 1 Juni 1999, PT EGP memperoleh tagihan piutang sebesar Rp 904 miliar. Padahal, dasar hukum penagihan itu, yakni perjanjian cessie, menurut jaksa, tidak dilaporkan ke BI dan tidak menyertakan jaminan ataupun pembayaran langsung dari PT EGP kepada BPPN selaku perawat BDNI.

Namun, pengacara Joko, O.C. Kaligis, berpendapat bahwa bisnis cessie tak tergolong perbuatan melawan hukum. "Tak ada larangan untuk memberikan kuasa menagih piutang," ujarnya. Kalaupun imbalan cessie hendak diributkan, kata Kaligis, itu semata-mata persoalan perdata, bukan pidana, apalagi korupsi. Pertemuan di Hotel Mulia dan di rumah Tanri Abeng juga dinilai Kaligis bukanlah tindakan melanggar hukum. "Apa jaksa tak pernah melakukan pertemuan bila mau memecahkan masalah?" katanya.

Yang pasti, dari kasus Bak Bali, sampai kini baru enam orang yang menjadi tersangka, yakni Joko, Setya, Pande, Rudy, Tanri, dan Erman Munzi. Adapun Baramuli, Syahril, ataupun Marimutu tetap berstatus sebagai saksi. Namun, sebuah sumber memastikan, Baramuli dan Syahril juga akan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka.

Hendriko L. Wiremmer, Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum